Kamis, 24 Desember 2009

Birokrasi dalam Kekuasaan yang Terbelah

Oleh: Bambang Setiawan


Tahun 2009 menjadi penanda paling nyata perubahan paradigma kekuasaan dalam tata hubungan kenegaraan Indonesia. Pergeseran dominasi kekuasaan dari ”negara” ke ”warga negara” membuat kepatuhan birokrasi tak lagi bersandar pada kekuasaan vertikal, tetapi lebih horizontal. Pejabat birokrasi dan pejabat politik semakin setia dan takut kepada sorotan publik karena di sanalah kini bandul kekuasaan berada.

Memahami arah perubahan birokrasi di Indonesia saat ini, tidak bisa lain, adalah membaca ulang proses demokratisasi yang terjadi dalam kurun waktu satu dekade belakangan ini. Dalam rentang ini, tahun 2009 bisa dikatakan merupakan titik kulminasi dari proses demokrasi di Indonesia. Pemilu 2009 melengkapi hampir semua prosedur demokrasi liberal ketika presiden dan DPR dipilih secara langsung. Tahun 2009 bahkan bisa dikatakan sebagai puncak dari demokrasi (ultra)liberal setelah sebelumnya semua pejabat kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.

Demokratisasi yang terjadi dalam kurun 1998-2009 memiliki karakter yang tampak berbeda dengan masa-masa sebelumnya, berupa terjadinya ”atomisasi” kekuasaan yang melahirkan kekuatan warga. Pembelahan kekuasaan dari sebuah rezim otoriter menjadi kekuasaan-kekuasaan kecil yang otonom sampai ke level individu warga negara.

Proses ini dimulai dengan ditumbangkannya rezim Orde Baru, yang lalu diikuti oleh perubahan kekuasaan yang cepat. Setelah Pemilu 1999, kekuasaan presiden tidak lagi dominan. Parlemen menjadi kekuatan baru yang superpower sampai bisa mencabut mandat presiden. Kekuasaan presiden yang nyaris tanpa batas waktu juga dikendalikan setelah Amandemen Pertama UUD 1945 pada 1999 menghasilkan pembatasan jabatan presiden maksimal hanya dua periode.

Pembelahan kekuasaan tidak berhenti di level atas. Pada 2001 diberlakukan otonomi daerah. Dengan ini, kekuasaan pemerintahan, yang selama ini tersentralisasi, terdistribusi ke daerah. Kepala-kepala daerah menjadi kekuatan-kekuatan politik baru, tidak lagi menjadi bagian birokrasi semata dari kepentingan pusat. Birokrasi tak lagi sepenuhnya vertikal, tetapi menjadi lebih horizontal.

Pembelahan kekuasaan dan kewenangan terus mengalami eskalasi, baik di tingkat pusat maupun daerah. Di level pusat, kekuasaan parlemen untuk memilih presiden ditanggalkan dengan diadopsinya pemilihan presiden secara langsung pada Pemilu 2004. Kekuasaan kini terdistribusi langsung ke warga negara yang mempunyai hak pilih. Rakyat menjadi penentu, otonom.

Di level daerah, pemekaran terus berlangsung, penguasa-penguasa baru bermunculan, terkadang mengerat bagian wilayah yang sudah kecil menjadi serpihan-serpihan.

Kekuasaan daerah menjadi semakin kuat ketika pada tahun 2005 untuk pertama kalinya dilakukan pilkada serentak di sebagian wilayah Indonesia. Demokrasi menyentuh lebih dekat, sekaligus membuat kedudukan warga negara kian penting. Paling tidak, kini suara yang dimiliki seorang warga bisa menjadi penentu bagi terpilihnya anggota DPR, anggota DPD, presiden dan wakilnya, gubernur, dan bupati/wali kota.

Euforia pembelahan kekuasaan tidak berhenti sampai di sana. Diperbolehkannya calon independen untuk bertarung dalam laga pilkada menjadi tonggak lain yang menyeruakkan kekuasaan pribadi warga negara nyaris sejajar dengan kekuatan partai. Runtuhnya kekuasaan partai oleh calon independen di Aceh menjadi pertanda kian besarnya bandul kekuasaan ke tangan publik.

Proses atomisasi kekuasaan terus berlanjut ke Pemilu 2009. Selain presiden dipilih langsung, pemilihan anggota DPR pun dilakukan dengan menggunakan sistem pemilu daftar terbuka. Partai tidak lagi sepenuhnya menentukan terpilihnya seorang kandidat karena pemenang bisa berasal dari suara terbanyak. Rakyat pun menjadi panglima, demokrasi mendekati makna demos+kratos, kekuasaan oleh rakyat dalam arti yang sangat harfiah. Rakyat, kini, adalah himpunan kekuasaan.

Paradigma kekuasaan rakyat menempatkan pejabat publik sebagai bawahan rakyat. Implikasinya yang tampak adalah pejabat publik kini lebih suka melaporkan langsung kepada publik. Rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo disiarkan langsung lewat media televisi oleh Mahkamah Konstitusi. Rapat dengar pendapat kasus Bibit-Chandra di DPR sampai pemanggilan orang-orang yang diduga terkait dengan kasus Bank Century pun tidak lagi menjadi urusan hukum semata.

Media massa menjadi sarana bagi pejabat publik untuk menjaga citra dan melaporkan kinerjanya. Transparansi, atas nama citra dan kehendak untuk menyenangkan publik, membuat kultur politik semakin identik dengan kultur popular, selera berpolitik dan kerja birokrasi digiring oleh selera massa.

Pendapat publiklah yang menentukan karena ia berkuasa. Prosedur dan birokrasi hukum berhadapan dengan kekuasaan yang berkerumun di jalan ataupun di alam maya lewat Facebook. Pemerintahan yang dijalankan oleh kerumunan atau massa (ochlocracy) tampaknya menjadi sisi lain dari demokratisasi di Indonesia saat ini.

Involusi kekuasaan?

Di balik demokratisasi yang telah dilalui, selalu ada pertanyaan yang mengganjal: apakah tahap-tahap demokratisasi di Indonesia merupakan sebuah proses wajar yang harus dilalui untuk menjadi sebuah negara dengan kekuatan politik yang besar di kemudian hari, ataukah hanya akan melahirkan sebuah demokratisasi semu, yang justru melingkar dan merumit ke dalam dirinya sendiri? Jika yang terjadi adalah yang terakhir, demokrasi tak ubahnya sebuah ”involusi kekuasaan”, pembelahan kekuasaan yang semakin merumit.

Dengan memakai model Clifford Geertz, kecenderungan ini tampaknya kini bisa dibaca pada ranah kekuasaan negara. Proses demokratisasi melahirkan kekuasaan yang lebih atomistik dan involutif hingga kepada individu warga negara.

Dalam ranah kekuasaan yang demikian atomistik, bagaimana kebijakan negara mampu diterjemahkan lewat birokrasinya? Tampaknya memang diperlukan pemimpin birokrasi yang mampu mengelola partisipasi publik secara efektif.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/24/03032857/birokrasi.dalam.kekuas

Bambang Setiawan
Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...