Rabu, 19 Januari 2011

Menggugat Pembohongan Publik

Oleh: Azyumardi Azra



Ada apa ketika para pemimpin dan tokoh lintas agama, Senin (10/1/2011) lalu, mengeluarkan pernyataan terbuka yang kemudian dikenal sebagai ”kebohongan” [rezim] Presiden Susilo Bambang Yudhoyono? Kenapa tiba-tiba mereka ”turun gunung” secara bersama-sama dan kemudian keluar ke depan publik dengan sejumlah daftar ”kebohongan” tersebut? Bagaimana kita memahami gejala yang cukup mengagetkan ini?

Para pemimpin dan tokoh lintas agama itu agaknya tidak secara resmi mewakili organisasi atau umat masing-masing. Namun, mereka cukup representatif mewakili umat lintas agama.

Ada Ahmad Syafii Maarif (mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah), Andreas Yewangoe (Ketua Persekutuan Gereja-gereja Indonesia/PGI), Din Syamsuddin (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia/MUI), Mgr Martinus D Situmorang (Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia/KWI), Biksu Sri Mahathera Pannyavaro (Mahanayakka Buddha Mahasangha Theravada Indonesia), KH Salahuddin Wahid (Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng dan tokoh nasional asal Nahdlatul Ulama/NU), serta I Nyoman Udayana Sangging (Parisada Hindu Dharma Indonesia/PHDI).

Jelas para tokoh lintas agama itu tidak gegabah mengeluarkan pernyataan terbuka yang keras itu. Mereka mengadakan pertemuan berkali-kali di tempat tokoh agama berbeda. Berkali-kali pula mereka menyusun draf yang kemudian menjadi pernyataan terbuka itu, yang mengungkapkan berbagai masalah serius yang tengah dihadapi negara-bangsa ini.

Kebohongan baru dan kebohongan lama

Dalam kesimpulan mereka, berbagai masalah itu bersumber dari sejumlah kebohongan yang dilakukan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam semacam lampiran pernyataan terbuka itu dengan judul ”Beberapa Kebohongan Rezim SBY”, mereka mendaftar sembilan [di antaranya] kebohongan lama.

Hal itu yakni kegagalan pemerintah mengurangi kemiskinan dan swasembada serta ketahanan pangan; ketidakbenaran klaim SBY bahwa ia menjadi target terorisme dengan menunjukkan foto lama; kegagalan menuntaskan pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir; kegagalan meningkatkan kemajuan pendidikan; serta kegagalan melindungi kelestarian laut dan renegosiasi kontrak dengan PT Freeport.

Kemudian, sembilan [di antaranya] kebohongan baru, mulai dari kegagalan mencegah kekerasan organisasi massa (ormas) tertentu atas nama agama dan juga kekerasan terhadap pers; kegagalan melindungi tenaga kerja Indonesia (TKI); serta kegagalan mewujudkan transparansi dalam kasus pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Selain itu, kegagalan memberantas korupsi dan mengungkap rekening gendut perwira Polri; kegagalan mewujudkan politik yang bersih, santun, dan beretika dalam kasus anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Andi Nurpati; kegagalan memberantas kasus mafia hukum ”Super Gayus”; dan kegagalan menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dilanggar Malaysia belum lama ini.

Tanggung jawab moral

Sebagian kalangan pemerintah dan parpol pendukungnya bisa saja mengatakan para pemimpin agama tersebut telah melangkah terlalu jauh atau menganggap mereka ikut bermain politik praktis.

Memang, sejauh ini belum ada pernyataan dari kalangan pemerintah, yang boleh jadi menganggap mereka ”berkonspirasi” atau ”didalangi” pihak tertentu yang memiliki agenda-agenda politik dan kekuasaan. Bahkan, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto terkesan sangat hati-hati berhadapan dengan para tokoh lintas agama tersebut. Sebaliknya, ia justru mengecam keras editorial sebuah koran nasional yang menurunkan opini tentang kebohongan rezim Yudhoyono tersebut.

Sepatutnya, pemerintah dan kalangan partai politik tidak mencurigai para pemimpin lintas agama tersebut karena apa yang mereka sampaikan adalah bagian dari apa yang hidup dalam pengalaman sehari-hari dan batin umat-rakyat.

Sesuai dengan posisi mereka sebagai pemimpin dan ”bapak rohani” umatnya masing-masing, adalah tanggung jawab dan kewajiban moral mereka untuk menjadi penyambung lidah rakyat yang kini seolah sudah menjadi bisu.

Sebaliknya, integritas mereka masing-masing sebagai ulama, pastor, pendeta, biksu dan pedanda bisa memudar, begitu mereka juga membisu seribu bahasa melihat merajalelanya kerusakan dan kemungkaran di sekeliling mereka.

Lebih daripada itu, meminjam kerangka Imam al-Ghazali, pemimpin agama yang baik adalah mereka yang mampu memelihara diri dari cengkeraman penguasa. Sebaliknya mereka yang mendekat-dekatkan diri dengan penguasa menjadi pemimpin agama yang buruk (su’u al-ulama).

Karena dengan begitu, dia tidak hanya menjadi terkooptasi oleh penguasa, tetapi sekaligus juga semata-mata menjadi pemberi justifikasi keagamaan atas berbagai langkah penguasa, yang tidak selalu sesuai dengan kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Bahkan, mereka dapat menjadi pembenar belaka dari kesenjangan di antara apa yang dinyatakan penguasa dengan realitas yang hidup dalam masyarakat; tutup mata dan telinga terhadap berbagai kesenjangan dan ketimpangan.

Karena itu, adalah kewajiban dan tugas keagamaan para pemimpin agama untuk menyampaikan pesan kebenaran kepada para penguasa, meski pahit sekalipun. Tugas ini merupakan bagian dari apa yang di dalam Islam disebut sebagai al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ’an al-munkar (menyeru kepada kebajikan dan mencegah daripada kemungkaran).

Karena jika kemungkaran (al-fasad) dalam berbagai bentuknya, seperti kemiskinan, korupsi, tidak tegaknya hukum dan manipulasi politik terus merajalela tanpa usaha serius mengatasinya, maka negara-bangsa ini terus tertimpa azab dan bencana, dan akhirnya kehancuran; jatuh ke dalam lubang tanpa dasar yang sangat gelap.

Menghapus kebohongan

Apa yang tercakup dalam pernyataan terbuka para tokoh lintas agama itu dan lampirannya sulit dibantah secara substantif karena sudah lama jadi bagian realitas pahit sehari-hari di masyarakat.

Terdapat kesenjangan—untuk tidak menyatakan ”kebohongan”—antara apa yang diklaim pemerintahan rezim SBY dan kenyataan di lapangan. Juga di antara tugas dan kewajiban, seperti penegakan hukum, yang tidak serius dilaksanakan pemerintah dan aparatnya.

Misalnya saja, orang boleh berbeda mengenai tingkat dan jumlah penduduk miskin di negeri ini. Namun, poin substantifnya tetap saja adalah bahwa kemiskinan masih merajalela, meski pada saat yang sama juga terjadi pertumbuhan ekonomi makro yang selalu diklaim pemerintah sebagai keberhasilan.

Karena itu, pernyataan terbuka para pemimpin agama tersebut seyogianya disikapi Presiden Yudhoyono dan aparatnya dengan kepala dingin. Dan sebaliknya, mereka harus berterima kasih kepada para pemimpin agama karena telah jujur, terus terang, dan berani mengungkapkan masalah-masalah berat yang dihadapi negara-bangsa ini.

Pemerintahan SBY sepatutnya menjauhkan diri dari kegemaran mendengarkan ”hal-hal baik” saja, semacam peningkatan pertumbuhan ekonomi dan seterusnya.

Dalam konteks itu, pernyataan terbuka tokoh dan pimpinan lintas agama hendaknya dapat mendorong terciptanya momentum bagi penyelesaian masalah-masalah berat yang dihadapi bangsa. Bagi Presiden Yudhoyono sendiri, inilah ”momen kebenaran” (moment of truth) untuk berbuat maksimal dalam waktu yang masih tersisa dalam masa pemerintahan kedua dan terakhirnya ini.

Jika Presiden Yudhoyono mau tercatat dengan tinta emas dalam sejarah negara-bangsa yang besar ini, hal itu tidak lain bisa diwujudkan hanya dengan ketegaran, ketegasan, konsistensi, dan bertungkuslumus menghapus segala yang disebut sebagai kebohongan itu.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/14/03071965/menggugat.pembohongan.publ


Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...