Senin, 21 Desember 2009

Tiga Pintu Kasus Bank Century

Oleh: Indra J. Piliang



Panitia Khusus Hak Angket (Panket) Bank Century (BC) sudah bekerja. Terdapat perdebatan semantik menyangkut nama Panket. Supaya tidak menjadi polemik, penyebutan Panket BC saja lebih ideal dan netral. Panket BC sedang melakukan penyelidikan berkaitan dengan indikasi pelanggaran sejumlah peraturan perundang-undangan yang dilakukan pihak yang berwenang dalam mengucurkan dana talangan kepada BC. Perbedaan-perbedaan pendapat tentu terjadi dalam penyelidikan ini. Di tengah belantara perundang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi proses bailout BC, terdapat juga banyak tafsiran mengenai sejauh mana pihak-pihak yang terlibat akan mendapatkan sanksi hukum.

Untuk makin memperjelas masalah ini, terdapat tiga pintu penyelesaian kasus BC ini. Pertama, penyelesaian secara politik lewat Panket BC. Sebagaimana panket kasus-kasus lain, rekomendasi-rekomendasi yang diberikan lebih berkaitan dengan upaya memperjelas persoalan ketimbang menyatakan pihak yang satu bersalah, sementara pihak yang lain tidak bersalah. Penyelidikan secara politik tidak sama dengan penyelidikan secara hukum. Jadi agak membingungkan sikap sebagian orang yang menjadikan Panket BC sebagai pihak yang menentukan jatuh-bangunnya seseorang. Panket BC bukanlah medium yang bisa mengarahkan pihak-pihak yang dipanggil sebagai tersangka atau terdakwa atau narapidana dalam kasus pidana atau perdata. Dalam konteks trias politika, wilayah itu berada di dalam lembaga eksekutif (polisi dan jaksa) dan yudikatif (hakim). Sebagai lembaga legislatif, Panket BC hanya mengawasi dugaan pelanggaran sejumlah undang-undang menyangkut kasus BC.

Kedua, berkaitan dengan indikasi terjadinya korupsi atau tindak pidana pencucian uang yang dilakukan, pihak yang lebih berwenang adalah Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Negara RI, dan Kejaksaan Agung RI. Ketiga institusi ini sudah melakukan koordinasi dan gelar perkara. Merekalah yang nanti bisa menggelandang seseorang ke muka pengadilan. Pihak DPR RI sama sekali tidak terkait dengan proses hukum ini. Kalaupun terlibat, DPR RI--khususnya Komisi III--menjalankan fungsi pengawasan. Setiap kali melakukan rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, maka KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung pasti ditanyai, apalagi kalau sampai Panket BC mengeluarkan rekomendasi untuk diadakan pengusutan lebih lanjut menyangkut pelanggaran tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan lain-lain. Pintu ini tidak bisa dimasuki oleh DPR RI, mengingat DPR RI bukanlah penyidik resmi.

Ketiga, pintu penyelesaian yuridis menyangkut tuduhan yang bermuara pada presiden dan/atau wakil presiden adalah Mahkamah Konstitusi (MK). MK-lah yang nanti memutuskan apakah seorang presiden dan atau wakil presiden telah melanggar ketentuan dalam UUD 1945, yang bisa berujung pada pemberhentian. Proses inilah yang disebut sebagai impeachment atau pemakzulan. Permintaan datang dari DPR RI dengan syarat-syarat yang ketat. Sudah saatnya MK melakukan sejenis simulasi persidangan menyangkut proses impeachment ini, sebagai bagian dari proses pendidikan kewarganegaraan, sehingga setiap individu masyarakat Indonesia bisa mengetahui secara jernih dan jelas. Spekulasi akan tetap terjadi apabila MK tidak melakukan simulasi seperti ini. Spekulasi itu justru berdampak pada sinisme dan polemik tajam di masyarakat.

