Oleh: Pri Agung Rakhmanto
Perlahan tapi pasti pergerakan harga minyak dunia terus menguat dalam tiga bulan terakhir. Di pengujung tahun 2010 yang baru saja terlewati dalam hitungan hari, harga minyak mentah di beberapa bursa komoditas dunia ditutup di kisaran 91,38-94,30 dollar AS per barrel.
Ini adalah level tertinggi sejak Oktober 2008 atau 26 bulan lalu. Tren penguatan ini oleh banyak kalangan—dalam dan luar negeri—diperkirakan akan terus berlanjut hingga menembus batas psikologis 100 dollar AS per barrel, setidaknya hingga kuartal pertama tahun 2011.
Ada beberapa informasi dan fakta utama yang merupakan sinyal dan menjadikan ekspektasi para pelaku di pasar minyak dunia bergerak ke arah tersebut. Pertama, secara fundamental, meskipun melambat, ekonomi dunia yang utamanya tetap akan ditopang pertumbuhan ekonomi China, India, dan emerging countries lainnya, tetap akan tumbuh di kisaran 3,1 persen. (Preview of the United Nations Economic Report for 2011)
Kedua, belum akan berakhirnya musim dingin yang ekstrem, terutama di negara konsumen minyak terbesar dunia seperti AS dan Eropa Barat, akan memicu kecenderungan naiknya permintaan minyak, baik on paper maupun secara fisik untuk stok.
Ketiga, fakta bahwa OPEC—pada tahun 2011 akan dipimpin Iran—hingga saat ini memutuskan tak akan menambah kuota produksinya sebesar 24,85 juta barrel per hari.
Keempat, fakta bahwa sebagian besar anggota OPEC saat ini juga menyatakan bahwa ”ekonomi dunia akan mampu bertahan dan mengatasi harga minyak 100 dollar AS per barrel”.
Kelima, faktor ketidakpastian menyangkut ketegangan geopolitik, terutama hubungan Teheran-Washington, yang sewaktu-waktu dapat bereskalasi atau bertambah buruk.
Bagi APBN, tren penguatan harga minyak ini tidak sekadar perlu diwaspadai, tetapi lebih dari itu, memerlukan langkah antisipasi yang sistematis, terukur, dan konkret. Ini tak lain karena pada tingkat harga di atas asumsi APBN 80 dollar AS per barrel kenaikan harga minyak akan secara neto berdampak negatif terhadap APBN.
Simulasi Reforminer Institute menghitung bahwa setiap 1 dollar AS per barrel kenaikan harga minyak di atas asumsi APBN 80 dollar AS per barrel ceteris paribus, akan memperbesar defisit APBN sekurang-kurangnya Rp 550 miliar.
Di satu sisi, penerimaan negara dari minyak dan gas akan bertambah sekitar Rp 2,55 triliun, tetapi di sisi lain pengeluaran negara dari subsidi energi (BBM, LPG, dan listrik) juga akan bertambah sekurang-kurangnya Rp 3,1 triliun.
Dikatakan ”sekurang-kurangnya” tidak lain karena potensi tambahan defisit yang muncul di dalam realisasinya dapat jauh lebih besar daripada itu. Hal ini disebabkan beberapa hal.
Pertama, tendensi tidak tercapainya kembali (untuk kesekian kalinya) target lifting minyak 970.000 barrel per hari.
Tahun 2010, realisasi lifting minyak hanya 954.000 barrel per hari, di bawah target 965.000 barrel per hari.
Kedua, kecenderungan membengkaknya subsidi listrik di atas perkiraan karena terus berlanjutnya keterlambatan penyelesaian program percepatan pembangunan pembangkit listrik batu bara 10.000 MW tahap 1.
Dari target penyelesaian 1.150 MW pada tahun 2010, yang berhasil dicapai hanya 600 MW, atau sekitar 52 persennya saja, sehingga porsi pemakaian BBM dalam penyediaan listrik tahun 2011 tetap akan tinggi.
Ketiga, potensi tidak efektifnya pembatasan konsumsi BBM subsidi yang rencananya akan diterapkan akhir Maret 2011.
Berbanding terbalik
Khusus tentang keefektifan terkait rencana pembatasan konsumsi BBM subsidi ini, dalam keterkaitannya dengan penguatan harga minyak dunia, hubungannya dapat dikatakan berbanding terbalik.
Semakin tinggi harga minyak dunia, semakin mahal harga BBM nonsubsidi di dalam negeri, semakin besar disparitas harga antara BBM nonsubsidi dan BBM subsidi, semakin tidak efektif kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi.
Dengan tingkat harga minyak saat ini saja, harga BBM nonsubsidi sudah Rp 7.450 per liter, atau berarti sudah terdapat selisih harga dengan BBM subsidi mendekati Rp 3.000. Pada tingkat harga minyak dunia 100 dollar AS per barrel, harga BBM nonsubsidi akan mencapai Rp 8.900 per liter, atau hampir dua kali lipat harga BBM subsidi.
Dengan disparitas harga sebesar itu, hampir dipastikan tidak ada satu instrumen atau mekanisme apa pun yang akan efektif mencegah perdagangan gelap, penimbunan, penyelundupan, penyalahgunaan, ataupun distorsi lainnya jika rencana pembatasan BBM tersebut benar-benar diimplementasikan.
Dengan demikian, tak ada jaminan konsumsi premium subsidi akan berkurang sesuai target. Dengan segala potensi keruwetan dan distorsi yang pasti akan timbul, potensi penghematan anggaran senilai lebih kurang Rp 3,3 triliun (yang dapat diperoleh dari pembatasan BBM subsidi di Jabodetabek) menjadi sangat diragukan.
Rencana pembatasan BBM subsidi bukan hanya tidak akan banyak menolong APBN, tapi juga tak compatible dengan penguatan harga minyak yang tengah dan terus akan berlangsung tersebut. Dengan demikian, tak perlu membelenggukan diri sendiri hanya pada opsi pembatasan BBM subsidi tersebut. Opsi lain yang lebih rasional dan lebih adaptif serta lebih sustain terhadap pergerakan harga minyak dengan segala kemungkinannya layak untuk lebih dikedepankan.
Dalam jangka pendek (tahun 2011), di tengah salah kelola sektor migas dan energi nasional yang berimbas terhadap terus menurunnya produksi minyak nasional dan amat sangat lambannya pengembangan energi alternatif, memang tak banyak opsi yang tersedia. Meski pahit dan tentu juga tidak sepenuhnya fair bagi masyarakat, menaikkan harga BBM dalam besaran yang relatif terjangkau, katakanlah Rp 200-Rp 300 per liter, kiranya tetap akan lebih baik ketimbang memaksakan menerapkan pembatasan BBM subsidi.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/03/04321523/penguatan.harga.minyak.dan
Pri Agung Rakhmanto Pendiri dan Direktur Eksekutif Reforminer Institute
Perlahan tapi pasti pergerakan harga minyak dunia terus menguat dalam tiga bulan terakhir. Di pengujung tahun 2010 yang baru saja terlewati dalam hitungan hari, harga minyak mentah di beberapa bursa komoditas dunia ditutup di kisaran 91,38-94,30 dollar AS per barrel.
Ini adalah level tertinggi sejak Oktober 2008 atau 26 bulan lalu. Tren penguatan ini oleh banyak kalangan—dalam dan luar negeri—diperkirakan akan terus berlanjut hingga menembus batas psikologis 100 dollar AS per barrel, setidaknya hingga kuartal pertama tahun 2011.
Ada beberapa informasi dan fakta utama yang merupakan sinyal dan menjadikan ekspektasi para pelaku di pasar minyak dunia bergerak ke arah tersebut. Pertama, secara fundamental, meskipun melambat, ekonomi dunia yang utamanya tetap akan ditopang pertumbuhan ekonomi China, India, dan emerging countries lainnya, tetap akan tumbuh di kisaran 3,1 persen. (Preview of the United Nations Economic Report for 2011)
Kedua, belum akan berakhirnya musim dingin yang ekstrem, terutama di negara konsumen minyak terbesar dunia seperti AS dan Eropa Barat, akan memicu kecenderungan naiknya permintaan minyak, baik on paper maupun secara fisik untuk stok.
Ketiga, fakta bahwa OPEC—pada tahun 2011 akan dipimpin Iran—hingga saat ini memutuskan tak akan menambah kuota produksinya sebesar 24,85 juta barrel per hari.
Keempat, fakta bahwa sebagian besar anggota OPEC saat ini juga menyatakan bahwa ”ekonomi dunia akan mampu bertahan dan mengatasi harga minyak 100 dollar AS per barrel”.
Kelima, faktor ketidakpastian menyangkut ketegangan geopolitik, terutama hubungan Teheran-Washington, yang sewaktu-waktu dapat bereskalasi atau bertambah buruk.
Bagi APBN, tren penguatan harga minyak ini tidak sekadar perlu diwaspadai, tetapi lebih dari itu, memerlukan langkah antisipasi yang sistematis, terukur, dan konkret. Ini tak lain karena pada tingkat harga di atas asumsi APBN 80 dollar AS per barrel kenaikan harga minyak akan secara neto berdampak negatif terhadap APBN.
Simulasi Reforminer Institute menghitung bahwa setiap 1 dollar AS per barrel kenaikan harga minyak di atas asumsi APBN 80 dollar AS per barrel ceteris paribus, akan memperbesar defisit APBN sekurang-kurangnya Rp 550 miliar.
Di satu sisi, penerimaan negara dari minyak dan gas akan bertambah sekitar Rp 2,55 triliun, tetapi di sisi lain pengeluaran negara dari subsidi energi (BBM, LPG, dan listrik) juga akan bertambah sekurang-kurangnya Rp 3,1 triliun.
Dikatakan ”sekurang-kurangnya” tidak lain karena potensi tambahan defisit yang muncul di dalam realisasinya dapat jauh lebih besar daripada itu. Hal ini disebabkan beberapa hal.
Pertama, tendensi tidak tercapainya kembali (untuk kesekian kalinya) target lifting minyak 970.000 barrel per hari.
Tahun 2010, realisasi lifting minyak hanya 954.000 barrel per hari, di bawah target 965.000 barrel per hari.
Kedua, kecenderungan membengkaknya subsidi listrik di atas perkiraan karena terus berlanjutnya keterlambatan penyelesaian program percepatan pembangunan pembangkit listrik batu bara 10.000 MW tahap 1.
Dari target penyelesaian 1.150 MW pada tahun 2010, yang berhasil dicapai hanya 600 MW, atau sekitar 52 persennya saja, sehingga porsi pemakaian BBM dalam penyediaan listrik tahun 2011 tetap akan tinggi.
Ketiga, potensi tidak efektifnya pembatasan konsumsi BBM subsidi yang rencananya akan diterapkan akhir Maret 2011.
Berbanding terbalik
Khusus tentang keefektifan terkait rencana pembatasan konsumsi BBM subsidi ini, dalam keterkaitannya dengan penguatan harga minyak dunia, hubungannya dapat dikatakan berbanding terbalik.
Semakin tinggi harga minyak dunia, semakin mahal harga BBM nonsubsidi di dalam negeri, semakin besar disparitas harga antara BBM nonsubsidi dan BBM subsidi, semakin tidak efektif kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi.
Dengan tingkat harga minyak saat ini saja, harga BBM nonsubsidi sudah Rp 7.450 per liter, atau berarti sudah terdapat selisih harga dengan BBM subsidi mendekati Rp 3.000. Pada tingkat harga minyak dunia 100 dollar AS per barrel, harga BBM nonsubsidi akan mencapai Rp 8.900 per liter, atau hampir dua kali lipat harga BBM subsidi.
Dengan disparitas harga sebesar itu, hampir dipastikan tidak ada satu instrumen atau mekanisme apa pun yang akan efektif mencegah perdagangan gelap, penimbunan, penyelundupan, penyalahgunaan, ataupun distorsi lainnya jika rencana pembatasan BBM tersebut benar-benar diimplementasikan.
Dengan demikian, tak ada jaminan konsumsi premium subsidi akan berkurang sesuai target. Dengan segala potensi keruwetan dan distorsi yang pasti akan timbul, potensi penghematan anggaran senilai lebih kurang Rp 3,3 triliun (yang dapat diperoleh dari pembatasan BBM subsidi di Jabodetabek) menjadi sangat diragukan.
Rencana pembatasan BBM subsidi bukan hanya tidak akan banyak menolong APBN, tapi juga tak compatible dengan penguatan harga minyak yang tengah dan terus akan berlangsung tersebut. Dengan demikian, tak perlu membelenggukan diri sendiri hanya pada opsi pembatasan BBM subsidi tersebut. Opsi lain yang lebih rasional dan lebih adaptif serta lebih sustain terhadap pergerakan harga minyak dengan segala kemungkinannya layak untuk lebih dikedepankan.
Dalam jangka pendek (tahun 2011), di tengah salah kelola sektor migas dan energi nasional yang berimbas terhadap terus menurunnya produksi minyak nasional dan amat sangat lambannya pengembangan energi alternatif, memang tak banyak opsi yang tersedia. Meski pahit dan tentu juga tidak sepenuhnya fair bagi masyarakat, menaikkan harga BBM dalam besaran yang relatif terjangkau, katakanlah Rp 200-Rp 300 per liter, kiranya tetap akan lebih baik ketimbang memaksakan menerapkan pembatasan BBM subsidi.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/03/04321523/penguatan.harga.minyak.dan
Pri Agung Rakhmanto Pendiri dan Direktur Eksekutif Reforminer Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya