Minggu, 13 Desember 2009

Perempuan pada Pertanian Lahan Kering

Oleh: Gatot Irianto



SEBAGAI sektor strategis yang tahan krisis dan resesi, sampai saat ini pertanian merupakan penyerap tenaga kerja sangat potensial dengan kecenderungan pelaku utamanya adalah perempuan. Potret ini terlihat jelas pada pengembangan komoditas hortikultura (sayuran dan buah-buahan) maupun florikultura (bunga-bungaan) di lahan kering dengan ketersediaan air sebagai kendala utamanya.

KEGIATAN pengambilan air, penyiraman, penyiangan, pemupukan, pengendalian hama/penyakit, panen dan pemasaran, sebagian besar dilakukan petani perempuan. Sementara laki-laki, meskipun partisipasi operasionalnya terbatas, akses dan kontrol terhadap modal, lahan, kredit, peralatan pertanian, harga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Bahkan berdasarkan hasil pemetaan jender di lokasi penelitian lahan kering di Desa Keji dan Kalisidi, Ungaran, Jawa Tengah, terlihat akses dan kontrol perempuan untuk budidaya padi, palawaija, dan hortikultura maksimum hanya mencapai sedang.

Keadaan ini mengilustrasikan, pengarusutamaan di sektor pertanian yang dilakukan selama ini masih jauh dari yang diharapkan sehingga memerlukan perubahan mendasar pola dan strategi pendekatan dari pendekatan teoretis ke pendekatan operasional dengan jadwal waktu kerja yang jelas agar terjadi akselerasi proses dan transformasi dalam pengarusutamaan jender.

Sebagai produk dan resultan dari suatu konstruksi alamiah, ekonomi, sosial, dan budaya, masalah pengarusutamaan jender seharusnya dipecahkan berdasarkan bobot kandungan/ proporsi konstruksi dominannya serta dibumikan ke sektor yang relevan. Kinerja akselerasi dan transformasi aktivitas pengarusutamaan jender yang berjalan lambat dan tidak proporsional dibandingkan dengan biaya investasi yang sudah dikeluarkan pemerintah merupakan bukti konkret operasionalisasi pengarusutamaan jender yang perlu direorientasi. Sampai saat ini terlihat dari masih dominannya konsep, strategi, rancang bangun dan rekayasa teknologi yang masih bias jender.

Potret serupa dapat dijumpai antara lain di Tunisia, Aljazair, dan negara-negara Timur Tengah yang kuat memegang tradisi agama tertentu. Ternyata berdasarkan pemantauan, produk teknologi, kebijakan, konsep dan strategi yang bias jender itu dikomandani atau paling tidak motornya adalah perempuan. Marjinalisasi peran perempuan yang tidak terdeteksi dalam jangka panjang kurang menguntungkan semua pihak karena akselerasi pembangunan akan hanya bertumpu pada laki-laki, sementara perempuan yang secara kuantitas lebih banyak dan secara kualitas dapat memainkan peran strategis secara proporsional belum mendapat peran memadai.

Pertanyaan klasiknya, bagaimana implementasi konkret pengarusutamaan jender agar secara alamiah dan artifisial transformasinya dapat diakselerasi? Introduksi teknologi sederhana yang ramah perempuan untuk menekan faktor pembatas adalah jawabannya.

Teknologi ramah perempuan

Persepsi dan pola pikir lama dan masih banyak dianut, yang menyatakan introduksi teknologi justru akan mendorong terjadinya marjinalisasi perempuan, diduga merupakan salah satu penyebab implementasi pengarusutamaan jender di lahan kering masih jalan di tempat. Fakta tersebut mengemuka saat diskusi pengarusutamaan jender di lahan kering melalui peningkatan ketersediaan air dan introduksi teknologi sederhana yang ramah perempuan untuk pendayagunaan air di Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, 26 September 2003.

Argumen peserta diskusi menyatakan bahwa apabila introduksi teknologi masuk sektor pertanian dan menjadikan sektor pertanian tidak padat tenaga kerja, maka perempuan akan termarjinalkan terlebih dahulu. Saat introduksi konsep optimalisasi peran perempuan di sektor pertanian dikemukakan, banyak peserta keberatan dengan alasan peran perempuan di sektor domestik sudah sangat berat.

Pendapat itu memang ada benarnya, terutama apabila sistemnya linier dan tidak dinamis. Namun, pada sistem yang nonlinier dan dinamis, introduksi teknologi justru mengoptimalkan peran perempuan sekaligus mengakselerasi transformasi peran dari laki-laki ke perempuan. Teladan konkretnya bisa dicermati pada budidaya pertanian lahan kering yang awalnya intensitas tanamannya hanya satu kali setahun kemudian melalui peningkatan ketersediaan air dapat menjadi dua sampai tiga kali tanam setahun.

