Oleh Donny Gahral Adian
Suatu hari yang mendung di awal 2011. Sekelompok agamawan berkumpul menyerukan betapa rezim SBY suka berbohong. Media menyitirnya. Rezim bereaksi keras. Tumbukan keduanya berakhir di ruang berpendingin di Istana Negara.
Rezim berargumen tuduhan para agamawan itu keliru. Rezim tidak berbohong, tetapi yang ia lakukan belum sesuai dengan target yang dikehendaki. Di sisi lain, kelompok agamawan sibuk menangkis tuduhan bahwa gerakan mereka didomplengi kepentingan politik. Mereka menegaskan ini murni gerakan moral tanpa tendensi politis. Yang mereka kehendaki: perbaikan kinerja pemerintahan, bukan pemakzulan.
Omong kosong
Saya termasuk sedikit orang yang tak percaya garis pembatas antara gerakan moral dan politik. Carl Schmitt mengatakan betapa moralitas dapat berubah politis seketika. Saat antagonisme mencapai intensitas tertentu, gerakan moral yang dingin dapat jadi panas dan sarat permusuhan.
Saya teringat pada sebuah peristiwa di ujung rezim Soeharto. Di satu hari yang terik pada 1998, sekelompok ibu kumpul di Bundaran Hotel Indonesia. Tuntutan mereka sangat domestik: turunkan harga susu! Sebagian menganggapnya gerakan moral belaka, segaris seruan terhadap pemerintahan yang limbung akibat krisis ekonomi. Namun, siapa nyana gerakan itu memicu prahara politik, meruntuhkan rezim totaliter berumur puluhan tahun.
Gerakan dapat saja berbasis moral keagamaan. Nilai-nilai keagamaan dapat menginspirasi sebuah gerakan untuk perubahan. Agama mengajarkan umat berkhidmat pada kebenaran. Kekeliruan harus diluruskan, kebohongan harus dibongkar habis. Pemerintahan yang berbohong berjalan di luar rel nilai keagamaan.
Agamawan pun memiliki hak teologis mengingatkan pemerintahan sedemikian rupa. Persoalannya, apakah status quo dapat runtuh hanya dengan rentetan khotbah dan kutipan kitab suci? Gerakan moral punya kelemahan fatal. Pertama, status quo akan sangat mudah memoderasinya. Absennya politik dari gerakan moral membuat status quo memperlakukannya sebagai mitra dan bukan lawan politik yang diperhitungkan.
Presiden dapat dengan mudah mengatakan, ”Kami menyadari kekeliruan kami dan sangat menanti sumbang saran alim ulama sekalian selaku mitra yang konstruktif.” Kritik tidak dijawab, tetapi dinetralisasi. Ia dianggap sumbang pikiran yang perlu ditimbang, tetapi belum tentu dilaksanakan. Bahasa sederhananya: masuk telinga kiri, hinggap di pikiran sebentar, lalu keluar dari telinga kanan.
Kedua, gerakan moral berhenti pada diskursus normatif. Gerakan moral hanya menyalahkan status quo dari kacamata moral: berbohong. Tuntutan normatif pun hanya minta respons normatif. Rezim tinggal berkata, ”Ya, kami berbohong. Untuk itu kami minta maaf.” ”Data itu memang tak diolah secara saksama sehingga tak akurat.” ”Pemerintah tak bermaksud berbohong, kekeliruan terletak pada implementasi yang kurang rapi.”
Ujung dari tuntutan normatif adalah permintaan maaf dan janji tak mengulanginya. Tuntutan ini sangat tinggi dari kacamata moralitas, tetapi sangat naif dari kacamata politik. Tuntutan politik bukan sekadar permintaan maaf, melainkan perubahan politik, baik moderat maupun radikal. Dalam bahasa sedikit rumit, tuntutan moral adalah tindak ujar yang tak mengubah keadaan. Tuntutan moral adalah omong tanpa aksi, retorika tanpa isi.
Semuanya gerakan politik
Saya percaya: tak ada sesuatu di luar gerakan politik. Semua gerakan politik, baik berupa tunas maupun pohon besar. Baik ibu-ibu yang menuntut harga susu turun maupun agamawan yang minta kebenaran. Semua adalah tunas politik yang siap membesar. Kaum ibu di ujung Orde Baru sengaja menyembunyikan napas politik dalam gerakannya sebab kuping Orde Baru sangat tipis. Ia siap mencopot kuping siapa saja yang berseberangan. Lalu, apa yang menahan para agamawan memproklamasikan gerakan mereka sebagai gerakan politik? Mereka tak punya bisnis yang dipertaruhkan, hanya mengabdi pada imperatif suci dari langit.
