Senin, 14 Desember 2009

Kelapa sawit sudah unggul sejak dulu

Oleh: Martin Sihombing


Tugas terberat bangsa ini, yang tak pernah tuntas, membebaskan dari utang dan mengurangi jumlah pengangguran. Gali lubang tutup lubang, tidak memberikan hasil apa pun. Biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi ekses negatif pengangguran, akan jauh lebih besar.

Banyak seruan yang dilontarkan agar Indonesia menghentikan utang luar negeri. Namun, akibat cadangan devisa yang tidak menggembirakan, permintaan itu hingga kini belum dipenuhi. Membayar 50% utang (US$3,76 miliar), cadangan devisa Indonesia turun menjadi US$40,0 miliar dari (per minggu pertama Juni 2006) US$44,13 miliar.

Bagi BI, jumlah cadangan devisa US$40 miliar hanya mampu memenuhi kebutuhan impor 4,7 bulan dan pembayaran utang luar negeri janga pendek, termasuk cushion untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya pembalikan arus modal jangka pendek. (Bisnis,23 Juni).

Dengan kondisi seperti itu, kita dibuat menjadi tidak bisa berbuat maksimal. Itu sebabnya kita pun menjadi seperti 'linglung' ketika defisit APBN-P 2006 membengkak menjadi Rp42 triliun. Lonjakan itu konsekuensi kenaikan belanja menyusul penambahan rasio anggaran pendidikan, pembatalan rencana kenaikan tarif dasar listrik, dan kebutuhan dana untuk rekonstruksi serta rehabilitasi akibat gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Disamping adanya penambahan pos pembiayaan.
Perbandingan produksi, luas lahan & ekspor sawit Indonesia dan Malaysia
Indonesia
Produksi (juta ton) 8,08 9,37 10,3 11,4 12,2
Luas lahan (juta ha) 2,47 2,79 3,02 3,28 3,6
Ekspor (juta ton) 4,94 6,49 7,2 8,05 --
Malaysia
Produksi (juta ton) 11,8 11,91 13,35 13,8 14,17
Luas lahan (juta ha) 3,06 3,11 3,25 3,46 3,66
Ekspor (juta ton) 10,625 10,886 12,266 12,575 --

Sumber: World Oil Annual

Mencari tambahan dana segar (fresh money) dengan 'menghamburkan' dana dari kantung sendiri untuk menutupi defisit, hanya akan menguras uang sendiri. Misalnya dengan memanfaatkan sebagian tabungan pemerintah di Bank Indonesia untuk menutup defisit. Apalagi jika tidak di-back-up kebijakan produktif yang cepat membalikkan keuntungan.

Sejujurnya, kondisi sulit saat ini, buah dari perbuatan kita sendiri yang nyaris tidak pernah belajar dari berbagai situasi sulit di masa lalu akibat terobsesi oleh kapasitas diri. Soal bencana, misalnya, kita selalu menganggap remeh.

Tidak pernah mau selalu bersikpa eling lan waspada bahwa bencana bisa datang kapan saja tanpa kita ketahui, sehingga kita pun siap manakala bencana itu datang. Paling tidak mengatasi para korban dan mengeliminasi terjadinya isolasi penduduk. Begitu pun antisipasi manakala kebutuhan hidup, yang tak akan bisa dipastikan besarannya dalam situasi nilai tukar rupiah yang kerap fluktuatif.

Terjadinya krisis ekonomi pada 1997-1998, seharusnya menjadi pelajaran berharga buat kita, sehingga kita tidak lagi menghadapi situasi sulit seperti saat ini. Di mana kebu-tuhan uang melonjak, sementara kita tidak banyak mempunyai alternatif sumber pembiayaan dan alternatif yang kita miliki, pun mempunyai risiko jika pemanfaatannya tidak dilakukan secermat mungkin. Apalagi banyak yang dikorupsi.

Pilihan menetapkan sepuluh komoditas unggulan untuk menggerakan ekonomi bangsa ini, secara jangka panjang, keputusan yang baik. Kendati keputusan itu membuat kita seperti orang yang baru terbangun dari tidur. Salah satunya ketika menetapkan kelapa sawit sebagai unggulan. Sehingga ada cibiran begini," Lho, selama ini kemana aja?"

Pasalnya, komoditas yang satu ini, tanpa harus dimasukkan dalam komoditas unggulan, sebenarnya sudah unggul. Devisa yang dihasilkan setiap tahunnya, terus memperlihatkan kinerja yang mengagumkan. Bagi pemerintah Indonesia, kelapa sawit-meminjam istilah Eric Wakker dalam laporannya bertajuk The Kalimantan Border Oil Palm Mega-Project-adalah green dollar tree.

Beban pengusaha

Tanaman yang kini sudah ditanam di 17 provinsi di Indonesia, menampung dua juta pekerja dan petani. Pada 2004, total tanaman sawit di Indonesia mencapai 5,3 juta hektare dengan produksi 11,4 juta ton crude palm oil (CPO) dengan pendapatan US$4,43 miliar dan revenue yang diterima pemerintah, US$42,3 juta.

Jangankan Indonesia dan Malaysia, Singapura pun kepincut menggarap kelapa sawit. Kendati pertanian dan perikanan hanya menyumbangkan 0,5% dari GDP negara kepulauan itu dan menampung 0,3% tenaga kerja dan hanya 3% lahan di sana dijadi-kan pertanian, komoditas itu tetap saja menarik minat mereka.

Dua perusahaan di sana kini akan menginvestasikan modal US$80 juta untuk membangun kebun sawit untuk memproduksi biodiesel. Dari total itu, US$50 juta akan diinvestasikan antara Wilmar Holdings dan Archer Daniels Midland Company dan akan beroperasi pada akhir 2006. Pada saat yang sama, Peter Cremer GmbH dari Jerman juga tengah menyiapkan perkebunan sawit dengan biaya sekitar US$20 juta.

Memang, bukan karena permintaan minyak kelapa sawit yang melonjak sehingga perkebunan sawit siap untuk terus mengucurkan dolar AS. Tapi karena semakin besar permintaan biodiesel asal kelapa sawit, membuat pertumbuhan kelapa sawit layak untuk terus dikembangkan.

Karena itu, jika pemerintah berniat untuk mendongrak pendapatan negara dari kelapa sawit termasuk mengurangi laju angka pengangguran, pe-merintah sebaiknya tidak menciptakan kebijakan yang me-nambah persoalan. Sebab, kendati menyumbangkan banyak uang kepada negara ini, sejujurnya, industri sawit, hidup di tengah situasi yang membuat pundak pengusaha terasa diganduli beban teramat berat.

Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mendukung komoditas unggulan itu agar semakin maju, sebaiknya mengurangi sikap 'lintah darat'. Mengisap dan mengisap, sehingga industri itu mirip sapi perah yang ujung-ujungnya sekarat lalu mati. Kasus pajak ekspor (PE) dan retribusi yang dikeluarkan pemerintah daerah sudah cukup menyulitkan para pengusaha di industri itu. Di mana akibatnya nilai jual produk CPO Indonesia di pasar ekspor menjadi tidak kompetitif.

Pemerintah sebaiknya membantu melakukan upaya re-planting sejumlah tanaman yang sudah berusia tua, sehingga mendorong yield tanaman. Memberikan kredit suku bunga kepada petani kelapa sawit sebesar Rp200 miliar yang diungkapkan Mentan Anton Apriyantono seusai menemui Wapres Yusuf Kalla, mungkin langkah realistis.

Apalagi jika kredit itu benar-benar diterima petani, bukan dimanfaatkan oleh swasta besar atau BUMN, yang menjadikan petani hanya sebagai tameng untuk memperoleh kucuran kredit berbunga murah itu. (martin.sihombing@bisnis. co.id)

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Martin Sihombing
Wartawan Bisnis Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...