Pada kondisi itu, curahan tenaga kerja seluruh keluarga tidak mencukupi untuk menggarap seluruh lahannya karena terjadi tiga perubahan sangat elementer, yaitu (1) diversifikasi jenis dan jumlah komoditas per satuan luas dan waktu yang menyebabkan terjadinya pergeseran dari satu komoditas yang kurang intensif tenaga kerja ke multikomoditas yang intensif tenaga kerja; (2) peningkatan intensitas tanam 2-3 kali yang secara otomatis akan memerlukan tenaga kerja per satuan luas per satuan waktu lebih banyak; dan (3) perubahan teknik budidaya dari yang sederhana seperti ubi kayu menjadi bawang merah, cabai, dan tomat, sangat memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.

Untuk itu diperlukan introduksi teknologi pendayagunaan air yang ramah perempuan sehingga memungkinkan pekerjaan yang semula lebih didominasi laki-laki dapat ditranformasikan secara alamiah ke perempuan. Konsekuensinya, laki-laki harus keluar mencari jenis pekerjaan di luar sektor pertanian. Konstruksi model ini sangat relevan dikembangkan di berbagai bidang karena, dengan teknologi yang ramah perempuan, beban dan tanggung jawab perempuan di sektor domestik dapat direduksi secara signifikan.

Dengan teknologi sederhana, misalnya tugas memasak, mencuci yang sebelumnya harus dilakukan pada waktu berbeda dapat dilakukan sekaligus, sehingga sisa curahan tenaga kerjanya dapat dialokasikan ke sektor usaha hortikultura yang lebih produktif untuk mengembangkan ekonomi keluarga.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana strategi kebijakan yang harus diambil pemerintah agar pengarusutamaan jender sektor pertanian dapat dipercepat? Pengembangan lahan kering dan diversifikasi komoditas adalah jawaban praktisnya.

Pengembangan lahan kering

Pemilihan lahan kering sebagai fokus pengembangan pertanian masa depan sangat tepat karena berdasarkan luas, distribusi, senjang antara produksi aktual dan potensialnya masih besar sehingga sangat menjanjikan apabila digarap secara profesional dengan pengarusutamaan jender sebagai roda penggerak. Kemampuan produksi, baik jenis, kualitas, maupun waktu produksinya juga mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif dibandingkan dengan lahan sawah sekalipun. Melalui peningkatan ketersediaan air dan diversifikasi komoditas akan terjadi penciptaan lapangan kerja baru yang sangat besar. Menariknya, komoditas hortikultura dan florikultura harganya sangat kompetitif dan menjanjikan, tetapi memerlukan ketelitian dan ketekunan luar biasa yang secara faktual lebih banyak dimiliki kaum perempuan.

Pengembangan lahan kering melalui pengarusutamaan jender sangat mendesak dilakukan karena berdasarkan pengamatan di areal penelitian di Keji dan Kalisidi, Jawa Tengah, hasil wawancara menunjukkan bahwa pada lahan kering yang produktivitasnya rendah, ekonomi keluarga petani umumnya rendah. Pada kondisi demikian, hampir semua keputusan ekonomi, pendidikan, dan sosial yang diambil sangat bias jender, misalnya kesempatan memperoleh pendidikan. Indikatornya, di lokasi lahan kering yang produktivitasnya rendah, semua responden perempuannya buta huruf. Menyedihkan memang, tetapi itulah faktanya.

Sebaliknya, pada wilayah lahan kering yang ketersediaan airnya memadai, ekonomi petaninya jauh lebih baik sehingga kesempatan perempuan memperoleh pendidikan juga jauh lebih baik. Keunggulan kesempatan pendidikan ini dalam jangka panjang akan meningkatkan akses, kontrol, dan peran perempuan dalam pendayagunaan sumber daya maupun aktivitas strategis lainnya yang selama ini didominasi laki-laki. Misalnya, kesempatan mendapat penyuluhan, akses kredit, bahkan menentukan jenis komoditas yang dibudidayakan, pemasaran, dan pengolahan hasil.

Berdasarkan hasil kajian itu, pengarusutamaan jender sektor pertanian lahan kering dapat dipacu apabila pemerintah dapat menyediakan: (1) bantuan langsung masyarakat untuk peningkatan ketersediaan air; (2) teknologi ramah perempuan untuk pendayagunaan air dan budidaya; (3) menyediakan lapangan kerja nonpertanian agar dapat menyerap secara signifikan laki-laki petani, sehingga perempuan dapat berperan optimal dan sektor pertanian dapat tumbuh lebih cepat dan menjanjikan dibandingkan dengan saat ini.

Gatot Irianto Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi/ Pengamat Jender Sektor Pertanian.

URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0311/17/swara/689875.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...