Filsuf Alain Badiou berilustrasi mengenai peristiwa 18 Maret 1871 di Paris, hari terbentuknya Paris Commune, otoritas lokal yang dibentuk kaum buruh yang dua bulan mengendalikan Paris. Yang menarik pada 18 Maret 1871 adalah sesuatu yang absen dari pentas politik Perancis (buruh) tiba-tiba menampakkan diri. Kaum buruh tak sekadar menampakkan diri. Ia sekaligus mengambil alih kekuasaan lokal di Paris.
Hari itu kaum buruh, yang tak punya mandat memerintah, memberi mandat kepada diri sendiri. Dengan itu, mereka tolak perintah Versailles menyerahkan kanon-kanon yang ditempatkan di Paris. Gerakan politik mereka kontroversial tetapi dikenang sebab tak sembunyi di balik jargon moral, melainkan jujur menampakkan wajah politiknya. Kaum agamawan di Jakarta tiba-tiba keluar dari ruang sakral dan menghardik di ruang profan. Kemunculan mendadak ini adalah sesuatu yang politis. Tanpa menunggu sebutan, gerakan agamawan—seperti ibu-ibu di Bundaran HI dan kaum buruh—adalah gerakan politik in optima forma.
Penyangkalan adalah patologi psikologis yang berakibat buruk bukan hanya bagi gerakan, melainkan juga kepada mereka yang ia bela. Saya pikir gerakan kaum agamawan harus mau berdamai dengan kodrat politik gerakannya. Daripada terus mengibas debu politik dari jubah sucinya, agamawan harus terus menyuarakan kebenaran, mengorganisasikan diri, dan menjaga militansi. Hasil akhir masih berupa misteri politik. Namun, saya sedikit di antara orang yang sangat ingin tahu akhir cerita epos politik ini.
Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Politik Posmodern di UI
Sumber :http://cetak.kompas.com/read/2011/01/27/03430979/setelah.gerakan.moral
Suatu hari yang mendung di awal 2011. Sekelompok agamawan berkumpul menyerukan betapa rezim SBY suka berbohong. Media menyitirnya. Rezim bereaksi keras. Tumbukan keduanya berakhir di ruang berpendingin di Istana Negara.
Rezim berargumen tuduhan para agamawan itu keliru. Rezim tidak berbohong, tetapi yang ia lakukan belum sesuai dengan target yang dikehendaki. Di sisi lain, kelompok agamawan sibuk menangkis tuduhan bahwa gerakan mereka didomplengi kepentingan politik. Mereka menegaskan ini murni gerakan moral tanpa tendensi politis. Yang mereka kehendaki: perbaikan kinerja pemerintahan, bukan pemakzulan.
Omong kosong
Saya termasuk sedikit orang yang tak percaya garis pembatas antara gerakan moral dan politik. Carl Schmitt mengatakan betapa moralitas dapat berubah politis seketika. Saat antagonisme mencapai intensitas tertentu, gerakan moral yang dingin dapat jadi panas dan sarat permusuhan.
Saya teringat pada sebuah peristiwa di ujung rezim Soeharto. Di satu hari yang terik pada 1998, sekelompok ibu kumpul di Bundaran Hotel Indonesia. Tuntutan mereka sangat domestik: turunkan harga susu! Sebagian menganggapnya gerakan moral belaka, segaris seruan terhadap pemerintahan yang limbung akibat krisis ekonomi. Namun, siapa nyana gerakan itu memicu prahara politik, meruntuhkan rezim totaliter berumur puluhan tahun.
Gerakan dapat saja berbasis moral keagamaan. Nilai-nilai keagamaan dapat menginspirasi sebuah gerakan untuk perubahan. Agama mengajarkan umat berkhidmat pada kebenaran. Kekeliruan harus diluruskan, kebohongan harus dibongkar habis. Pemerintahan yang berbohong berjalan di luar rel nilai keagamaan.
Agamawan pun memiliki hak teologis mengingatkan pemerintahan sedemikian rupa. Persoalannya, apakah status quo dapat runtuh hanya dengan rentetan khotbah dan kutipan kitab suci? Gerakan moral punya kelemahan fatal. Pertama, status quo akan sangat mudah memoderasinya. Absennya politik dari gerakan moral membuat status quo memperlakukannya sebagai mitra dan bukan lawan politik yang diperhitungkan.
Presiden dapat dengan mudah mengatakan, ”Kami menyadari kekeliruan kami dan sangat menanti sumbang saran alim ulama sekalian selaku mitra yang konstruktif.” Kritik tidak dijawab, tetapi dinetralisasi. Ia dianggap sumbang pikiran yang perlu ditimbang, tetapi belum tentu dilaksanakan. Bahasa sederhananya: masuk telinga kiri, hinggap di pikiran sebentar, lalu keluar dari telinga kanan.
Kedua, gerakan moral berhenti pada diskursus normatif. Gerakan moral hanya menyalahkan status quo dari kacamata moral: berbohong. Tuntutan normatif pun hanya minta respons normatif. Rezim tinggal berkata, ”Ya, kami berbohong. Untuk itu kami minta maaf.” ”Data itu memang tak diolah secara saksama sehingga tak akurat.” ”Pemerintah tak bermaksud berbohong, kekeliruan terletak pada implementasi yang kurang rapi.”
Ujung dari tuntutan normatif adalah permintaan maaf dan janji tak mengulanginya. Tuntutan ini sangat tinggi dari kacamata moralitas, tetapi sangat naif dari kacamata politik. Tuntutan politik bukan sekadar permintaan maaf, melainkan perubahan politik, baik moderat maupun radikal. Dalam bahasa sedikit rumit, tuntutan moral adalah tindak ujar yang tak mengubah keadaan. Tuntutan moral adalah omong tanpa aksi, retorika tanpa isi.
Semuanya gerakan politik
Saya percaya: tak ada sesuatu di luar gerakan politik. Semua gerakan politik, baik berupa tunas maupun pohon besar. Baik ibu-ibu yang menuntut harga susu turun maupun agamawan yang minta kebenaran. Semua adalah tunas politik yang siap membesar. Kaum ibu di ujung Orde Baru sengaja menyembunyikan napas politik dalam gerakannya sebab kuping Orde Baru sangat tipis. Ia siap mencopot kuping siapa saja yang berseberangan. Lalu, apa yang menahan para agamawan memproklamasikan gerakan mereka sebagai gerakan politik? Mereka tak punya bisnis yang dipertaruhkan, hanya mengabdi pada imperatif suci dari langit.
Filsuf Alain Badiou berilustrasi mengenai peristiwa 18 Maret 1871 di Paris, hari terbentuknya Paris Commune, otoritas lokal yang dibentuk kaum buruh yang dua bulan mengendalikan Paris. Yang menarik pada 18 Maret 1871 adalah sesuatu yang absen dari pentas politik Perancis (buruh) tiba-tiba menampakkan diri. Kaum buruh tak sekadar menampakkan diri. Ia sekaligus mengambil alih kekuasaan lokal di Paris.
Hari itu kaum buruh, yang tak punya mandat memerintah, memberi mandat kepada diri sendiri. Dengan itu, mereka tolak perintah Versailles menyerahkan kanon-kanon yang ditempatkan di Paris. Gerakan politik mereka kontroversial tetapi dikenang sebab tak sembunyi di balik jargon moral, melainkan jujur menampakkan wajah politiknya. Kaum agamawan di Jakarta tiba-tiba keluar dari ruang sakral dan menghardik di ruang profan. Kemunculan mendadak ini adalah sesuatu yang politis. Tanpa menunggu sebutan, gerakan agamawan—seperti ibu-ibu di Bundaran HI dan kaum buruh—adalah gerakan politik in optima forma.
Penyangkalan adalah patologi psikologis yang berakibat buruk bukan hanya bagi gerakan, melainkan juga kepada mereka yang ia bela. Saya pikir gerakan kaum agamawan harus mau berdamai dengan kodrat politik gerakannya. Daripada terus mengibas debu politik dari jubah sucinya, agamawan harus terus menyuarakan kebenaran, mengorganisasikan diri, dan menjaga militansi. Hasil akhir masih berupa misteri politik. Namun, saya sedikit di antara orang yang sangat ingin tahu akhir cerita epos politik ini.
Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Politik Posmodern di UI
Sumber :http://cetak.kompas.com/read/2011/01/27/03430979/setelah.gerakan.moral
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya