Senin, 21 Desember 2009

KTT Perubahan Iklim PBB 2009, Kopenhagen, Denmark: Indonesia Perlu Lebih Serius

Oleh: James Luhulima


KTT Perubahan Iklim PBB 2009 di Kopenhagen, Denmark, berakhir hari Sabtu (19/12), dengan menghasilkan Kesepakatan Kopenhagen (”Copenhagen Accord”). Namun, kesepakatan yang dihasilkan lewat mediasi Presiden Amerika Serikat Barack Obama dengan China dan beberapa negara besar lainnya dicela negara-negara berkembang karena kesepakatan itu tak mengikat dan tak menetapkan batas waktu tertentu untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Kanselir Jerman Angela Merkel menanggapi Kesepakatan Kopenhagen dengan dingin. Ia mengatakan, ia menyambut hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim PBB 2009 dengan ”perasaan mendua”, serta menyebut bahwa hasil itu hanyalah merupakan langkah awal menuju ke arah suatu kesepakatan baru yang masih sangat jauh.

Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso mengatakan, kesepakatan itu jelas berada di bawah target Uni Eropa.

Namun, Perdana Menteri Inggris Gordon Brown mengatakan, ”Mari kita ingat, satu tahun yang lalu tidak ada orang yang berpikir bahwa kesepakatan seperti itu mungkin dicapai.”

Diplomasi bolak-balik Obama menghasilkan dokumen tiga halaman, yang antara lain menjanjikan bantuan darurat 30 miliar dollar AS dalam waktu tiga tahun ke depan dan menyalurkan 100 miliar dollar AS setiap tahun pada tahun 2020 kepada negara berkembang tanpa jaminan.

Kesepakatan, yang juga mencakup India, Afrika Selatan, dan Brasil, meminta negara-negara industri untuk mendaftarkan targetnya sendiri-sendiri serta negara-negara berkembang untuk mendaftarkan langkah yang akan ditempuhnya untuk menghentikan polusi pemanasan global dalam jumlah yang spesifik.

Terobosan

Obama menyebut hal itu sebagai ”terobosan yang belum pernah terjadi sebelumnya”.

”Kita telah berjalan jauh, tetapi kita masih harus berjalan lebih jauh lagi,” kata Obama. Ia menambahkan, jika negara-negara menunggu lebih dulu hingga tercapainya suatu kesepakatan yang menyeluruh dan mengikat, kita tidak akan membuat kemajuan apa pun. Dalam keadaan seperti itu, lanjutnya, yang ada hanyalah frustrasi dan sinisme, bukannya mengambil satu langkah maju, tetapi kita berakhir dengan mengambil dua langkah mundur.

Namun, para peserta KTT Perubahan Iklim PBB 2009 ternyata berpendapat lain. Dalam sebuah sidang pleno, Sabtu pagi, yang dimaksudkan untuk mencapai semacam konsensus yang dapat dinyatakan oleh Ketua KTT Perubahan Iklim PBB 2009, Perdana Menteri Denmark Lars Loekke Rasmussen, sebagai kesepakatan KTT, hasilnya malahan bertolak belakang. Sekelompok negara berkembang memprotes dokumen yang mereka sebut sebagai tidak memadai dan tidak mengikat.

Padahal, kesepakatan itu juga menyebutkan, emisi karbon harus dikurangi hingga kenaikan suhu bumi tidak melampaui 2 derajat celsius. Ini lebih maju daripada semua deklarasi sebelumnya yang diterima oleh negara maju.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di hadapan delegasi dari 193 negara peserta KTT Perubahan Iklim PBB 2009, Kamis lalu, menyerukan kepada semua pihak untuk melepaskan ego masing-masing sehingga ada celah untuk mencapai kesepakatan dan kerja sama yang maksimal.

Ia menambahkan, Indonesia ingin menjadi bagian dari solusi global, khususnya dalam isu perubahan iklim, di antaranya dengan sukarela menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020, atau menjadi 41 persen jika mendapatkan bantuan asing.

Organisasi nonpemerintah, Germanwatch, dalam laporan ”Climate Change Performance Index 2009” di Kopenhagen, 14 Desember lalu, menyebutkan, Indonesia tidak termasuk dalam daftar 10 besar negara yang mengemisi gas rumah kaca terbanyak di dunia. China menempati urutan yang pertama, diikuti Amerika Serikat, Rusia, India, Jepang, Jerman, Kanada, Inggris, Korea Selatan, dan Iran.

Namun, data itu belum menghitung emisi dari sektor kehutanan dan kerusakan lahan.

Indeks tersebut didasarkan pada pengukuran 12 indikator yang terbagi dalam tiga kategori besar, yakni tren emisi per sektor (energi, transportasi, rumah tangga, dan industri), level emisi (dari industri saja), dan kebijakan iklim setiap negara.

Untuk penurunan emisi sukarela sebesar 26 persen itu, Indonesia akan menurunkan 0,7 miliar ton CO dengan kebutuhan dana Rp 83,3 triliun untuk lima tahun.

Dan, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyatakan, Indonesia terbuka pada kemungkinan audit pihak asing sesuai asas terukur, terlaporkan, dan terverifikasi (MRV). Pernyataan Marty itu meluruskan sikap Indonesia sebelumnya, yang menolak permintaan audit pihak asing program 26 persen itu karena sifatnya sukarela.

Deputi III Menteri Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Perlindungan Lingkungan Masnellyarti Hilman dalam jumpa pers delegasi Indonesia di Kopenhagen, Kamis lalu, mengemukakan, terdapat tujuh sektor yang masuk dalam target penurunan emisi 26 persen, yakni energi, transportasi, proses industri, pertanian, kehutanan, limbah/persampahan, dan lahan gambut. Sebelumnya, transportasi dan pertanian tidak dimasukkan dalam target penurunan emisi.

Perlu lebih serius

Jika ingin menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020, Indonesia perlu lebih serius dalam melakukan langkah konkret menuju terwujudnya hal tersebut.

Waktu 10 tahun bukanlah waktu yang lama. Sektor pertama yang perlu disorot adalah sektor energi. Pada saat ini 60 persen pembangkit listrik menggunakan bahan bakar minyak (BBM), sisanya menggunakan gas bumi dan batu bara. Ketiga bahan bakar itu melepaskan emisi gas rumah kaca. Bahkan, pemerintah akan menambah daya listrik sebesar 10.000 megawatt (MW) dengan membangun pembangkit tenaga listrik yang menggunakan batu bara.

Walaupun pada tahun 2025 ditargetkan jumlah BBM akan dikurangi menjadi 20 persen, sementara gas bumi dan batu bara akan ditingkatkan masing-masing menjadi 30 persen dan 33 persen, tetapi se-mua bahan bakar tersebut memiliki emisi gas rumah kaca yang tinggi.

Itu baru sektor energi. Sektor transportasi pun sama buruknya. Pada saat ini, BBM yang digunakan masih di bawah persyaratan Euro 2, khususnya solar (diesel). Euro 2 mempersyaratkan solar dengan kandungan sulfur 500 PPM (parts per million), tetapi solar yang tersedia di pasar memiliki kandungan sulfur 3.500 PPM dan 5.000 PPM. Khusus solar yang memiliki kandungan sulfur 3.500 PPM digunakan untuk transportasi dan yang 5.000 PPM untuk industri.

Pertamina sesungguhnya menyediakan solar dengan kandungan sulfur 385 PPM, yang diberi nama Pertamina Dex, tetapi harganya jauh di atas harga solar biasa.

Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin mendorong penurunan emisi di sektor transportasi, selain menyediakan bahan bakar ramah lingkungan, pemerintah pun harus memberi insentif pada mobil ramah lingkungan.

Saat ini, pemerintah terkesan kurang serius mendukung pengembangan biofuel. Ajakan untuk menanam singkong sebagai salah satu bahan baku etanol dan menanam jarak pagar sebagai salah satu bahan baku bio- solar tidak diimbangi dengan pembangunan pabrik untuk memprosesnya. Akibatnya, singkong dan jarak pagar terbengkalai begitu saja.

Pemberian insentif, berupa pengurangan pajak, pada mobil ramah lingkungan, seperti antara lain mobil hibrida, akan membuat harga mobil ramah lingkungan semakin murah. Dan, dengan semakin murah harga jualnya, populasinya pun tentunya semakin banyak.

Dalam sektor kehutanan dan lahan gambut, pemerintah sudah menegaskan kesiapannya, antara lain dengan penanaman pohon dan pencegahan penggundulan hutan. Dari sektor lahan gambut, selain penegakan hukum bagi pembakar lahan, pemerintah akan mendekati warga sekitar lahan gambut—ada di 250 kampung—untuk diberikan pelatihan dan peralatan untuk meninggalkan praktik pembakaran lahan. Perlu ditunggu apakah kesiapan pemerintah itu akan terlaksana di lapangan seperti yang diharapkan…

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/21/04095080/indonesia.perlu.lebih.

James Luhulima
Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...