Tapi tunggu dulu, pintu ketiga hanya bisa diketuk apabila memang masalah BC melibatkan presiden dan/atau wakil presiden terpilih. Persoalannya, sampai sejauh mana keterlibatan itu dan apakah keterlibatan itu memicu pemberlakuan pasal-pasal yang terkait dengan pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden? Masalah inilah yang akan diperiksa oleh MK lewat persidangan maraton. Selama proses persidangan, Presiden dan/atau wakil presiden tetap bisa menjalankan tugas-tugasnya. Sekalipun tidak ada dasar hukum penonaktifan presiden dan/atau wakil presiden, sebaiknya memang dipikirkan lagi di masa-masa datang untuk membuka peluang ini di dalam UUD 1945.

Zona aman
Dengan perspektif itu, Panket BC masih masuk zona aman dalam kaitannya dengan jatuhnya seseorang dari jabatannya. Kecuali orang tersebut mengundurkan diri dari jabatannya, Panket BC tidak sampai bisa memberikan vonis. Kepanikan yang melanda pihak-pihak yang terkait dengan masalah BC ini terlihat berlebihan, termasuk dalam membangun opini seolah-olah masalah pribadi menjadi dasar dari pembentukan Panket BC. Serangan yang dilakukan terhadap Panket BC hanya akan memunculkan reaksi balik yang kurang proporsional.

Publik adalah pihak yang paling berhak mengetahui masalah yang terkait dengan BC ini. Bukan hanya dana publik yang digunakan, melainkan juga pihak-pihak yang terlibat juga menjadi pejabat publik, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Perdebatan yang muncul belakangan ini membawa aspek pembelajaran bidang politik, ekonomi, dan hukum yang luar biasa. Publik bahkan harus membuka banyak sekali kamus untuk bisa memahami istilah-istilah teknis yang digunakan. Taruhlah kesimpulan akhir dari Panket BC berujung kepada kalimat: "Kasus ini ditutup tanpa kesimpulan", tetap saja selama proses perjalanan Panket ini publik mendapatkan informasi yang berlimpah. Aspek preventif tentu akan terpenuhi, yakni tidak akan ada lagi kasus-kasus seperti ini di masa yang akan datang.

Sejumlah pihak mencoba membangun opini seolah-olah ada yang menjadi pahlawan dan pecundang dalam kasus BC ini. Opini itu tidak mendidik apabila berbentuk dukungan atau penolakan tanpa bangunan argumentasi yang cukup. Warga negara Indonesia masih memerlukan banyak perdebatan untuk memperkuat sendi-sendi demokrasi ketimbang terjebak pada soal like or dislike yang berdasarkan ikatan primordial, seperti profesi, almamater, atau partai politik. Sudah bukan zamannya lagi menjadikan seseorang sebagai idola, ketika orang tersebut sedang menyandang jabatan publik. Bisa-bisa idolaisasi semacam itu menjerumuskan, sehingga mengurangi kehati-hatian dalam mengambil kebijakan.

Rakyat tentu menjadi pintu terakhir tempat segala kebaikan dan keburukan mendapatkan hukuman. Dalam alur demokrasi prosedural, penilaian rakyat diberikan dalam pemilihan umum. Dalam kaitannya dengan BC, suara-suara rakyat itu dilakukan oleh kelompok-kelompok kritis. Rakyat secara keseluruhan tetap saja menghadapi persoalan-persoalan hariannya. Ketika bertandang ke daerah-daerah bencana, seperti Sumatera Barat atau Aceh, masalah yang terkait dengan BC hanyalah bagian dari pembicaraan sambil minum kopi. Jadi agak ironis apabila rakyat ditakut-takuti betapa Indonesia akan tenggelam ke kubangan krisis apabila seseorang dinyatakan bersalah menurut hukum. Hukum tetaplah hukum, dewi keadilan tidak pernah bisa membuka selubung penutup matanya....

URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/12/21/Opini/krn.20091221.18

Indra J. Piliang
DEWAN PENASIHAT THE INDONESIAN INSTITUTE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...