Rabu, 09 Desember 2009

Dilema Demokrasi

Oleh: Andreas A Yewangoe



Beberapa waktu lalu, dalam referendum di Swiss, rakyat memutuskan untuk tidak memberi izin kepada umat Islam mendirikan menara di masjid-masjid di seluruh negeri itu. Keruan saja keputusan rakyat ini mendapat reaksi negatif di mana-mana. Bahkan, Pemerintah Swiss tidak senang dengan keputusan tersebut. Mereka khawatir pergaulan, dalam arti relasi dagang dan politik dengan negara-negara Islam, akan terganggu.

Di negeri-negeri Islam, dan/atau berpenduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia, keputusan itu mendapat kecaman. KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU, menilai hasil referendum tersebut sebagai kemunduran di dalam relasi umat beragama. Ia heran mengapa untuk mendirikan menara saja tidak diizinkan, sementara di Italia tidak menjadi masalah, asal saja tidak lebih tinggi dari Gedung St. Peter di Vatikan. Ia mengharapkan agar keputusan tersebut ditinjau lagi.

Dalam diskusi dengan Kardinal Jean-Louis Tauran, President of the Pontificial Council for Interreligious Dialogue, beberapa waktu lalu, di Deplu RI, persoalan referendum ini juga mengemuka. Persoalan pokoknya, bagaimanakah seharusnya hidup bersama di dalam masyarakat multi-budaya. Tidak mudah memang memecahkan persoalan sensitif seperti ini. Berbagai diskusi dan anjuran telah disampaikan, namun sentimen atas dasar budaya dan agama selalu saja tampil. Di Eropa, sejak maraknya kedatangan gast arbeiders (pekerja-pekerja tamu) dari negeri-negeri berpenduduk Muslim (seperti Marokko, Tunisia, Turki) tahun 1970-an, maka benua ini di-"paksa" untuk terbuka dan menerima kenyataan baru bahwa kebudayaan mereka tidak lagi homogen.

Kenyataan ini tidak jarang menimbulkan ketegangan. Di Belanda, misalnya, pembunuhan Theo van Gogh yang membuat film Submission menimbulkan kehebohan. Negeri Belanda, terkenal sangat toleran, dan secara tradisional menerima pengungsi dari mana saja, tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan bahwa keadaan tidak sama lagi. Sikap paling ekstrem diungkapkan oleh Geert Wilders, yang membuat film Fitna, beberapa waktu lalu. Sebagai anggota Parlemen (Tweede Kamer) dari Partij van Vrijheid (PVV), ia mencita-citakan Negeri Belanda yang bebas dari unsur-unsur asing baik kebudayaan maupun agama.

Peristiwa kartun di Denmark, yang menghebohkan, adalah contoh lain betapa keanekaragaman budaya sulit dipahami. Lebih dari itu nilai-nilai, atau setidak-tidaknya persepsi terhadap makna demokrasi yang dianut tidak selalu sama. Bagi masyarakat Denmark, kebebasan menulis apa saja adalah hak asasi yang tidak boleh diganggu- gugat, sedangkan bagi masyarakat imigran Muslim, kebebasan mesti mempunyai batas.

Kebebasan tidak boleh merambah masuk ke wilayah-wilayah yang selama ini dianggap sakral. Itulah juga yang persis terjadi dengan kebebasan berpendapat menurut Konstitusi Belanda. Karena itu, ketika para pemimpin lintas-agama Indonesia mengirim surat keprihatinan kepada PM Belanda Balkenenda dengan permintaan agar film Fitna itu dicegah, ia menulis kembali bahwa berdasarkan Konstitusi Belanda, yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, tidaklah mudah ia mencegah penayangan film tersebut. Tindakan baru akan diambil apabila film tersebut telah ditayangkan, dan ternyata mengganggu keamanan. Ia memahami kegelisahan para pemimpin agama-agama di Indonesia, namun bahkan seorang perdana menteri pun tidak boleh melawan Konstitusi.


Keharmonisan Hidup

Ketika Swiss menyelenggarakan referendum menanyakan persetujuan rakyat bagi pembangunan menara masjid, mungkin sulit dipahami oleh kita di Indonesia. Tetapi, negeri itu memang selalu memakai cara referendum guna menentukan hal-hal yang dianggapnya penting dalam kehidupan bermasyarakat.

Menurut kebiasaan itu, apa yang telah diputuskan oleh rakyat melalui mekanisme referendum adalah sah dan harus ditaati oleh siapa saja. Di sinilah kita berhadapan dengan dilema demokrasi. Yang dimaksudkan adalah, kendati seluruh prosedur demokrasi telah diikuti, namun hal itu belum tentu bertindih-tepat dengan substansinya bagi keharmonisan hidup bersama di dalam masyarakat. Kalau kenyataan itu yang dihadapi, maka cukup alasan untuk meninjau kembali keputusan. Terlihat dengan jelas di sini, suara terbanyak tidak selalu sama dengan suara terbaik. Keputusan yang diambil oleh kelompok mayoritas belum tentu benar, lebih-lebih lagi ditinjau dari nilai-nilai kehidupan bersama di dalam masyarakat. Keabsahan keputusan tidak selalu bertindih-tepat dengan kemanfaatan.

Rasanya, kita sebagai Bangsa Indonesia, yang baru memasuki dan mempraktikkan budaya demokrasi, dapat memetik pelajaran dari peristiwa di Swiss itu, yaitu sampai berapa jauhkah praktik demokrasi yang hanya mengandalkan pada banyaknya suara benar-benar membawa guna bagi kehidupan bersama. Asas musyawarah untuk mufakat, yang merupakan sila penting di dalam Pancasila, perlu dikemukakan lagi.

Euforia demokrasi yang kita alami dengan mudah membuat kita lupa, bahwa para pendiri bangsa telah mewariskan kepada kita nilai-nilai kebersamaan yang sangat tinggi. Sistem demokrasi, kendati lebih baik dari berbagai sistem pemerintahan dan pengelolaan negara yang dikenal dunia, selalu punya keterbatasan.

Bagi negeri-negeri di Eropa, yang menghadapi arus imigran, tidak dapat tidak harus sungguh-sungguh memperhatikan keragaman budaya, sehingga diberi tempat yang wajar dalam pergaulan masyarakat. Kita menyadari bahwa ketegangan-ketegangan mudah terjadi, karena adanya jurang antara penduduk asli dan kaum pendatang. Perbedaan tingkat pendidikan, misalnya, adalah salah satu unsur pemicu ketegangan. Kesulitan bagi pendatang mendapatkan pekerjaan layak, karena kendala bahasa, adalah sebab lain dari ketegangan. Kita mengharapkan kehidupan harmonis di antara penduduk asli dan kaum pendatang di Eropa akan terwujud di masa depan, tentu saja kalau keadilan sosial sungguh-sungguh diragakan dalam kehidupan sehari-hari.

URL Source: http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=12307

Andreas A Yewangoe

Penulis adalah Ketua Umum PGI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...