Oleh: J Kristiadi
Selama lebih dari satu dekade, rakyat Indonesia, dengan tertib dan penuh harap, melalui prosedur demokrasi, telah memilih belasan ribu elite politik yang menjanjikan kemakmuran dan keadilan. Namun, ekspektasi rakyat jauh dari kenyataan. Kehidupan rakyat semakin sulit dan berkubang kemiskinan. Tiwul maut yang merenggut nyawa enam orang, minggu lalu, hanyalah pucuk gunung es dari gelimang kepapaan masyarakat. Mereka terpaksa makan tiwul karena tidak mampu membeli makanan yang lebih bergizi. Hidup sejahtera hanya fatamorgana.
Kebijakan pengurangan jumlah rakyat miskin kadang-kadang hanya dilakukan dengan memperlunak definisi kemiskinan sehingga tidak mengurangi tingkat kemiskinan riil. Praktik demokrasi selama ini pantas disebut demokrasi tiwul. Tatanan kekuasaan tanpa ”gizi” roh, peradaban, dan niat politik mulia. Demokrasi telah merusak demokrasi.
Demokrasi tiwul menghasilkan elite politik hidup berkelimpahan. Lebih-lebih kalau mereka sedang memburu, mempertahankan, atau memupuk kekuasaan. Uang mengalir dari sumber yang tidak jelas, tetapi tidak pernah kering. Dana selalu tersedia pada hampir setiap proses politik, terlebih dalam kontestasi politik.
Pemiskinan rakyat terus berlangsung karena meski elite politik bergelimang kemewahan, mereka miskin empati terhadap penderitaan rakyat, miskin komitmen terhadap janji-janji sendiri, miskin kepedulian terhadap keprihatinan masyarakat, miskin sensitivitas aspirasi masyarakat, serta rudin niat mengelola kekuasaan guna kepentingan rakyat.
Saraf kolektif dan nalar sehat mereka lumpuh terserang bakteri demokrasi tiwul beracun yang berwujud kepentingan dan kenikmatan kekuasaan. Bangunan kekuasaan disesaki penghuni yang haus dan lapar kekuasaan. Struktur kekuasaan yang disebut demokratis justru membunuh rasa keadilan dan jauh dari upaya serius mewujudkan kesejahteraan. Praktik politik tersebut akan membangun persepsi publik bahwa demokrasi bukan pahala, tetapi monster atau berhala politik yang harus dikutuk.
Kemelut di atas mungkin mirip praktik politik masa lalu di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat. Konon di Inggris sekitar abad ke-18 dan ke-19, para menteri menyalahgunakan uang negara untuk kepentingan pribadi dan politik yang dianggap sangat normal. Demikian pula janji-janji kampanye berlebihan dan ancaman terhadap pemilih dalam kontestasi politik dianggap lumrah saat itu. Bahkan, setelah terbitnya regulasi yang membatasi praktik buruk tersebut, Corrupt and Illegal Practices Prevention Act 1883, aksi sejenis masih berlangsung.
Di Amerika Serikat, kolusi dan nepotisme dalam membagi-bagi jabatan publik kepada para loyalis partai berurat berakar sampai awal abad ke-19. Baru setelah lahirnya regulasi yang mengharuskan prinsip meritokrasi dalam perekrutan pejabat publik, Pendleton Act 1885, praktik semacam itu menyurut. Berbagai kecurangan dalam pemilu juga marak, termasuk mengubah imigran haram menjadi warga negara instan yang mempunyai hak pilih. Pada kurun waktu itu korupsi dan kolusi di lembaga perwakilan sangat buruk.
Presiden Theodore Roosevelt pun mengeluhkan perilaku anggota majelis yang secara terbuka menjual suara kepada kelompok pelobi. Mereka memandang karier dalam pemerintahan dan jabatan publik seperti burung nasar pemakan bangkai yang melihat domba mati. Namun, berkat kegigihan dan konsistensi rakyat di negara-negara itu dalam membangun manajemen kekuasaan yang manusiawi, akhirnya rakyat menikmati kesejahteraan.
Bangsa Indonesia tidak boleh menyerah. Demokrasi tiwul bukan demokrasi. Menyelamatkan demokrasi hanya dapat dilakukan dengan lebih bersemangat membangun demokrasi. Bangsa Indonesia tidak boleh putus asa dan jangan memilih sistem pengelolaan kekuasaan yang dianggap lebih efektif, seperti otoritarian.
Jenis kekuasaan yang lalim pasti akan menyengsarakan rakyat. Jangan pula memilih opsi sistem kekuasaan yang mengandalkan supremasi primordialisme karena sangat mudah memicu konflik komunal dan bermuara kepada skenario perang saudara. Kunci menyelamatkan demokrasi adalah partisipasi politik rakyat. Inilah salah satu mata rantai yang putus (missing link) antara demokrasi dan kemiskinan. Partisipasi rakyat tak boleh berhenti setelah memberikan suara. Rakyat harus aktif mengawasi dan terlibat dalam proses politik terus-menerus.
Demokrasi memang tak menjamin terwujudnya kemakmuran atau menghapus kemiskinan. Namun, demokrasi memberikan kebebasan kepada rakyat miskin untuk menjerit sekeras-kerasnya agar mendapatkan perhatian dari para pengambil kebijakan. Bahkan, rakyat sangat berhak membangun kekuatan politik untuk mengoreksi dan menekan pemegang kekuasaan agar kebijakannya berkiblat kepada kepentingan rakyat. Selain itu, memang diperlukan pula keterampilan dan kemampuan rakyat dalam mengontrol kebijakan publik.
Faktor penyelamat lain yang sangat penting adalah kepemimpinan. Ketegasan, kejelasan, konsistensi, dan keberpihakan pemimpin kepada kepentingan rakyat mutlak diperlukan. Pemimpin harus mampu menyusun agenda prioritas, baik dalam mendorong terwujudnya tatanan kekuasaan yang menghasilkan pemerintahan efektif maupun pembangunan ekonomi yang akan menjadi basis munculnya kelas menengah yang menopang demokrasi.
Terlebih dalam situasi yang dapat mengarah kepada dinamika politik yang apokaliptik, membangun citra, politik uang, dan transaksi politik harus ditinggalkan. Dukungan rakyat harus benar-benar dikelola untuk kepentingan rakyat. Hanya dengan berpedoman kepada kredo politik tersebut, skenario kiamat politik di depan mata dapat dihindari.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/11/02351844/demokrasi.tiwul
J Kristiadi Peneliti Senior CSIS
Selama lebih dari satu dekade, rakyat Indonesia, dengan tertib dan penuh harap, melalui prosedur demokrasi, telah memilih belasan ribu elite politik yang menjanjikan kemakmuran dan keadilan. Namun, ekspektasi rakyat jauh dari kenyataan. Kehidupan rakyat semakin sulit dan berkubang kemiskinan. Tiwul maut yang merenggut nyawa enam orang, minggu lalu, hanyalah pucuk gunung es dari gelimang kepapaan masyarakat. Mereka terpaksa makan tiwul karena tidak mampu membeli makanan yang lebih bergizi. Hidup sejahtera hanya fatamorgana.
Kebijakan pengurangan jumlah rakyat miskin kadang-kadang hanya dilakukan dengan memperlunak definisi kemiskinan sehingga tidak mengurangi tingkat kemiskinan riil. Praktik demokrasi selama ini pantas disebut demokrasi tiwul. Tatanan kekuasaan tanpa ”gizi” roh, peradaban, dan niat politik mulia. Demokrasi telah merusak demokrasi.
Demokrasi tiwul menghasilkan elite politik hidup berkelimpahan. Lebih-lebih kalau mereka sedang memburu, mempertahankan, atau memupuk kekuasaan. Uang mengalir dari sumber yang tidak jelas, tetapi tidak pernah kering. Dana selalu tersedia pada hampir setiap proses politik, terlebih dalam kontestasi politik.
Pemiskinan rakyat terus berlangsung karena meski elite politik bergelimang kemewahan, mereka miskin empati terhadap penderitaan rakyat, miskin komitmen terhadap janji-janji sendiri, miskin kepedulian terhadap keprihatinan masyarakat, miskin sensitivitas aspirasi masyarakat, serta rudin niat mengelola kekuasaan guna kepentingan rakyat.
Saraf kolektif dan nalar sehat mereka lumpuh terserang bakteri demokrasi tiwul beracun yang berwujud kepentingan dan kenikmatan kekuasaan. Bangunan kekuasaan disesaki penghuni yang haus dan lapar kekuasaan. Struktur kekuasaan yang disebut demokratis justru membunuh rasa keadilan dan jauh dari upaya serius mewujudkan kesejahteraan. Praktik politik tersebut akan membangun persepsi publik bahwa demokrasi bukan pahala, tetapi monster atau berhala politik yang harus dikutuk.
Kemelut di atas mungkin mirip praktik politik masa lalu di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat. Konon di Inggris sekitar abad ke-18 dan ke-19, para menteri menyalahgunakan uang negara untuk kepentingan pribadi dan politik yang dianggap sangat normal. Demikian pula janji-janji kampanye berlebihan dan ancaman terhadap pemilih dalam kontestasi politik dianggap lumrah saat itu. Bahkan, setelah terbitnya regulasi yang membatasi praktik buruk tersebut, Corrupt and Illegal Practices Prevention Act 1883, aksi sejenis masih berlangsung.
Di Amerika Serikat, kolusi dan nepotisme dalam membagi-bagi jabatan publik kepada para loyalis partai berurat berakar sampai awal abad ke-19. Baru setelah lahirnya regulasi yang mengharuskan prinsip meritokrasi dalam perekrutan pejabat publik, Pendleton Act 1885, praktik semacam itu menyurut. Berbagai kecurangan dalam pemilu juga marak, termasuk mengubah imigran haram menjadi warga negara instan yang mempunyai hak pilih. Pada kurun waktu itu korupsi dan kolusi di lembaga perwakilan sangat buruk.
Presiden Theodore Roosevelt pun mengeluhkan perilaku anggota majelis yang secara terbuka menjual suara kepada kelompok pelobi. Mereka memandang karier dalam pemerintahan dan jabatan publik seperti burung nasar pemakan bangkai yang melihat domba mati. Namun, berkat kegigihan dan konsistensi rakyat di negara-negara itu dalam membangun manajemen kekuasaan yang manusiawi, akhirnya rakyat menikmati kesejahteraan.
Bangsa Indonesia tidak boleh menyerah. Demokrasi tiwul bukan demokrasi. Menyelamatkan demokrasi hanya dapat dilakukan dengan lebih bersemangat membangun demokrasi. Bangsa Indonesia tidak boleh putus asa dan jangan memilih sistem pengelolaan kekuasaan yang dianggap lebih efektif, seperti otoritarian.
Jenis kekuasaan yang lalim pasti akan menyengsarakan rakyat. Jangan pula memilih opsi sistem kekuasaan yang mengandalkan supremasi primordialisme karena sangat mudah memicu konflik komunal dan bermuara kepada skenario perang saudara. Kunci menyelamatkan demokrasi adalah partisipasi politik rakyat. Inilah salah satu mata rantai yang putus (missing link) antara demokrasi dan kemiskinan. Partisipasi rakyat tak boleh berhenti setelah memberikan suara. Rakyat harus aktif mengawasi dan terlibat dalam proses politik terus-menerus.
Demokrasi memang tak menjamin terwujudnya kemakmuran atau menghapus kemiskinan. Namun, demokrasi memberikan kebebasan kepada rakyat miskin untuk menjerit sekeras-kerasnya agar mendapatkan perhatian dari para pengambil kebijakan. Bahkan, rakyat sangat berhak membangun kekuatan politik untuk mengoreksi dan menekan pemegang kekuasaan agar kebijakannya berkiblat kepada kepentingan rakyat. Selain itu, memang diperlukan pula keterampilan dan kemampuan rakyat dalam mengontrol kebijakan publik.
Faktor penyelamat lain yang sangat penting adalah kepemimpinan. Ketegasan, kejelasan, konsistensi, dan keberpihakan pemimpin kepada kepentingan rakyat mutlak diperlukan. Pemimpin harus mampu menyusun agenda prioritas, baik dalam mendorong terwujudnya tatanan kekuasaan yang menghasilkan pemerintahan efektif maupun pembangunan ekonomi yang akan menjadi basis munculnya kelas menengah yang menopang demokrasi.
Terlebih dalam situasi yang dapat mengarah kepada dinamika politik yang apokaliptik, membangun citra, politik uang, dan transaksi politik harus ditinggalkan. Dukungan rakyat harus benar-benar dikelola untuk kepentingan rakyat. Hanya dengan berpedoman kepada kredo politik tersebut, skenario kiamat politik di depan mata dapat dihindari.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/11/02351844/demokrasi.tiwul
J Kristiadi Peneliti Senior CSIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya