Oleh :Andi Saputra
Sebagai negara, Indonesia memiliki simbol-simbol kenegaraan yang harus dihormati setiap warga negaranya, tanpa kecuali. Simbol itu adalah kepala negara yaitu presiden, bahasa negara yaitu Bahasa Indonesia, bendera negara yaitu bendera Merah Putih dan lambang negara yaitu Burung Garuda.
Dari 4 simbol negara diatas, mungkin hanya Kepala Negara dan Bendera Negara saja yang pemakaiannya sudah pantas. Tapi bagaimana dengan dua lambang lainnya yaitu bahasa negara dan lambang negara?
Sebuah kresek putih tergeletak di meja staff karyawan sebuah institusi negara. Dalam
kresek plastik itu, terdapat lambang negara Burung Garuda dengan tulisan besar di atasnya, POLIKLINIK. Padahal, umumnya lambang kesehatan/ kedokteran adalah ular melingkar.
"Loh, ini kan poliklinik di lembaga negara. Lembaga negaranya juga pakai logonya lambang Burung Garuda. Ya polikliniknya ikutan juga," kata sang empunya kresek berdalih.
Burung Garuda kini juga melekat di kartu nama pejabat. Beberapa pejabat lembaga negara, masih menyematkan Burung Garuda di atas nama serta jabatan. Bahkan, kadangkala Burung Garuda tercetak tebal dengan tinta emas.
Lambang negara ini juga nampak berkibar di sebuah spanduk yang dibentangkan di jembatan penyeberangan. Pasalnya, sebuah institusi pemerintah yang menggunakan Burung Garuda sedang mengajak masyarakat memerangi narkoba. Namun, empunya spanduk mungkin lupa, jika Burung Garuda tersebut rusak, lusuh, kotor karena terkena panas dan hujan, siang dan malam.
Tak berbeda jauh dari fakta di atas, sebuah lambang garuda juga kotor dan lusuh karena di tempel di spark board sepeda motor. Menerjang guyuran hujan, kena kotoran jalan, terkena lumpur got. Di sekeliling Burung Garuda tersebut, lagi- agi nampak tertulis sebuah lembaga negara.
Kini, Burung Garuda juga sering terlihat menempel di atas/ samping plat No Pol mobil.
Terdapat tulisan institusi negara di seputaran Burung Garuda. Sepintas nampak gagah,
menunjukan identitas sang empunya kendaraan.
Pun demikian, seiring trend sekolah Internasional, Bahasa Indonesia ikut tergerus zaman. Entah murni untuk meningkatkan kualitas atau buat prestise semata, kini bahasa asing telah menggeser Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Seakan-akan, ketika orang cas cic cus fasih berbicara bahasa asing, sudah merasa pintar. Padahal, keilmuan dinilai dari logika berpikir, bukan dari bahasa lisan.
Perlakuan kepada dua simbol negara ini seperti perlakuan layaknya kisah Bawang Merah kepada Bawan Putih. Lihatlah ketika Bendera Merah Putih dikibarkan atau diturunkan di Pos Polisi Bundaran HI, Jalan MH Thamrin Jakarta. Orang yang kebetulan melintas berjalan kaki dilarang melintas hingga prosesi berakhir.
Hal ini juga berlaku di berbagai instansi pemerintah, kepolisian, militer atau pendidikan. Norma ini juga diberlakukan ketika Kepala Negara lewat, jalanan ditutup untuk memberikan kesempatan Kepala Negara lewat.
Sang Saka Merah Putih pun dilarang dikibarkan jika dalam kondisi robek, kotor atau sudah tidak pantas.
Tentang hal-hal diatas, negara lewat UU telah mengatur pemakaian simbol-simbol negara tersebut. Sepakat tidak sepakat, UU telah berbicara demikian adanya. Simbol negara harus dijaga.
Bukan menyakralkan tapi sebagai penghormatan dan syukur kepada Tuhan bahwa kita hidup di Indonesia. Sebuah bentuk peradaban tertinggi suatu masyarakat.
Kita boleh saja sangat mencintai Timnas Indonesia karena sukses di laga Piala AFF 2010. Tapi, jangan menjadi cinta buta, nasionalis semu karena Burung Garuda di Timnas digugat oleh orang yang mengingatkan rambu-rambu pemakaiannya.
Toh, kalau memang berkualitas, menggunakan logo federasi sepakbola nasional pun, layaknya timnas negara lain, pasti Timnas menang. Karena tafsir lagu Garuda Di Dadaku jangan diartikan secara eksplisit, namun implisit.
Sebagai penutup, saya tidak pernah memakai baju dengan lambang negara, tapi semangat Burung Garuda itu selalu ada dalam dada.
*) Andi Saputra, wartawan detikcom. Tulisan ini tidak mewakili kebijakan redaksi.
Sumber: http://www.detiknews.com/read/2010/12/23/184613/1532005/103/burung-garuda-poliklinik-dan-nasionalisme-buta
Sebagai negara, Indonesia memiliki simbol-simbol kenegaraan yang harus dihormati setiap warga negaranya, tanpa kecuali. Simbol itu adalah kepala negara yaitu presiden, bahasa negara yaitu Bahasa Indonesia, bendera negara yaitu bendera Merah Putih dan lambang negara yaitu Burung Garuda.
Dari 4 simbol negara diatas, mungkin hanya Kepala Negara dan Bendera Negara saja yang pemakaiannya sudah pantas. Tapi bagaimana dengan dua lambang lainnya yaitu bahasa negara dan lambang negara?
Sebuah kresek putih tergeletak di meja staff karyawan sebuah institusi negara. Dalam
kresek plastik itu, terdapat lambang negara Burung Garuda dengan tulisan besar di atasnya, POLIKLINIK. Padahal, umumnya lambang kesehatan/ kedokteran adalah ular melingkar.
"Loh, ini kan poliklinik di lembaga negara. Lembaga negaranya juga pakai logonya lambang Burung Garuda. Ya polikliniknya ikutan juga," kata sang empunya kresek berdalih.
Burung Garuda kini juga melekat di kartu nama pejabat. Beberapa pejabat lembaga negara, masih menyematkan Burung Garuda di atas nama serta jabatan. Bahkan, kadangkala Burung Garuda tercetak tebal dengan tinta emas.
Lambang negara ini juga nampak berkibar di sebuah spanduk yang dibentangkan di jembatan penyeberangan. Pasalnya, sebuah institusi pemerintah yang menggunakan Burung Garuda sedang mengajak masyarakat memerangi narkoba. Namun, empunya spanduk mungkin lupa, jika Burung Garuda tersebut rusak, lusuh, kotor karena terkena panas dan hujan, siang dan malam.
Tak berbeda jauh dari fakta di atas, sebuah lambang garuda juga kotor dan lusuh karena di tempel di spark board sepeda motor. Menerjang guyuran hujan, kena kotoran jalan, terkena lumpur got. Di sekeliling Burung Garuda tersebut, lagi- agi nampak tertulis sebuah lembaga negara.
Kini, Burung Garuda juga sering terlihat menempel di atas/ samping plat No Pol mobil.
Terdapat tulisan institusi negara di seputaran Burung Garuda. Sepintas nampak gagah,
menunjukan identitas sang empunya kendaraan.
Pun demikian, seiring trend sekolah Internasional, Bahasa Indonesia ikut tergerus zaman. Entah murni untuk meningkatkan kualitas atau buat prestise semata, kini bahasa asing telah menggeser Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Seakan-akan, ketika orang cas cic cus fasih berbicara bahasa asing, sudah merasa pintar. Padahal, keilmuan dinilai dari logika berpikir, bukan dari bahasa lisan.
Perlakuan kepada dua simbol negara ini seperti perlakuan layaknya kisah Bawang Merah kepada Bawan Putih. Lihatlah ketika Bendera Merah Putih dikibarkan atau diturunkan di Pos Polisi Bundaran HI, Jalan MH Thamrin Jakarta. Orang yang kebetulan melintas berjalan kaki dilarang melintas hingga prosesi berakhir.
Hal ini juga berlaku di berbagai instansi pemerintah, kepolisian, militer atau pendidikan. Norma ini juga diberlakukan ketika Kepala Negara lewat, jalanan ditutup untuk memberikan kesempatan Kepala Negara lewat.
Sang Saka Merah Putih pun dilarang dikibarkan jika dalam kondisi robek, kotor atau sudah tidak pantas.
Tentang hal-hal diatas, negara lewat UU telah mengatur pemakaian simbol-simbol negara tersebut. Sepakat tidak sepakat, UU telah berbicara demikian adanya. Simbol negara harus dijaga.
Bukan menyakralkan tapi sebagai penghormatan dan syukur kepada Tuhan bahwa kita hidup di Indonesia. Sebuah bentuk peradaban tertinggi suatu masyarakat.
Kita boleh saja sangat mencintai Timnas Indonesia karena sukses di laga Piala AFF 2010. Tapi, jangan menjadi cinta buta, nasionalis semu karena Burung Garuda di Timnas digugat oleh orang yang mengingatkan rambu-rambu pemakaiannya.
Toh, kalau memang berkualitas, menggunakan logo federasi sepakbola nasional pun, layaknya timnas negara lain, pasti Timnas menang. Karena tafsir lagu Garuda Di Dadaku jangan diartikan secara eksplisit, namun implisit.
Sebagai penutup, saya tidak pernah memakai baju dengan lambang negara, tapi semangat Burung Garuda itu selalu ada dalam dada.
*) Andi Saputra, wartawan detikcom. Tulisan ini tidak mewakili kebijakan redaksi.
Sumber: http://www.detiknews.com/read/2010/12/23/184613/1532005/103/burung-garuda-poliklinik-dan-nasionalisme-buta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya