Setelah menggelar kenduri demokrasi yang paling lama, paling kolosal, dan (mungkin) paling mahal di muka bumi, mestinya kita tutup tahun ini dengan pesta kembang api kebahagiaan.
Akan tetapi, gempa demi gempa yang melanda negeri sepanjang tahun seperti tak memberi jeda untuk sekadar menyalakan lilin harapan. Gempa politik, gempa ekonomi, gempa bumi, dan gempa korupsi bersahutan membawa negeri ke ujung tanduk, tanpa sedikit pun mengerem hasrat kuasa untuk menghalalkan segala cara.
”Ekstremisme dalam mengejar kekuasaan,” tulis Lyndon Baines Johnson, ”sungguh perbuatan jahat yang tak termaafkan.” Pacuan hasrat berkuasa yang ekstrem telah melambungkan ongkos kekuasaan, yang menjebol batas-batas kepantasan.
Dalam situasi krisis yang melumpuhkan partisipasi pembiayaan publik, meroketnya ongkos kekuasaan itu memacu hasrat penjarahan sumber-sumber keuangan negara. Korupsi politik merajalela dengan berbagai modus baru, yang siasat-siasatnya dipercanggih oleh bantuan tangan-tangan cerdik-pandai. Hasrat berkuasa yang ekstrem juga mempertaruhkan daulat negara kepada tangan- tangan luar.
Di permukaan, publik terenyak oleh tendensi kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi, sengketa antarlembaga penegak hukum, dan megaskandal Bank Century. Namun, itu hanyalah puncak dari gunung es, yang pada dasarnya tersembunyi pacuan gairah berkuasa yang ekstrem, yang berisiko merobohkan bangunan demokrasi.
Inilah tahun yang penuh ujian, yang menyerempet bahaya, seperti memutar kembali peringatan Bung Karno. Setahun sebelum pendulum sejarah berayun pada 1965, pada 17 Agustus 1964 Soekarno berpidato dengan judul ”Tahun Vivere Pericoloso” (Tahun Menyerempet Bahaya), yang mengingatkan adanya ranjau revolusi dan menekankan pentingnya keberanian menghadapi krisis serta kemandirian sebagai fondasi demokrasi.
Tentang sumber ancaman revolusi, ia menuding kekuatan-kekuatan reaksioner dan apa yang disebutnya ”setan multiparty system”. Bukannya ia membenci partai politik, yang menurut dia justru berjasa mempersiapkan dan mengemban revolusi.
”Yang tidak aku sukai,” ujarnya, ”adalah praktik-praktik yang menunggangi partai-partai politik untuk memperkaya diri atau untuk melampiaskan ambisi-ambisi perseorangan yang lobatama.”
Tentang ketahanan menghadapi krisis, ia katakan, ”Paceklik 1962 dan paceklik 1963 tidak membuat Indonesia ambruk ekonomis, apalagi 1964, di mana panen kita di mana- mana berhasil baik, Indonesia tidak akan ambruk...! Bersama-sama rakyat Indonesia, kita akan pecahkan segala kesulitan itu, bersama-sama kita akan ganyang segala kesulitan itu. That’s what the revolution is for! Justru itulah tugas revolusi: memecahkan kesulitan-kesulitan, melenyapkan segala rintangan.”
Tentang fondasi keberlangsungan demokrasi, ia mengutip pernyataan Perdana Menteri Korea Utara Kim Il Sung, ”Untuk membangun satu negara yang demokratis, satu ekonomi yang merdeka harus dibangun. Tanpa ekonomi yang merdeka, tak mungkin kita mencapai kemerdekaan, tak mungkin kita mendirikan negara, tak mungkin kita tetap hidup.” Dan untuk kemandirian ekonomi tersebut, Bung Karno bertekad, ”Sejak 17 Agustus 1964 ini saya menghendaki kita tidak akan membikin kontrak baru lagi pembelian beras dari luar negeri.”
Konsolidasi demokrasi
Resonansi pesan Bung Karno tersebut seperti bergema kuat dalam menyongsong pergantian tahun, sebagai reinkarnasi ”tahun vivere pericoloso”. Dalam kontras antara keborosan dan narsisme politik dengan paceklik perekonomian dan penderitaan rakyat kecil, mungkinkah demokrasi dikonsolidasikan?
Dalam kaitan ini, Bung Hatta pernah mengingatkan, ”Di atas sendi (cita-cita tolong-menolong) dapat didirikan tonggak demokrasi. Tidak lagi orang-seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan.”
Pada titik inilah justru kita temukan kegentingan yang kita hadapi. Bahwa pertautan jiwa-jiwa revolusioner serta sendi tolong-menolong yang ditekankan oleh kedua pendiri bangsa itu kini telah pudar membawa kesulitan dalam memecahkan masalah bersama. Korupsi telah membelah bangsa ke dalam dua lapis yang berlawanan: pengisap dan yang diisap. Semangat gotong royong ambruk yang memperlemah ketahanan politik dan kemandirian ekonomi nasional.
Itulah sebabnya korupsi menjadi titik tergenting persoalan nasional. Karena ia merupakan kanker ganas yang melemahkan ketahanan dan jati diri bangsa. Segala bencana yang menimpa bangsa ini pada akar tunjangnya tertanam budaya korupsi.
Kesadaran inilah yang bergema dalam jiwa jutaan warga. Kesadaran kolektif ini mendorong berbagai elemen mempertautkan diri dalam Gerakan Indonesia Bersih (GIB), yang akan menjadikan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, 9 Desember 2009, sebagai momentum untuk menyelamatkan Indonesia dari bencana demokrasi dan bencana rezeki.
Aksi Damai Indonesia Bersih oleh GIB ini, seperti tecermin dari namanya, menekankan upaya penyampaian aspirasi dan tekad secara damai dan bersih dari fitnah dan kekerasan. Dengan demikian, semua tindakan yang tidak termasuk dalam kategori ”damai dan bersih” bukan merupakan bagian dari gerakan ini.
Pesan moral gerakan ini sejalan dengan platform kampanye kepresidenan SBY yang menjadikan pemberantasan korupsi sebagai prioritas program pemerintah serta agenda 100 hari kabinetnya yang berkehendak memberantas mafia hukum dan peradilan.
GIB hadir untuk membantu Presiden SBY merealisasikan janji-janjinya sehingga pantas mendapatkan apresiasi yang hangat. Semoga pada 9 Desember nanti Presiden bisa meluangkan waktu untuk hadir dan menyatu dalam gelombang tekad massa yang mendambakan Indonesia bebas dari korupsi.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/08/02474332/tahun.vivere.pericolos
Yudi Latif
Pengamat Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya