Oleh: Sonny Harry B Harmadi
Majalah National Geographic edisi Januari 2011 mengangkat isu jumlah penduduk dunia mencapai 7 miliar jiwa. Kompas, Senin (10/1), juga mengangkat soal ledakan jumlah penduduk Indonesia.
Kedua isu itu berupaya menggugah masyarakat tentang ancaman ledakan jumlah penduduk. Selama ini dunia terlampau banyak menghabiskan energi untuk membahas isu-isu jangka pendek sehingga mengabaikan isu kependudukan yang berdampak besar pada jangka panjang.
Jumlah penduduk dunia tumbuh begitu cepat. Dahulu, untuk bertambah 1 miliar jiwa, dunia butuh 130 tahun (1800-1930). Kini, dalam 13 tahun, penduduk bertambah 1 miliar jiwa—dari 5 miliar jiwa tahun 1987 menjadi 6 miliar jiwa tahun 2000. Menurut lembaga kependudukan PBB (UNFPA), saat ini jumlah penduduk dunia mendekati 7 miliar jiwa hanya dalam 10 tahun.
Hasil Sensus Penduduk 2010 jelas menunjukkan gejala ledakan penduduk. Selama 10 tahun terakhir, penduduk bertambah 32,5 juta jiwa dan rata-rata pertumbuhan 1,49 persen. Pertambahan ini setara jumlah penduduk Kanada dan lebih banyak dari penduduk Malaysia. Jika pertumbuhan penduduk tetap 1,49 persen, tahun 2045 penduduk Indonesia 450 juta jiwa. Saat itu jumlah penduduk dunia diproyeksikan 9 miliar jiwa. Artinya, satu dari 20 penduduk dunia orang Indonesia.
Dengan jumlah penduduk 2010 yang ”hanya” 237,6 juta jiwa, pemerintah sudah dipusingkan oleh subsidi yang disalurkan. Banyak kota bermasalah dengan sampah, banjir, dan kemacetan. Ini belum lagi semakin sulitnya akses air, udara bersih, dan berbagai isu perubahan iklim. Bagaimana jika penduduk Indonesia mendekati 500 juta jiwa?
Para ahli demografi dan ahli lingkungan sering menggunakan istilah ecological suicide (bunuh diri ekologi) untuk mengaitkan masalah penduduk dengan lingkungan. Jumlah penduduk yang tidak terkendali akan berdampak buruk pada kualitas lingkungan.
Indonesia boleh berbangga karena mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri walaupun sebagian masih diimpor. Namun, sentra produksi pangan nasional tidak merata. Produksi beras mayoritas dihasilkan di Jawa, yang saat ini mengalami tekanan penduduk begitu besar. Perlu waktu lama memindahkan sentra produksi beras nasional ke luar Jawa. Penasihat Khusus Sekjen PBB Jeffrey Sachs mengungkapkan, pertumbuhan penduduk tinggi akan menghancurkan ekologi dan menghambat peningkatan pendapatan.
Di satu sisi, jumlah anak yang banyak akan menurunkan kemampuan investasi sumber daya manusia (SDM) dalam keluarga. Akibatnya, tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat akan rendah. Di sisi lain, jumlah penduduk besar dengan SDM makin rendah akan kian menghancurkan kualitas sumber daya alam.
Institusi kependudukan
Dalam suatu konferensi internasional tentang kependudukan dan KB tahun lalu, saya berdiskusi dengan seorang menteri kependudukan salah satu negara di Afrika. Dia berkata, ”Kami beruntung memiliki kementerian kependudukan meski jumlah penduduk kami tidak banyak.”
Secara tak langsung dia menyatakan keheranan mengapa Indonesia dengan jumlah penduduk begitu besar justru tidak merasa perlu punya kementerian kependudukan. Indonesia adalah kontributor terbesar kelima dunia dalam pertambahan jumlah penduduk setelah China, India, Brasil, dan Nigeria.
Jika kita menelaah kembali UU Nomor 39 Tahun 2008, sebenarnya kependudukan salah satu urusan pemerintahan yang dapat diurus kementerian tersendiri. UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga mengamanatkan diterbitkannya beberapa peraturan pemerintah (PP). Namun, penyusunan beberapa PP tersebut belum terdengar kelanjutannya hingga awal 2011 ini. BKKBN, yang berubah nama menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, bukanlah institusi setingkat kementerian sehingga sulit mengajukan rancangan PP dimaksud.
Saat ini kita berpacu dengan waktu. Angka kelahiran di Indonesia, yang mencapai 4,5 juta bayi per tahun, indikasi nyata ancaman ledakan penduduk nasional. Tidak mungkin berharap kualitas penduduk akan lebih baik tanpa mengendalikan kuantitas. Semuanya sangat bergantung kepada para pemimpin kita menyikapi kependudukan.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/11/02564684/pesan.kependudukan.2011
Sonny Harry B Harmadi Kepala Lembaga Demografi FEUI dan Ketua Umum Koalisi Kependudukan
Majalah National Geographic edisi Januari 2011 mengangkat isu jumlah penduduk dunia mencapai 7 miliar jiwa. Kompas, Senin (10/1), juga mengangkat soal ledakan jumlah penduduk Indonesia.
Kedua isu itu berupaya menggugah masyarakat tentang ancaman ledakan jumlah penduduk. Selama ini dunia terlampau banyak menghabiskan energi untuk membahas isu-isu jangka pendek sehingga mengabaikan isu kependudukan yang berdampak besar pada jangka panjang.
Jumlah penduduk dunia tumbuh begitu cepat. Dahulu, untuk bertambah 1 miliar jiwa, dunia butuh 130 tahun (1800-1930). Kini, dalam 13 tahun, penduduk bertambah 1 miliar jiwa—dari 5 miliar jiwa tahun 1987 menjadi 6 miliar jiwa tahun 2000. Menurut lembaga kependudukan PBB (UNFPA), saat ini jumlah penduduk dunia mendekati 7 miliar jiwa hanya dalam 10 tahun.
Hasil Sensus Penduduk 2010 jelas menunjukkan gejala ledakan penduduk. Selama 10 tahun terakhir, penduduk bertambah 32,5 juta jiwa dan rata-rata pertumbuhan 1,49 persen. Pertambahan ini setara jumlah penduduk Kanada dan lebih banyak dari penduduk Malaysia. Jika pertumbuhan penduduk tetap 1,49 persen, tahun 2045 penduduk Indonesia 450 juta jiwa. Saat itu jumlah penduduk dunia diproyeksikan 9 miliar jiwa. Artinya, satu dari 20 penduduk dunia orang Indonesia.
Dengan jumlah penduduk 2010 yang ”hanya” 237,6 juta jiwa, pemerintah sudah dipusingkan oleh subsidi yang disalurkan. Banyak kota bermasalah dengan sampah, banjir, dan kemacetan. Ini belum lagi semakin sulitnya akses air, udara bersih, dan berbagai isu perubahan iklim. Bagaimana jika penduduk Indonesia mendekati 500 juta jiwa?
Para ahli demografi dan ahli lingkungan sering menggunakan istilah ecological suicide (bunuh diri ekologi) untuk mengaitkan masalah penduduk dengan lingkungan. Jumlah penduduk yang tidak terkendali akan berdampak buruk pada kualitas lingkungan.
Indonesia boleh berbangga karena mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri walaupun sebagian masih diimpor. Namun, sentra produksi pangan nasional tidak merata. Produksi beras mayoritas dihasilkan di Jawa, yang saat ini mengalami tekanan penduduk begitu besar. Perlu waktu lama memindahkan sentra produksi beras nasional ke luar Jawa. Penasihat Khusus Sekjen PBB Jeffrey Sachs mengungkapkan, pertumbuhan penduduk tinggi akan menghancurkan ekologi dan menghambat peningkatan pendapatan.
Di satu sisi, jumlah anak yang banyak akan menurunkan kemampuan investasi sumber daya manusia (SDM) dalam keluarga. Akibatnya, tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat akan rendah. Di sisi lain, jumlah penduduk besar dengan SDM makin rendah akan kian menghancurkan kualitas sumber daya alam.
Institusi kependudukan
Dalam suatu konferensi internasional tentang kependudukan dan KB tahun lalu, saya berdiskusi dengan seorang menteri kependudukan salah satu negara di Afrika. Dia berkata, ”Kami beruntung memiliki kementerian kependudukan meski jumlah penduduk kami tidak banyak.”
Secara tak langsung dia menyatakan keheranan mengapa Indonesia dengan jumlah penduduk begitu besar justru tidak merasa perlu punya kementerian kependudukan. Indonesia adalah kontributor terbesar kelima dunia dalam pertambahan jumlah penduduk setelah China, India, Brasil, dan Nigeria.
Jika kita menelaah kembali UU Nomor 39 Tahun 2008, sebenarnya kependudukan salah satu urusan pemerintahan yang dapat diurus kementerian tersendiri. UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga mengamanatkan diterbitkannya beberapa peraturan pemerintah (PP). Namun, penyusunan beberapa PP tersebut belum terdengar kelanjutannya hingga awal 2011 ini. BKKBN, yang berubah nama menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, bukanlah institusi setingkat kementerian sehingga sulit mengajukan rancangan PP dimaksud.
Saat ini kita berpacu dengan waktu. Angka kelahiran di Indonesia, yang mencapai 4,5 juta bayi per tahun, indikasi nyata ancaman ledakan penduduk nasional. Tidak mungkin berharap kualitas penduduk akan lebih baik tanpa mengendalikan kuantitas. Semuanya sangat bergantung kepada para pemimpin kita menyikapi kependudukan.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/11/02564684/pesan.kependudukan.2011
Sonny Harry B Harmadi Kepala Lembaga Demografi FEUI dan Ketua Umum Koalisi Kependudukan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya