AA GN Ari Dwipayana
Dalam lapangan politik, tahun 2011 kita awali dengan penuh cemas. Bukan hanya karena politik transaksional kian menguat, tetapi juga sebab kehadiran kembali karakter feodalisme baru dalam ranah politik nasional ataupun lokal.
Namun, sesungguhnya kecemasan akan hadirnya neofeodalisme dalam demokrasi semacam ini bukan sesuatu yang baru. Ada akar historis yang panjang dan bisa ditemukan dalam debat di kalangan Indonesianis tentang kegagalan eksperimentasi demokrasi liberal pada era 1950-an.
Adalah Harry J Benda (1964) yang datang dengan keyakinan kuat bahwa republik ini tidak akan pernah beranjak menjadi negara demokratis karena kultur politik yang dibangun para elitenya semata-mata melanjutkan tradisi politik feodal yang diwarisi dari masa lalu (kerajaan). Singkatnya, Benda mengatakan bahwa kelembagaan demokrasi adalah interupsi artifisial terhadap watak dasar politik yang tak berubah sejak dahulu kala.
Yang dicemaskan Benda menemukan relevansinya pada konteks kekinian di tengah berlangsungnya proses liberalisasi politik dalam 11 tahun terakhir ini. Liberalisasi politik tidak hanya memungkinkan pengenalan instalasi kelembagaan baru demokrasi, tetapi juga membuka ruang politik yang semakin bebas dan kompetitif.
Dalam konteks politik yang berubah semacam itu, muncul sejumlah pertanyaan. Apakah tradisi politik feodalisme dengan sendirinya berakhir? Ataukah sebaliknya: feodalisme telah mewujud dalam bentuknya yang baru?
Jawaban atas pertanyaan itu tentu bisa dirangkai dengan mencermati berbagai gejala politik yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, mulai kehadiran politik patronase di tubuh partai politik, pemunculan dinasti politik dalam politik lokal ataupun dalam proses elektoral di daerah, gejala putra mahkota, sampai gagasan pencalonan Ani Yudhoyono-Puan Maharani menjadi kandidat presiden dan wakil presiden oleh seorang elite Partai Demokrat.
Politik patron
Kalau feodalisme sering dianggap sebagai ancaman bagi demokrasi, maka pertanyaan berikutnya adalah apa ciri penting politik feodalisme baru itu.
Pertama, relasi kuasa berjalan dalam logika patron-klien. Pemimpin ditempatkan sebagai patron yang dipuja dan memiliki segalanya. Dalam posisi sebagai patron, pemimpin tidak hanya dicitrakan tanpa tanding, tetapi juga ditempatkan sebagai poros utama dalam proses distribusi kesejahteraan antarelite. Dalam posisi semacam ini, patron ibarat matahari yang menjadi sebab keteraturan dan akan selalu didekati demi memperoleh perlindungan dan akses sumber daya yang lebih besar.
Kedua, dalam politik di mana patron adalah matahari, segala sesuatu menjadi serba personal. Tidak ada pemisahan yang tegas antara yang personal dan yang publik. Yang terjadi adalah memublikkan sesuatu yang sesungguhnya bersifat personal. Yang menjadi keinginan dan kepentingan sang patron dianggap sebagai kepentingan publik. Sebaliknya, respons publik atas keinginan patron selalu ditempatkan sebagai serangan personal atas sang patron.
Ketiga, oposisi terhadap sang patron adalah pembangkangan. Tindakan oposisional tak bisa ditoleransi dan harus disingkirkan. Oposisi dianggap bukan penyeimbang dalam bertindak, melainkan ekspresi paling nyata dari ketidakpatuhan. Rivalitas hanya bisa dilakukan di bawah kontrol sang patron. Bahkan, dalam logika politik feodalisme baru, tidak boleh ada matahari kembar.
Politik pewarisan
Dalam tradisi feodalisme, kekuasaan merupakan sesuatu yang bisa diwariskan kepada penerus di lingkaran terdekat sang patron. Dalam karakter ini, restu atau legitimasi sang patron menjadi sangat penting. Siapa yang direstui oleh patron menjadi penerusnya akan punya bobot penerimaan yang sangat kuat di lingkaran elite.
Kepada siapa kekuasaan diwariskan? Dalam tradisi kekuasaan yang bisa diwariskan ini, proses regenerasi politik biasanya tidak pernah berjalan jauh dan hanya di lingkaran kecil keluarga inti, seperti istri, anak, atau menantu. Itu sebabnya, keluarga inti selalu dipersiapkan untuk menyongsong pewarisan ini. Keluarga inti selalu dididik secara politik untuk jadi pemain atau setidaknya tahu logika dasar permainan politik.
Proses pematangan yang instan sering kali terjadi ketika sang patron mengalami ”kecelakaan politik”. Sampai di sini para pewaris akan dimatangkan secara cepat. Sampai di sini sang patron tentu saja tidak bisa begitu saja keluar dari kultur keintiman: orang yang paling dipercaya adalah orang yang paling dekat dengan dirinya.
Itu artinya, patron akan cenderung mewariskan kuasa yang ia miliki kepada keturunan biologisnya. Naluri ini juga berbalut dengan logika kepentingan rasional politik untuk tetap menjaga akses maupun kontrol atas kekuasaan. Tanpa duduk secara formal dalam pemerintahan, sang patron tetaplah figur tanpa tanding karena bisa menjadi pemain bayangan yang mengontrol semua permainan.
Mengapa politik pewarisan ini bisa sedemikian kukuh? Jawabannya bisa ditemukan pada proses ketergantungan elite politik akan kehadiran patron atau pewarisnya. Ada beberapa penjelasan mengapa hal ini bisa terjadi.
Penjelasan bisa bersifat abstrak-simbolis karena para elite memiliki semacam mitos bahwa pewaris memiliki kualitas yang sama dengan figur yang diwarisinya. Namun, bisa jadi hal itu adalah strategi elite untuk mencari bentuk-bentuk koeksistensi damai: regenerasi politik jangan sampai mengganggu keseimbangan dalam rivalitas antarelite.
Akhirnya kehadiran gejala feodalisme baru dalam politik Indonesia mutakhir mengingatkan kita akan pentingnya melihat kembali proses demokratisasi: tidak semata-mata instalasi prosedur-kelembagaan demokrasi, melainkan sebagai upaya mengukuhkan kembali kultur demokratis. Itu artinya, proses demokratisasi harus memungkinkan transformasi dari kultur ”kawula” atau klien menjadi kultur warga negara.
Bukankah sejarah juga telah menunjukkan bahwa the founding fathers secara sadar memilih pemerintahan berbentuk republik, bukan kerajaan? Pilihan itu mengandung arti keinginan untuk menempatkan kepentingan publik di tempat tertinggi, bukan kehendak perseorangan atau keinginan golongan elite semata.
Oleh karena itu, demokratisasi harus dimaknai sebagai transformasi budaya untuk melawan nilai-nilai feodalisme dan berbagai manifestasinya. Tanpa semangat itu, sama saja kita sedang berada dalam Kerajaan Republik Indonesia.
AA GN Ari Dwipayana Dosen Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/01/19/04072848/neofeodalisasi.demokrasi.
Dalam lapangan politik, tahun 2011 kita awali dengan penuh cemas. Bukan hanya karena politik transaksional kian menguat, tetapi juga sebab kehadiran kembali karakter feodalisme baru dalam ranah politik nasional ataupun lokal.
Namun, sesungguhnya kecemasan akan hadirnya neofeodalisme dalam demokrasi semacam ini bukan sesuatu yang baru. Ada akar historis yang panjang dan bisa ditemukan dalam debat di kalangan Indonesianis tentang kegagalan eksperimentasi demokrasi liberal pada era 1950-an.
Adalah Harry J Benda (1964) yang datang dengan keyakinan kuat bahwa republik ini tidak akan pernah beranjak menjadi negara demokratis karena kultur politik yang dibangun para elitenya semata-mata melanjutkan tradisi politik feodal yang diwarisi dari masa lalu (kerajaan). Singkatnya, Benda mengatakan bahwa kelembagaan demokrasi adalah interupsi artifisial terhadap watak dasar politik yang tak berubah sejak dahulu kala.
Yang dicemaskan Benda menemukan relevansinya pada konteks kekinian di tengah berlangsungnya proses liberalisasi politik dalam 11 tahun terakhir ini. Liberalisasi politik tidak hanya memungkinkan pengenalan instalasi kelembagaan baru demokrasi, tetapi juga membuka ruang politik yang semakin bebas dan kompetitif.
Dalam konteks politik yang berubah semacam itu, muncul sejumlah pertanyaan. Apakah tradisi politik feodalisme dengan sendirinya berakhir? Ataukah sebaliknya: feodalisme telah mewujud dalam bentuknya yang baru?
Jawaban atas pertanyaan itu tentu bisa dirangkai dengan mencermati berbagai gejala politik yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, mulai kehadiran politik patronase di tubuh partai politik, pemunculan dinasti politik dalam politik lokal ataupun dalam proses elektoral di daerah, gejala putra mahkota, sampai gagasan pencalonan Ani Yudhoyono-Puan Maharani menjadi kandidat presiden dan wakil presiden oleh seorang elite Partai Demokrat.
Politik patron
Kalau feodalisme sering dianggap sebagai ancaman bagi demokrasi, maka pertanyaan berikutnya adalah apa ciri penting politik feodalisme baru itu.
Pertama, relasi kuasa berjalan dalam logika patron-klien. Pemimpin ditempatkan sebagai patron yang dipuja dan memiliki segalanya. Dalam posisi sebagai patron, pemimpin tidak hanya dicitrakan tanpa tanding, tetapi juga ditempatkan sebagai poros utama dalam proses distribusi kesejahteraan antarelite. Dalam posisi semacam ini, patron ibarat matahari yang menjadi sebab keteraturan dan akan selalu didekati demi memperoleh perlindungan dan akses sumber daya yang lebih besar.
Kedua, dalam politik di mana patron adalah matahari, segala sesuatu menjadi serba personal. Tidak ada pemisahan yang tegas antara yang personal dan yang publik. Yang terjadi adalah memublikkan sesuatu yang sesungguhnya bersifat personal. Yang menjadi keinginan dan kepentingan sang patron dianggap sebagai kepentingan publik. Sebaliknya, respons publik atas keinginan patron selalu ditempatkan sebagai serangan personal atas sang patron.
Ketiga, oposisi terhadap sang patron adalah pembangkangan. Tindakan oposisional tak bisa ditoleransi dan harus disingkirkan. Oposisi dianggap bukan penyeimbang dalam bertindak, melainkan ekspresi paling nyata dari ketidakpatuhan. Rivalitas hanya bisa dilakukan di bawah kontrol sang patron. Bahkan, dalam logika politik feodalisme baru, tidak boleh ada matahari kembar.
Politik pewarisan
Dalam tradisi feodalisme, kekuasaan merupakan sesuatu yang bisa diwariskan kepada penerus di lingkaran terdekat sang patron. Dalam karakter ini, restu atau legitimasi sang patron menjadi sangat penting. Siapa yang direstui oleh patron menjadi penerusnya akan punya bobot penerimaan yang sangat kuat di lingkaran elite.
Kepada siapa kekuasaan diwariskan? Dalam tradisi kekuasaan yang bisa diwariskan ini, proses regenerasi politik biasanya tidak pernah berjalan jauh dan hanya di lingkaran kecil keluarga inti, seperti istri, anak, atau menantu. Itu sebabnya, keluarga inti selalu dipersiapkan untuk menyongsong pewarisan ini. Keluarga inti selalu dididik secara politik untuk jadi pemain atau setidaknya tahu logika dasar permainan politik.
Proses pematangan yang instan sering kali terjadi ketika sang patron mengalami ”kecelakaan politik”. Sampai di sini para pewaris akan dimatangkan secara cepat. Sampai di sini sang patron tentu saja tidak bisa begitu saja keluar dari kultur keintiman: orang yang paling dipercaya adalah orang yang paling dekat dengan dirinya.
Itu artinya, patron akan cenderung mewariskan kuasa yang ia miliki kepada keturunan biologisnya. Naluri ini juga berbalut dengan logika kepentingan rasional politik untuk tetap menjaga akses maupun kontrol atas kekuasaan. Tanpa duduk secara formal dalam pemerintahan, sang patron tetaplah figur tanpa tanding karena bisa menjadi pemain bayangan yang mengontrol semua permainan.
Mengapa politik pewarisan ini bisa sedemikian kukuh? Jawabannya bisa ditemukan pada proses ketergantungan elite politik akan kehadiran patron atau pewarisnya. Ada beberapa penjelasan mengapa hal ini bisa terjadi.
Penjelasan bisa bersifat abstrak-simbolis karena para elite memiliki semacam mitos bahwa pewaris memiliki kualitas yang sama dengan figur yang diwarisinya. Namun, bisa jadi hal itu adalah strategi elite untuk mencari bentuk-bentuk koeksistensi damai: regenerasi politik jangan sampai mengganggu keseimbangan dalam rivalitas antarelite.
Akhirnya kehadiran gejala feodalisme baru dalam politik Indonesia mutakhir mengingatkan kita akan pentingnya melihat kembali proses demokratisasi: tidak semata-mata instalasi prosedur-kelembagaan demokrasi, melainkan sebagai upaya mengukuhkan kembali kultur demokratis. Itu artinya, proses demokratisasi harus memungkinkan transformasi dari kultur ”kawula” atau klien menjadi kultur warga negara.
Bukankah sejarah juga telah menunjukkan bahwa the founding fathers secara sadar memilih pemerintahan berbentuk republik, bukan kerajaan? Pilihan itu mengandung arti keinginan untuk menempatkan kepentingan publik di tempat tertinggi, bukan kehendak perseorangan atau keinginan golongan elite semata.
Oleh karena itu, demokratisasi harus dimaknai sebagai transformasi budaya untuk melawan nilai-nilai feodalisme dan berbagai manifestasinya. Tanpa semangat itu, sama saja kita sedang berada dalam Kerajaan Republik Indonesia.
AA GN Ari Dwipayana Dosen Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/01/19/04072848/neofeodalisasi.demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya