Oleh: Toto Subandriyo
Beberapa waktu terakhir masyarakat menghadapi kenyataan sulitnya mengais sepiring nasi. Masyarakat terimpit beban hidup yang sangat berat karena daya beli mereka tertekan pada titik terendah.
Hampir sepanjang tahun 2010, harga berbagai kebutuhan pokok masyarakat meroket tajam. Angka inflasi tahunan melejit dari target pemerintah sebesar 5,3 persen menjadi 6,96 persen.
Dampak yang ditimbulkan dari situasi sulit itu secara kasatmata mulai kita saksikan. Tragedi tiwul beracun yang menewaskan enam warga Kabupaten Jepara adalah akibat kemiskinan dan rendahnya daya beli.
Kompas (7/1) memberitakan, menghadapi kesulitan ekonomi yang masif akibat kenaikan harga bahan pokok, masyarakat menyiasatinya dengan berutang atau mengurangi makan, bahkan ada yang akhirnya mengambil jalan pintas bunuh diri.
Gejolak harga bahan pangan pada 2010 sudah terjadi jauh sebelum bulan puasa tiba. Gejolak harga ini merupakan resultan dari berbagai faktor, di antaranya anomali iklim yang belum sepenuhnya dapat diadaptasi oleh petani, adanya ekspektasi kenaikan harga (expected inflation) karena berbagai kebijakan pemerintah, serta faktor rutinitas menjelang datangnya bulan puasa, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru.
Selain mengacaukan sistem budidaya, anomali iklim juga menyebabkan eksplosi serangan organisme pengganggu tanaman, termasuk wereng batang coklat (Nilaparvata lugens) yang banyak menyerang tanaman padi. Penyakit antraknosa dan penyakit karena fungi menyerang tanaman cabai dan sayur-sayuran di beberapa sentra produksi.
Banyak petani gagal panen karena serangan hama tersebut. Jadi, harap maklum jika baru kali ini kita mengalami harga cabai rawit yang mencapai Rp 80.000 per kilogram, mengalahkan harga daging sapi.
Ekspektasi kenaikan harga terjadi karena dalam waktu hampir bersamaan pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan ekonomi. Kebijakan itu antara lain kenaikan tarif dasar listrik, tarif jalan tol, tarif kereta api ekonomi (yang kemudian ditunda), dan rencana pembatasan bahan bakar minyak bersubsidi.
Tantangan ke depan
Menurut hemat penulis, prospek pangan Indonesia ke depan tidak akan banyak bergeser dari keadaan tahun 2010. Ini karena berbagai tantangan serius telah menghadang di depan mata. Pertama, fenomena pemanasan global yang memicu perubahan iklim diprediksi masih akan berlangsung dalam jangka panjang.
Perubahan iklim ini membawa dampak pada instabilitas pasokan bahan pangan. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan, perubahan suhu rata-rata yang terjadi akhir-akhir ini telah berdampak pada banyak sistem fisik dan biologis alam kemudian berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan produksi pangan. Diprediksi pada 2011 ini pemerintah masih mendapatkan justifikasi untuk panen beras dan gula di pelabuhan alias impor.
Kedua, situasi pasar dunia saat ini telah membuat Indonesia makin terintegrasi dengan pasar global. Geliat perdagangan komoditas pangan global akan langsung mengimbas pasar domestik. Meroketnya harga gula saat musim giling tebu 2010 menjadi contoh kasus paling pas untuk menjelaskan tesis ini.
Harga gula di pasar domestik meroket karena dipengaruhi oleh situasi pasar global. Lonjakan harga gula di pasar internasional antara lain dipicu oleh defisit kebutuhan gula dunia.
Ketiga, pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin besar sehingga permintaan terhadap pangan akan semakin berlipat. Menurut Sensus Penduduk 2010, penduduk Indonesia kini berjumlah 237,56 juta orang. Terjadi laju pertumbuhan penduduk 1,49 persen selama satu dekade, 2000-2010, atau naik 0,04 persen pada kurun waktu 1990-2000.
Ledakan kelahiran (baby booming) tengah menghantui Indonesia, yang ditandai dengan tingginya angka fertilitas nasional sebesar 2,6 dan pertumbuhan penduduk 1,49 persen per tahun. Dampaknya adalah beban pemerintah di bidang kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, sandang, perumahan, dan pemenuhan kebutuhan pangan semakin berat.
Keempat, kompetisi penggunaan lahan dan air semakin ketat. Kondisi ini ditandai dengan masifnya konversi lahan pertanian subur. Ditinjau dari ketahanan pangan nasional, pemilikan lahan yang semakin sempit merupakan bahasa lain dari hilangnya basis produksi terpenting bagi petani. Masifnya konversi lahan pertanian ke nonpertanian akan berdampak permanen terhadap produksi pangan nasional.
Antisipasi
Mau tidak mau, suka tidak suka, semua pemangku kepentingan di republik ini harus bekerja ekstra keras mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Solusi yang harus ditempuh antara lain, pertama, menyusun kebijakan yang komprehensif untuk menanggulangi perubahan iklim. Menurut IPCC, peluang untuk mengurangi gas rumah kaca masih terbuka melalui perubahan gaya hidup dan pola konsumsi. Pemerintah harus membuat kebijakan yang mencakup semua sektor kehidupan, mulai sektor energi, transportasi, gedung, industri, pertanian, kehutanan, hingga manajemen limbah.
Terkait dengan perubahan iklim, guna menjaga kelangsungan produksi pangan, diperlukan inovasi baru di bidang teknologi pertanian. Jika sebelumnya inovasi teknologi terfokus pada upaya menghasilkan varietas unggul dengan daya hasil tinggi, sekarang harus direkayasa varietas yang berproduksi tinggi dan mampu beradaptasi, baik terhadap perubahan iklim maupun tanah dan iklim suboptimal, terutama kekeringan, genangan tinggi, serta salinitas tinggi.
Kedua, untuk melindungi pasar domestik, perlu diciptakan instrumen yang mampu berperan sebagai isolator terhadap pasar global. Seperti diketahui, salah satu penyebab meroketnya harga beberapa komoditas pertanian adalah tiadanya instrumen tersebut. Pasar domestik menjadi sangat volatil saat terjadi turbulensi harga di pasar global.
Ketiga, revitalisasi Keluarga Berencana perlu dilakukan oleh pemerintah secara serius. Pertumbuhan penduduk seimbang hanya dapat tercapai jika angkanya kurang dari 0,5 persen. Kondisi tersebut hanya bisa diwujudkan apabila angka fertilitas nasional berhasil diturunkan dari 2,6 menjadi 2,0.
Keempat, mencegah terjadinya konversi lahan subur seminimal mungkin. Hal ini dapat ditempuh dengan insentif yang memadai bagi kepemilikan sawah berupa keringanan pajak serta jaminan pendapatan melalui penetapan harga pembelian pemerintah yang memadai. Selain itu, diperlukan juga bantuan legalisasi tanah-tanah petani dalam bentuk sertifikasi massal guna kepastian hukum atas aset tanah petani sehingga dapat digunakan untuk mendapatkan kredit bank.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/17/04242112/mewaspadai.krisis.pangan
Toto Subandriyo Alumnus IPB dan Magister Manajemen Unsoed, Bergiat di Lembaga Nalar Terapan (LeNTera), Tegal, Jawa Tengah
Beberapa waktu terakhir masyarakat menghadapi kenyataan sulitnya mengais sepiring nasi. Masyarakat terimpit beban hidup yang sangat berat karena daya beli mereka tertekan pada titik terendah.
Hampir sepanjang tahun 2010, harga berbagai kebutuhan pokok masyarakat meroket tajam. Angka inflasi tahunan melejit dari target pemerintah sebesar 5,3 persen menjadi 6,96 persen.
Dampak yang ditimbulkan dari situasi sulit itu secara kasatmata mulai kita saksikan. Tragedi tiwul beracun yang menewaskan enam warga Kabupaten Jepara adalah akibat kemiskinan dan rendahnya daya beli.
Kompas (7/1) memberitakan, menghadapi kesulitan ekonomi yang masif akibat kenaikan harga bahan pokok, masyarakat menyiasatinya dengan berutang atau mengurangi makan, bahkan ada yang akhirnya mengambil jalan pintas bunuh diri.
Gejolak harga bahan pangan pada 2010 sudah terjadi jauh sebelum bulan puasa tiba. Gejolak harga ini merupakan resultan dari berbagai faktor, di antaranya anomali iklim yang belum sepenuhnya dapat diadaptasi oleh petani, adanya ekspektasi kenaikan harga (expected inflation) karena berbagai kebijakan pemerintah, serta faktor rutinitas menjelang datangnya bulan puasa, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru.
Selain mengacaukan sistem budidaya, anomali iklim juga menyebabkan eksplosi serangan organisme pengganggu tanaman, termasuk wereng batang coklat (Nilaparvata lugens) yang banyak menyerang tanaman padi. Penyakit antraknosa dan penyakit karena fungi menyerang tanaman cabai dan sayur-sayuran di beberapa sentra produksi.
Banyak petani gagal panen karena serangan hama tersebut. Jadi, harap maklum jika baru kali ini kita mengalami harga cabai rawit yang mencapai Rp 80.000 per kilogram, mengalahkan harga daging sapi.
Ekspektasi kenaikan harga terjadi karena dalam waktu hampir bersamaan pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan ekonomi. Kebijakan itu antara lain kenaikan tarif dasar listrik, tarif jalan tol, tarif kereta api ekonomi (yang kemudian ditunda), dan rencana pembatasan bahan bakar minyak bersubsidi.
Tantangan ke depan
Menurut hemat penulis, prospek pangan Indonesia ke depan tidak akan banyak bergeser dari keadaan tahun 2010. Ini karena berbagai tantangan serius telah menghadang di depan mata. Pertama, fenomena pemanasan global yang memicu perubahan iklim diprediksi masih akan berlangsung dalam jangka panjang.
Perubahan iklim ini membawa dampak pada instabilitas pasokan bahan pangan. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan, perubahan suhu rata-rata yang terjadi akhir-akhir ini telah berdampak pada banyak sistem fisik dan biologis alam kemudian berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan produksi pangan. Diprediksi pada 2011 ini pemerintah masih mendapatkan justifikasi untuk panen beras dan gula di pelabuhan alias impor.
Kedua, situasi pasar dunia saat ini telah membuat Indonesia makin terintegrasi dengan pasar global. Geliat perdagangan komoditas pangan global akan langsung mengimbas pasar domestik. Meroketnya harga gula saat musim giling tebu 2010 menjadi contoh kasus paling pas untuk menjelaskan tesis ini.
Harga gula di pasar domestik meroket karena dipengaruhi oleh situasi pasar global. Lonjakan harga gula di pasar internasional antara lain dipicu oleh defisit kebutuhan gula dunia.
Ketiga, pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin besar sehingga permintaan terhadap pangan akan semakin berlipat. Menurut Sensus Penduduk 2010, penduduk Indonesia kini berjumlah 237,56 juta orang. Terjadi laju pertumbuhan penduduk 1,49 persen selama satu dekade, 2000-2010, atau naik 0,04 persen pada kurun waktu 1990-2000.
Ledakan kelahiran (baby booming) tengah menghantui Indonesia, yang ditandai dengan tingginya angka fertilitas nasional sebesar 2,6 dan pertumbuhan penduduk 1,49 persen per tahun. Dampaknya adalah beban pemerintah di bidang kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, sandang, perumahan, dan pemenuhan kebutuhan pangan semakin berat.
Keempat, kompetisi penggunaan lahan dan air semakin ketat. Kondisi ini ditandai dengan masifnya konversi lahan pertanian subur. Ditinjau dari ketahanan pangan nasional, pemilikan lahan yang semakin sempit merupakan bahasa lain dari hilangnya basis produksi terpenting bagi petani. Masifnya konversi lahan pertanian ke nonpertanian akan berdampak permanen terhadap produksi pangan nasional.
Antisipasi
Mau tidak mau, suka tidak suka, semua pemangku kepentingan di republik ini harus bekerja ekstra keras mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Solusi yang harus ditempuh antara lain, pertama, menyusun kebijakan yang komprehensif untuk menanggulangi perubahan iklim. Menurut IPCC, peluang untuk mengurangi gas rumah kaca masih terbuka melalui perubahan gaya hidup dan pola konsumsi. Pemerintah harus membuat kebijakan yang mencakup semua sektor kehidupan, mulai sektor energi, transportasi, gedung, industri, pertanian, kehutanan, hingga manajemen limbah.
Terkait dengan perubahan iklim, guna menjaga kelangsungan produksi pangan, diperlukan inovasi baru di bidang teknologi pertanian. Jika sebelumnya inovasi teknologi terfokus pada upaya menghasilkan varietas unggul dengan daya hasil tinggi, sekarang harus direkayasa varietas yang berproduksi tinggi dan mampu beradaptasi, baik terhadap perubahan iklim maupun tanah dan iklim suboptimal, terutama kekeringan, genangan tinggi, serta salinitas tinggi.
Kedua, untuk melindungi pasar domestik, perlu diciptakan instrumen yang mampu berperan sebagai isolator terhadap pasar global. Seperti diketahui, salah satu penyebab meroketnya harga beberapa komoditas pertanian adalah tiadanya instrumen tersebut. Pasar domestik menjadi sangat volatil saat terjadi turbulensi harga di pasar global.
Ketiga, revitalisasi Keluarga Berencana perlu dilakukan oleh pemerintah secara serius. Pertumbuhan penduduk seimbang hanya dapat tercapai jika angkanya kurang dari 0,5 persen. Kondisi tersebut hanya bisa diwujudkan apabila angka fertilitas nasional berhasil diturunkan dari 2,6 menjadi 2,0.
Keempat, mencegah terjadinya konversi lahan subur seminimal mungkin. Hal ini dapat ditempuh dengan insentif yang memadai bagi kepemilikan sawah berupa keringanan pajak serta jaminan pendapatan melalui penetapan harga pembelian pemerintah yang memadai. Selain itu, diperlukan juga bantuan legalisasi tanah-tanah petani dalam bentuk sertifikasi massal guna kepastian hukum atas aset tanah petani sehingga dapat digunakan untuk mendapatkan kredit bank.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/17/04242112/mewaspadai.krisis.pangan
Toto Subandriyo Alumnus IPB dan Magister Manajemen Unsoed, Bergiat di Lembaga Nalar Terapan (LeNTera), Tegal, Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya