Oleh: Laode Ida
Seusai divonis tujuh tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Gayus Tambunan yang didampingi pengacaranya, Adnan Buyung Nasution, memberikan keterangan pers yang sedikit mengejutkan.
Intinya, ia kecewa terhadap Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, khususnya Denny Indrayana, Mas Achmad Santosa, dan Yunus Husein, lantaran dianggap telah terlibat melakukan rekayasa dalam penanganan kasus yang melibatkan dirinya. Rekayasa itu mulai dari proses penangkapannya di Singapura, upaya mengarahkan tuduhan kepada Grup Bakrie terkait uang Rp 50 miliar yang ada di kotak penyimpanannya, intimidasi terhadap istrinya untuk mengakui ”bertemu dengan Aburizal Bakrie (Ical)” saat menonton kejuaraan tenis di Bali, hingga keterlibatan oknum intelijen Amerika Serikat (CIA) dalam pembuatan paspor palsu.
Pihak Satgas agaknya sangat terpukul dengan nyanyian Gayus sehingga demikian sibuk atau kerepotan membantahnya, bahkan terkesan ”panik”. Denny pun kemudian membeberkan transkrip Blackberry Messenger (BBM) untuk meyakinkan bahwa tuduhan Gayus itu bohong adanya.
Namun, yang tak bisa dibantah, khususnya oleh Denny, menurut saya, adalah bukti cuplikan pesan singkat yang dikirimnya kepada Milana (istri Gayus), yang mengesankan adanya ”bujukan intimidatif” untuk, antara lain, mengakui kepergian Gayus di Bali adalah untuk bertemu dengan Ical (Kompas.com, 14/1/2011).
Rekayasa dan pencitraan
Pernyataan Gayus tentang sepak terjang Satgas, khususnya Denny ini, memunculkan beberapa kecurigaan khalayak. Pertama, kecurigaan bahwa Satgas bekerja untuk kepentingan pencitraan. Dengan memanfaatkan kasus Gayus, Satgas boleh jadi telah bekerja dalam skenario yang sarat rekayasa, hanya untuk memunculkan kesan ”cepat bertindak dan mengungkap kasus mafia besar”.
Selain itu, karena lembaga itu merupakan bentukan Presiden SBY, dengan sendirinya akan semakin memperkuat dan mengangkat pencitraan. Presiden sendiri sudah mengumumkan keberhasilan pemerintah yang salah satunya adalah penegakan hukum (hasil kerja Satgas), kendati kemudian sejumlah tokoh agama menganggapnya sebagai bagian dari kebohongan.
Kedua, kecurigaan bahwa Satgas bekerja untuk kepentingan pembunuhan karakter lawan politik. Fenomena ini setidaknya muncul dari berbagai pernyataan dan sikap Denny (yang kemudian dibenarkan oleh Gayus) yang berupaya terus fokus pada tuduhan keterlibatan Grup Bakrie sebagai pengemplang pajak. Padahal, sebenarnya masih ada lebih dari 100 perusahaan lain yang diduga juga terlilit kasus yang sama. Sangat jarang, atau bahkan hampir tak pernah, pemilik dari perusahaan-perusahaan lain ini diungkap secara terbuka oleh Satgas.
Akibatnya, sangat terkesan ada nuansa politik, dan bukan mustahil kemudian dicurigai ”terkait dengan kepentingan pihak Istana” untuk ”mematikan peluang lawan politiknya”, baik terkait skandal Bank Century maupun terkait kepentingan pemilu legislatif dan pemilihan presiden/wakil presiden 2014.
Semoga ini hanya sebatas dugaan. Sebab, kalau sampai dua dugaan tersebut mengandung unsur kebenaran, bukan hanya sungguh rendah nilai keberadaan Satgas itu, melainkan secara terselubung juga telah melakukan ”pembohongan kepada masyarakat awam”. Banyak pihak berharap pembentukan Satgas adalah bagian dari wujud komitmen Presiden SBY dalam rangka penegakan hukum di negeri ini. Anggota timnya pun terkesan memiliki derajat independensi dan kredibilitas yang tinggi karena terdiri dari kalangan terdidik dan tokoh publik.
Jangan sampai mereka menjadi instrumen efektif untuk kepentingan pragmatis kekuasaan. Untuk mencegah kecurigaan terhadap kemungkinan keterlibatan Istana dalam upaya rekayasa kasus Gayus, setidaknya Presiden SBY perlu melakukan dua langkah pokok. Pertama, mengusut secara tuntas mafia perpajakan yang sudah diungkap melalui kasus Gayus. Presiden SBY juga harus memberikan penjelasan yang meyakinkan tentang ”posisi pihaknya” bahwa pihaknya tidak terlibat dalam rekayasa seperti yang diindikasikan oleh oknum Satgas. Kalau tidak, maka pencitraan yang ada justru kian buruk, sekaligus juga akan memperkuat tuduhan sejumlah tokoh agama dan aktivis tentang adanya indikasi kebohongan.
Kedua, Presiden SBY menggunakan masukan atau informasi dari Gayus untuk melakukan evaluasi mendasar terhadap keberadaan Satgas dan orang-orang yang ada di dalamnya. Presiden tak perlu ragu untuk memberikan sanksi kepada oknum yang dalam manuvernya telah mencederai keberadaan Satgas dan mencoreng wajah Istana.
Laode Ida Wakil Ketua DPD; Artikel Ini merupakan Pandangan Pribadi
Seusai divonis tujuh tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Gayus Tambunan yang didampingi pengacaranya, Adnan Buyung Nasution, memberikan keterangan pers yang sedikit mengejutkan.
Intinya, ia kecewa terhadap Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, khususnya Denny Indrayana, Mas Achmad Santosa, dan Yunus Husein, lantaran dianggap telah terlibat melakukan rekayasa dalam penanganan kasus yang melibatkan dirinya. Rekayasa itu mulai dari proses penangkapannya di Singapura, upaya mengarahkan tuduhan kepada Grup Bakrie terkait uang Rp 50 miliar yang ada di kotak penyimpanannya, intimidasi terhadap istrinya untuk mengakui ”bertemu dengan Aburizal Bakrie (Ical)” saat menonton kejuaraan tenis di Bali, hingga keterlibatan oknum intelijen Amerika Serikat (CIA) dalam pembuatan paspor palsu.
Pihak Satgas agaknya sangat terpukul dengan nyanyian Gayus sehingga demikian sibuk atau kerepotan membantahnya, bahkan terkesan ”panik”. Denny pun kemudian membeberkan transkrip Blackberry Messenger (BBM) untuk meyakinkan bahwa tuduhan Gayus itu bohong adanya.
Namun, yang tak bisa dibantah, khususnya oleh Denny, menurut saya, adalah bukti cuplikan pesan singkat yang dikirimnya kepada Milana (istri Gayus), yang mengesankan adanya ”bujukan intimidatif” untuk, antara lain, mengakui kepergian Gayus di Bali adalah untuk bertemu dengan Ical (Kompas.com, 14/1/2011).
Rekayasa dan pencitraan
Pernyataan Gayus tentang sepak terjang Satgas, khususnya Denny ini, memunculkan beberapa kecurigaan khalayak. Pertama, kecurigaan bahwa Satgas bekerja untuk kepentingan pencitraan. Dengan memanfaatkan kasus Gayus, Satgas boleh jadi telah bekerja dalam skenario yang sarat rekayasa, hanya untuk memunculkan kesan ”cepat bertindak dan mengungkap kasus mafia besar”.
Selain itu, karena lembaga itu merupakan bentukan Presiden SBY, dengan sendirinya akan semakin memperkuat dan mengangkat pencitraan. Presiden sendiri sudah mengumumkan keberhasilan pemerintah yang salah satunya adalah penegakan hukum (hasil kerja Satgas), kendati kemudian sejumlah tokoh agama menganggapnya sebagai bagian dari kebohongan.
Kedua, kecurigaan bahwa Satgas bekerja untuk kepentingan pembunuhan karakter lawan politik. Fenomena ini setidaknya muncul dari berbagai pernyataan dan sikap Denny (yang kemudian dibenarkan oleh Gayus) yang berupaya terus fokus pada tuduhan keterlibatan Grup Bakrie sebagai pengemplang pajak. Padahal, sebenarnya masih ada lebih dari 100 perusahaan lain yang diduga juga terlilit kasus yang sama. Sangat jarang, atau bahkan hampir tak pernah, pemilik dari perusahaan-perusahaan lain ini diungkap secara terbuka oleh Satgas.
Akibatnya, sangat terkesan ada nuansa politik, dan bukan mustahil kemudian dicurigai ”terkait dengan kepentingan pihak Istana” untuk ”mematikan peluang lawan politiknya”, baik terkait skandal Bank Century maupun terkait kepentingan pemilu legislatif dan pemilihan presiden/wakil presiden 2014.
Semoga ini hanya sebatas dugaan. Sebab, kalau sampai dua dugaan tersebut mengandung unsur kebenaran, bukan hanya sungguh rendah nilai keberadaan Satgas itu, melainkan secara terselubung juga telah melakukan ”pembohongan kepada masyarakat awam”. Banyak pihak berharap pembentukan Satgas adalah bagian dari wujud komitmen Presiden SBY dalam rangka penegakan hukum di negeri ini. Anggota timnya pun terkesan memiliki derajat independensi dan kredibilitas yang tinggi karena terdiri dari kalangan terdidik dan tokoh publik.
Jangan sampai mereka menjadi instrumen efektif untuk kepentingan pragmatis kekuasaan. Untuk mencegah kecurigaan terhadap kemungkinan keterlibatan Istana dalam upaya rekayasa kasus Gayus, setidaknya Presiden SBY perlu melakukan dua langkah pokok. Pertama, mengusut secara tuntas mafia perpajakan yang sudah diungkap melalui kasus Gayus. Presiden SBY juga harus memberikan penjelasan yang meyakinkan tentang ”posisi pihaknya” bahwa pihaknya tidak terlibat dalam rekayasa seperti yang diindikasikan oleh oknum Satgas. Kalau tidak, maka pencitraan yang ada justru kian buruk, sekaligus juga akan memperkuat tuduhan sejumlah tokoh agama dan aktivis tentang adanya indikasi kebohongan.
Kedua, Presiden SBY menggunakan masukan atau informasi dari Gayus untuk melakukan evaluasi mendasar terhadap keberadaan Satgas dan orang-orang yang ada di dalamnya. Presiden tak perlu ragu untuk memberikan sanksi kepada oknum yang dalam manuvernya telah mencederai keberadaan Satgas dan mencoreng wajah Istana.
Laode Ida Wakil Ketua DPD; Artikel Ini merupakan Pandangan Pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya