Oleh: Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo
DALAM Investor Summit minggu yang lalu,pengusaha mediacum perbankan kita, Chaerul Tanjung,menyatakan bahwa 10 tahun ke depan merupakan masa emas (the golden years) perekonomian Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi akan kuat dan akan mampu mencapai 7–8%. Pertumbuhan yang tinggi tersebut disebabkan oleh tiga hal,yaitu perkembangan perbankan Indonesia yang sangat sehat,pertumbuhan ekonomi tahun ini yang bahkan lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain, dan tahun 2010 Indonesia akan menjadi tujuan investasi sebagaimana China dan India. Untuk mencapai pertumbuhan tersebut, Chaerul Tanjung mengatakan bahwa Indonesia harus mampu membangun infrastruktur di segala bidang.
Pernyataan tersebut sangat menarik dan akan mampu untuk memberikan inspirasi dan motivasi pembacanya. Sayangnya, pernyataan tersebut muncul di tengah-tengah hiruk-pikuk tentang Bank Century yang mendominasi media kita sehingga mungkin tidak banyak yang menyempatkan diri membaca apa yang disampaikan tersebut dengan perhatian yang penuh.Meski demikian, semangat dari pernyataan tersebut mestinya disebarluaskan karena Chaerul Tanjung jelas memiliki kredibilitas untuk menyampaikan pernyataan tersebut. Perkembangan bisnisnya, kontaknya dengan investor di segala penjuru dunia, dan pengalamannya selama ini membuat dia layak untuk didengar pendapatnya.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Baru-baru ini India mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonominya mengalami peningkatan menjadi 7,9% pada kuartal III 2009. Sementara Indonesia mengumumkan perekonomiannya hanya tumbuh 4,2% pada kuartal yang sama.Apakah yang membedakan pertumbuhan tersebut?
Saya yakin apa yang dicapai India pada kuartal III tidaklah terlalu berbeda dengan apa yang dicapai Indonesia.Namun saya memiliki kecurigaan bahwa Otoritas Statistik India memiliki keberanian untuk mengeluarkan angka yang lebih optimistis dibandingkan dengan Indonesia. Apakah keyakinan ini memiliki dasar yang kuat? Tahun 2008 yang lalu perekonomian Indonesia tumbuh secara luar biasa. Indonesia mengalami swasembada beras dengan pertumbuhan produksi sekitar 5,5%.Industri automotif kita tumbuh dengan sekitar 40%.
Unilever Indonesia mencapai pertumbuhan penjualan nomor 2 tertinggi di dunia di antara perusahaan Unilever di seluruh dunia. (Namun yang menarik, ternyata dari perusahaan yang terdaftar di pasar modal kita, Unilever ternyata berada di luar daftar perusahaan yang memiliki pertumbuhan penjualan tertinggi pada 2008,kalah oleh berbagai perusahaan Indonesia). Ekspor tumbuh sekitar 20% sehingga mencapai USD137 miliar. Kesimpulannya adalah bahwa tahun 2008 merupakan tahun yang tidak biasa,an exceptional year. Ternyata, di tengah kinerja yang luar biasa tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tercatat mencapai 6,1%.
Sungguh tidak mencerminkan “keluarbiasaan” tersebut. Jika kita melakukan rekon-siliasi dengan pertumbuhan PDB nominal (atas dasar harga berlaku), pertumbuhan riil tersebut semakin membingungkan. PDB nominal tumbuh dengan 25,4%,sementara inflasi sepanjang 2008 hanya sebesar 11,06%. Biasanya pertumbuhan ekonomi riil,yaitu 6,1%, adalah pertumbuhan PDB nominal dikurangi angka inflasi (GDP deflator).Ini berarti ada selisih yang cukup besar antara angka inflasi yang menggunakan IHK dengan angka inflasi yang menggunakan GDP deflator.
Apakah perbedaannya sedemikian besarnya? Jika benar, sektorsektor apa yang memiliki inflasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan IHK? Per-tumbuhan PDB nominal yang tinggi tersebut sejalan dengan apa yang dicapai Unilever maupun banyak perusahaan Indonesia lainnya, baik yang terdaftar di pasar modal maupun di luarnya. Oleh karena itu, saya memiliki kecurigaan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sebetulnya lebih tinggi dari 6,1%.
Angka pertumbuhan 6,1% tersebut hanya terjadi pada sektor (sampai pada level perusahaan) yang ada dan menjadi bagian dari tahun dasar 2000. Sementara itu, terdapat sektor-sektor lain yang tertangkap oleh perhitungan PDB saat ini yang sebelumnya tidak termasuk dalam tahun dasar. Jika ini yang terjadi, sebetulnya pertumbuhan ekonomi Indonesia juga jauh lebih tinggi dari angka 6,1% tersebut.
Masa Keemasan Indonesia
Sebagaimana cerita di awal artikel ini, perekonomian Indonesia memiliki kemungkinan mengalami masa keemasan pada 10 tahun mendatang. Prediksi ini memiliki kemiripan dengan prediksi beberapa perusahaan besar belakangan ini, yang merasakan pertumbuhan bisnisnya sedemikian cepat.
Jika prediksi tersebut menjadi kenyataan dan dapat terekam dengan baik oleh lembaga statistik ki-ta, kebutuhan akan infrastruktur akan menjadi melonjak naik. Kebutuhan listrik dan energi lainnya akan mengalami kenaikan yang tajam. Jika awalnya pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW yang pertama merupakan sebuah crash programuntuk penghematan biaya, mengalihkan kegiatan pembangkit listrik dari migas ke batu bara, perkembangan yang ada justru menuntut program tersebut sebagai ekspansi untuk memenuhi kebutuhan energi yang timbul karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sementara itu crash program berikutnya juga akan bernasib sama, yaitu memang diperlukan karena terjadinya pening-katan kebutuhan energi.
Dalam keadaan sedemikian, rasanya tidak fair membiarkan PLN berjuang sendiri untuk mencari pembiayaan yang sangat besar tersebut. Pemerintah harus turun tangan melakukan suntikan modal yang besar kepada PLN sehingga kemampuannya untuk melakukan pembiayaan dan mencari pinjaman menjadi lebih besar lagi. Pemerintah dewasa ini memiliki kemampuan yang jauh lebih besar untuk turun tangan membantu ekspansi PLN tersebut. Hanya dengan itulah masa keemasan yang diprediksi tersebut menjadi tidak terkendala oleh ketidaktersediaan energi yang sungguh dibutuhkan.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/288798/38/
CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYO
Pengamat Ekonomi
DALAM Investor Summit minggu yang lalu,pengusaha mediacum perbankan kita, Chaerul Tanjung,menyatakan bahwa 10 tahun ke depan merupakan masa emas (the golden years) perekonomian Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi akan kuat dan akan mampu mencapai 7–8%. Pertumbuhan yang tinggi tersebut disebabkan oleh tiga hal,yaitu perkembangan perbankan Indonesia yang sangat sehat,pertumbuhan ekonomi tahun ini yang bahkan lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain, dan tahun 2010 Indonesia akan menjadi tujuan investasi sebagaimana China dan India. Untuk mencapai pertumbuhan tersebut, Chaerul Tanjung mengatakan bahwa Indonesia harus mampu membangun infrastruktur di segala bidang.
Pernyataan tersebut sangat menarik dan akan mampu untuk memberikan inspirasi dan motivasi pembacanya. Sayangnya, pernyataan tersebut muncul di tengah-tengah hiruk-pikuk tentang Bank Century yang mendominasi media kita sehingga mungkin tidak banyak yang menyempatkan diri membaca apa yang disampaikan tersebut dengan perhatian yang penuh.Meski demikian, semangat dari pernyataan tersebut mestinya disebarluaskan karena Chaerul Tanjung jelas memiliki kredibilitas untuk menyampaikan pernyataan tersebut. Perkembangan bisnisnya, kontaknya dengan investor di segala penjuru dunia, dan pengalamannya selama ini membuat dia layak untuk didengar pendapatnya.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Baru-baru ini India mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonominya mengalami peningkatan menjadi 7,9% pada kuartal III 2009. Sementara Indonesia mengumumkan perekonomiannya hanya tumbuh 4,2% pada kuartal yang sama.Apakah yang membedakan pertumbuhan tersebut?
Saya yakin apa yang dicapai India pada kuartal III tidaklah terlalu berbeda dengan apa yang dicapai Indonesia.Namun saya memiliki kecurigaan bahwa Otoritas Statistik India memiliki keberanian untuk mengeluarkan angka yang lebih optimistis dibandingkan dengan Indonesia. Apakah keyakinan ini memiliki dasar yang kuat? Tahun 2008 yang lalu perekonomian Indonesia tumbuh secara luar biasa. Indonesia mengalami swasembada beras dengan pertumbuhan produksi sekitar 5,5%.Industri automotif kita tumbuh dengan sekitar 40%.
Unilever Indonesia mencapai pertumbuhan penjualan nomor 2 tertinggi di dunia di antara perusahaan Unilever di seluruh dunia. (Namun yang menarik, ternyata dari perusahaan yang terdaftar di pasar modal kita, Unilever ternyata berada di luar daftar perusahaan yang memiliki pertumbuhan penjualan tertinggi pada 2008,kalah oleh berbagai perusahaan Indonesia). Ekspor tumbuh sekitar 20% sehingga mencapai USD137 miliar. Kesimpulannya adalah bahwa tahun 2008 merupakan tahun yang tidak biasa,an exceptional year. Ternyata, di tengah kinerja yang luar biasa tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tercatat mencapai 6,1%.
Sungguh tidak mencerminkan “keluarbiasaan” tersebut. Jika kita melakukan rekon-siliasi dengan pertumbuhan PDB nominal (atas dasar harga berlaku), pertumbuhan riil tersebut semakin membingungkan. PDB nominal tumbuh dengan 25,4%,sementara inflasi sepanjang 2008 hanya sebesar 11,06%. Biasanya pertumbuhan ekonomi riil,yaitu 6,1%, adalah pertumbuhan PDB nominal dikurangi angka inflasi (GDP deflator).Ini berarti ada selisih yang cukup besar antara angka inflasi yang menggunakan IHK dengan angka inflasi yang menggunakan GDP deflator.
Apakah perbedaannya sedemikian besarnya? Jika benar, sektorsektor apa yang memiliki inflasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan IHK? Per-tumbuhan PDB nominal yang tinggi tersebut sejalan dengan apa yang dicapai Unilever maupun banyak perusahaan Indonesia lainnya, baik yang terdaftar di pasar modal maupun di luarnya. Oleh karena itu, saya memiliki kecurigaan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sebetulnya lebih tinggi dari 6,1%.
Angka pertumbuhan 6,1% tersebut hanya terjadi pada sektor (sampai pada level perusahaan) yang ada dan menjadi bagian dari tahun dasar 2000. Sementara itu, terdapat sektor-sektor lain yang tertangkap oleh perhitungan PDB saat ini yang sebelumnya tidak termasuk dalam tahun dasar. Jika ini yang terjadi, sebetulnya pertumbuhan ekonomi Indonesia juga jauh lebih tinggi dari angka 6,1% tersebut.
Masa Keemasan Indonesia
Sebagaimana cerita di awal artikel ini, perekonomian Indonesia memiliki kemungkinan mengalami masa keemasan pada 10 tahun mendatang. Prediksi ini memiliki kemiripan dengan prediksi beberapa perusahaan besar belakangan ini, yang merasakan pertumbuhan bisnisnya sedemikian cepat.
Jika prediksi tersebut menjadi kenyataan dan dapat terekam dengan baik oleh lembaga statistik ki-ta, kebutuhan akan infrastruktur akan menjadi melonjak naik. Kebutuhan listrik dan energi lainnya akan mengalami kenaikan yang tajam. Jika awalnya pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW yang pertama merupakan sebuah crash programuntuk penghematan biaya, mengalihkan kegiatan pembangkit listrik dari migas ke batu bara, perkembangan yang ada justru menuntut program tersebut sebagai ekspansi untuk memenuhi kebutuhan energi yang timbul karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sementara itu crash program berikutnya juga akan bernasib sama, yaitu memang diperlukan karena terjadinya pening-katan kebutuhan energi.
Dalam keadaan sedemikian, rasanya tidak fair membiarkan PLN berjuang sendiri untuk mencari pembiayaan yang sangat besar tersebut. Pemerintah harus turun tangan melakukan suntikan modal yang besar kepada PLN sehingga kemampuannya untuk melakukan pembiayaan dan mencari pinjaman menjadi lebih besar lagi. Pemerintah dewasa ini memiliki kemampuan yang jauh lebih besar untuk turun tangan membantu ekspansi PLN tersebut. Hanya dengan itulah masa keemasan yang diprediksi tersebut menjadi tidak terkendala oleh ketidaktersediaan energi yang sungguh dibutuhkan.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/288798/38/
CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYO
Pengamat Ekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya