Senin, 21 Desember 2009

2009, Tahun Buruk bagi Buruh Migran

Oleh: Maria Hartiningsih



Munti binti Bani (45) akhirnya mengisi lembar kelam sejarah buruh migran Indonesia. Ibu lima anak asal Desa Pondok Jeruk Barat, Ringin Agung, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jember, Jawa Timur, itu dihajar dan disekap di kamar mandi oleh majikannya di Malaysia, sampai menjemput ajal, pada akhir September 2009.

Data Migrant Care sepanjang tahun 2009, seperti dipaparkan Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, memperlihatkan, 1.018 buruh migran Indonesia tewas di negara tujuan kerja.

Dari jumlah itu, 67 persen atau 683 kasus—dengan tabel nama, tempat kejadian, dan sebab kematian—terjadi di Malaysia. Sebagian besar korban (lebih dari 70 persen) adalah perempuan. Selain itu, terdapat 908 buruh migran yang bermasalah dengan majikan dan berlindung di penampungan Kedutaan Besar Republik Indonesia.



Mereka adalah korban pelanggaran hak asasi manusia, yang oleh para pembela hak-hak buruh migran dimasukkan dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. Kategori itu merupakan satu dari tiga masalah pelanggaran hak asasi manusia paling serius—dua lainnya yaitu kejahatan perang dan genosida—meskipun kriterianya masih diperdebatkan.

”Kalau kriterianya mencakup sistematis, berulang dengan modus sama sejak tahun 1980-an, dan tidak ada perubahan kebijakan untuk mengantisipasi persoalan, maka apa yang terjadi sudah mendekati definisi kejahatan terhadap kemanusiaan,” ungkap Tati Krisnawaty, Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan 1998-2006.

Melaju

Apa pun kriterianya, yang jelas, korban terus berjatuhan dan pelanggaran melaju. Laporan Human Rights Watch tahun 2009, A Bad Year for Migrants, mengungkap berbagai pelanggaran yang terus terjadi terhadap buruh migran.

Tema ”Migration” dalam Laporan Pembangunan Manusia Dana Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pembangunan (HDR) tahun 2009 mengungkap pergerakan barang dan jasa dalam globalisasi ekonomi tidak berjalan seiring dengan perlindungan hak-hak kaum migran.

”Situasinya memang memprihatinkan,” ujar Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, Sabtu (19/12).

Di Indonesia, menurut Muhaimin, pelanggaran yang terus terjadi merupakan sisa persoalan lama yang disebabkan tiga hal, yakni belum tercapainya komitmen dua negara (dalam hal ini, Indonesia dan Malaysia) dan lemahnya pengawasan.

”Satu lagi yang sangat serius adalah proses pemberangkatan, mencakup sistem rekrutmen, pelatihan, dan penempatan di dalam negeri yang kacau-balau, termasuk proses ilegal,” lanjut Muhaimin, seperti memberi konfirmasi pernyataan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Da’i Bachtiar, dalam pertemuan di Jakarta dengan para pemangku kepentingan masalah buruh migran beberapa waktu lalu.

Muhaimin menambahkan, perbaikan Nota Kesepahaman (MoU) soal TKI pada tahun 2006 antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia akan segera ditandatangani. Ada kemajuan signifikan menyangkut hak TKI, antara lain paspor boleh dipegang TKI dan libur kerja sehari dalam seminggu.

Ratifikasi

Komitmen serius juga terus dilakukan dengan negara tujuan kerja lainnya. ”Kalau mekanisme persiapan keberangkatan dan penempatannya belum baik, pengiriman TKI kita hentikan dulu,” tegas Muhaimin. ”Misalnya, sekarang dengan Kuwait. Kalau yang ke Arab Saudi belum ada perbaikan, juga akan kami hentikan sementara.”

Amandemen UU No 39/2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri yang melihat buruh lebih sebagai komoditas dan Rancangan Undang-Undang mengenai Pekerja Rumah Tangga akhirnya masuk pembahasan tahun 2010 Program Legislasi Nasional 2009-2014. Namun, Ratifikasi Konvensi Perlindungan Migran dan Keluarganya tidak termasuk di dalamnya.

”Padahal, ketiganya tak bisa dipisah-pisahkan dalam upaya perlindungan TKI,” tegas Anis.

Menurut Muhaimin, ratifikasi sebenarnya sedang dalam tahap persiapan dan koordinasi untuk mendapat kesamaan pandangan. Ada dua pendapat yang berkembang. Yang satu menyatakan, ratifikasi konvensi merupakan pintu masuk untuk mendapat posisi tawar lebih baik.

Pendapat lain menyatakan, ratifikasi tidak serta-merta memberi manfaat kalau negara penerima, seperti Malaysia dan Arab Saudi, belum meratifikasi. ”Yang paling penting sekarang adalah penguatan perjanjian bilateral dengan negara penerima,” ujar Muhaimin.

Menurut pengamat masalah buruh migran, Wahyu Susilo, sebenarnya semua terpulang pada kemauan politik pemerintah. ”Pemerintah India, Filipina, dan Sri Lanka, misalnya, menetapkan standar upah minimum sejak proses awal pembuatan MoU dengan negara penerima,” ujar Wahyu. ”Sedangkan Pemerintah Indonesia lebih mengedepankan negosiasi dalam proses itu. Ini memperlihatkan lemahnya posisi tawar kita.”

Sejak tahun 2005, menurut Wahyu Susilo, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono banyak ditopang remiten buruh migran, tanpa mengurus dengan baik perlindungan hak-hak mereka. Data Bank Dunia memperlihatkan, tahun 2005, remiten dari buruh migran melonjak menjadi 5,3 miliar dollar AS dari 1,8 miliar dollar AS pada akhir pemerintahan Megawati.

Saat ini jumlah buruh migran mencapai 6 juta, termasuk yang tak berdokumen. ”Akhir tahun 2008, devisa dari buruh migran mencapai 8,6 miliar dollar AS, hampir dua kali sumbangan Bantuan Pembangunan Asing (FDA),” sambung Wahyu.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/21/04080356/.2009.tahun.buruk.bagi

Maria Hartiningsih
Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...