Oleh: Amiruddin al Rahab
Merefleksikan untaian pelanggaran hak asasi manusia di Papua dapat diambil satu pelajaran penting, yaitu kita berhadapan dengan negara yang selalu merasa terancam oleh bayangan masa lalunya yang buruk. Untuk mengatasi perasaan terancam itu, aparat negara—pusat dan daerah—kerap bertindak di luar akal sehat dan selalu penuh curiga kepada rakyat Papua. Kecurigaan yang tak pernah pupus kemudian menjadi tempat berbiaknya tindakan kekerasan, intimidasi, dan marjinalisasi.
Gejala ini kentara ketika Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal George Toisuta, tanpa angin tanpai badai, melontarkan perlunya perluasan komando teritorial dan penambahan kekuatan di Papua melalui pembentukan komando daerah militer (kodam) baru. Seakan-akan di Papua saat ini negara sedang menghadapi ancaman bersenjata dan nonbersenjata nan mahadahsyat, yang mampu mengubah batas-batas teritorial dan meruntuhkan kedaulatan. Padahal, saat ini situasi di Papua berada dalam tertib sipil.
Rencana KSAD itu hanya bisa dipahami jika terminologi Anthony Giddens mengenai negara dipakai. Giddens dalam The Nation-State and Violence mengemukakan, negara adalah entitas yang selalu memonopoli means of violence and instrument of surveillance dalam batas-batas yang pasti. Maka dari itu, negara bangsa oleh Giddens dilihat sebagai sebuah kontainer kekuasaan dengan batas-batas yang pasti.
Oleh karena itu, penambahan kekuatan militer di sebuah wilayah selalu bermakna untuk menumbuhkan kegentaran terhadap pihak-pihak yang dicurigai sebagai musuh. Tentu tujuannya adalah untuk mempertahankan batas kedaulatan (borders of sovereignity).
Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua selalu berimpitan dengan tujuan untuk mempertahankan batas-batas kedaulatan itu. Pada gilirannya, negara yang selalu merasa batas kedaulatannya terancam mudah terjerumus ke dalam siklus kekerasan dan pelanggaran HAM.
Siklus itu kian tahun kian membesar akibat selalu ada perasaan batas kedaulatan Indonesia di Papua berada dalam ancaman. Dari dalam siklus kekerasan itu negara akhirnya menciptakan musuh-musuh di dalam dirinya sendiri. Buahnya adalah awetnya stigmatisasi ”separatis” terhadap rakyat di Papua.
Sayangnya, setelah reformasi politik berjalan 10 tahun dan otonomi khusus diundangkan selama delapan tahun, stigmatisasi ”separatis” itu tidak berkurang, malah kian menguat. Gejala menguatnya stigma separatis itu adalah kerapnya terjadi penangkapan atau tuduhan-tuduhan oleh polisi atau TNI terhadap orang-orang yang mempertanyakan terjadinya berbagai bentuk ketidakadilan di Papua.
Dapat dikatakan, satu-satunya provinsi yang pengadilan-pengadilan (negeri)-nya masih memakai tuduhan pasal-pasal makar kepada setiap orang yang melakukan demonstrasi terbuka adalah Papua. Pasal makar itu dipakai karena para demonstran di Papua kerap meneriakkan yel-yel ”merdeka” atau membawa spanduk dengan gambar bintang kejora.
Ditilik dari perkembangan siklus kekerasan dan penggunaan tuduhan-tuduhan pasal makar serta penghasutan di depan umum, untuk membungkam demonstrasi yang mempertanyakan agenda-agenda keadilan, dapat dikatakan bahwa tidak ada yang baru dari kondisi HAM di Papua. Karena tidak ada yang baru itulah, kondisi HAM di Papua kerap menarik komunitas pemerhati HAM nasional dan internasional.
Sepanjang tahun 2008-2009, di forum internasional, seperti Dewan HAM PBB, komite-komite HAM di PBB, dan Parlemen Eropa, telah menerima hampir 20 laporan tentang kondisi HAM di Papua dari Human Rights Watch, Amnesty International, serta pelapor khusus PBB.
Proposal LIPI
Untuk memutus siklus kekerasan dan pelanggaran HAM serta meruntuhkan tembok stigmatisasi ”separatis” di Papua, Tim Papua LIPI, melalui buku Papua Roadmap (2009), mengusulkan empat agenda besar. Pertama, menghilangkan sikap diskriminatif dan menghapus kebijakan-kebijakan yang memarjinalisasikan orang asli Papua. Kedua, menciptakan proses pembangunan yang menjamin terpenuhinya hak-hak dasar orang Papua, seperti pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik lainnya.
Ketiga, membangun dialog yang setara antara Papua dan pemerintah pusat untuk menumbuhkan sikap saling percaya dalam melihat masa lalu dan menatap masa depan. Keempat, mengungkapkan kebenaran dan mengakui kesalahan atas terjadinya rangkaian kekerasan pada masa lalu demi terciptanya rekonsiliasi.
Melihat perkembangan situasi hak asasi manusia, baik dalam konteks pemenuhan hak sipil dan politik maupun hak sosial, ekonomi, dan budaya, proposal LIPI ini pantas untuk dipertimbangkan oleh pemerintah pusat maupun oleh tokoh-tokoh Papua. Meski formulasi proposal LIPI tersebut bukan sesuatu yang mudah, hal ini merupakan satu tawaran yang rasional untuk sekarang ini.
Ada dua alasan jalan itu perlu ditempuh. Pertama, segala bentuk agenda pembangunan di Papua tidak akan bisa berhasil baik selama sikap saling tidak percaya (konflik) masih berkecamuk dalam melihat masa lalu dan masa depan Papua.
Artinya, setiap langkah pembangunan pasti akan ditunda oleh pemerintah karena khawatir hasil pembangunan itu akan memberikan keuntungan kepada kelompok separatis. Sementara dari pihak-pihak di Papua, setiap langkah pembangunan dari pemerintah pusat akan dilihat sebagai upaya untuk memarjinalisasi orang Papua. Tidak berhasilnya otonomi khusus dalam menjawab masalah HAM di Papua dalam delapan tahun ini adalah akibat terperangkap dalam situasi politik seperti ini.
Kedua, segala upaya membangun politik yang demokratis di Papua tidak akan berhasil baik tanpa memberikan ruang yang lebih luas kepada rakyat di Papua untuk berpartisipasi. Artinya, selama partisipasi politik, ekonomi, dan budaya masih dilihat sebagai ancaman oleh negara, selama itu pula ketidaknyamanan terhadap jalannya pemerintahan terjadi. Maka, dialog dan rekonsiliasi adalah sarana untuk memperluas ruang partisipasi.
Beri ruang berekspresi
Berangkat dari empat agenda dengan dua alasan di atas, jika dijalankan, negara tidak perlu lagi merasa terancam di Papua. Sebab, negara itu akan menjelma menjadi organisme yang hidup dan menghidupi di Papua.
Dengan kata lain, kepapuaan tidak lagi terasing dalam Indonesia, sebaliknya Indonesia juga tidak lagi mengasingkan kepapuaan. Keindonesiaan akan mewujud dengan segala mimpi Papua tentang masa depan. Dengan begitu, keindonesiaan di Papua tidak lagi kaku sebagaimana selama ini diwakili oleh pos tentara/polisi.
Dalam perspektif hak sosial, ekonomi, dan budaya, keindonesiaan menjelma menjadi infrastruktur dan pelayanan publik yang berkualitas, fasilitas pendidikan yang baik dan terjangkau, serta instalasi kesehatan dan obat yang menjangkau serta terjangkau oleh rakyat Papua.
Sementara dari sisi hak sipil dan politik, keindonesiaan menjelma menjadi ruang bebas berekspresi bagi rakyat Papua. Ruang itu menghilangkan diskriminasi, intimidasi, penyiksaan, dan aksi kekerasan dalam segala bentuknya.
Tantangan terbesar dalam memajukan HAM di Papua sekarang ini adalah menghilangkan pola pikir yang membenarkan tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM untuk menjaga keutuhan batas-batas kedaulatan Indonesia. Padahal, sejarah dunia banyak yang menunjukkan, negara yang terlalu menggunakan kekerasan dalam menjaga keutuhan wilayahnya lebih banyak kehilangan wilayahnya.
Agar pemerintah tidak terus berkubang dalam lumpur pelanggaran HAM di Papua, langkah-langkah dialog mendesak untuk disusun. Jika langkah disiapkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan kabinet barunya ini akan mengukir sejarah baru karena berhasil mengurai kebuntuan jalan politik di Papua. Semoga!
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/17/03165267/papua.ham.dan.negara.y
Amiruddin al Rahab Ketua Pokja Papua dan Senior di ELSAM Jakarta
Merefleksikan untaian pelanggaran hak asasi manusia di Papua dapat diambil satu pelajaran penting, yaitu kita berhadapan dengan negara yang selalu merasa terancam oleh bayangan masa lalunya yang buruk. Untuk mengatasi perasaan terancam itu, aparat negara—pusat dan daerah—kerap bertindak di luar akal sehat dan selalu penuh curiga kepada rakyat Papua. Kecurigaan yang tak pernah pupus kemudian menjadi tempat berbiaknya tindakan kekerasan, intimidasi, dan marjinalisasi.
Gejala ini kentara ketika Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal George Toisuta, tanpa angin tanpai badai, melontarkan perlunya perluasan komando teritorial dan penambahan kekuatan di Papua melalui pembentukan komando daerah militer (kodam) baru. Seakan-akan di Papua saat ini negara sedang menghadapi ancaman bersenjata dan nonbersenjata nan mahadahsyat, yang mampu mengubah batas-batas teritorial dan meruntuhkan kedaulatan. Padahal, saat ini situasi di Papua berada dalam tertib sipil.
Rencana KSAD itu hanya bisa dipahami jika terminologi Anthony Giddens mengenai negara dipakai. Giddens dalam The Nation-State and Violence mengemukakan, negara adalah entitas yang selalu memonopoli means of violence and instrument of surveillance dalam batas-batas yang pasti. Maka dari itu, negara bangsa oleh Giddens dilihat sebagai sebuah kontainer kekuasaan dengan batas-batas yang pasti.
Oleh karena itu, penambahan kekuatan militer di sebuah wilayah selalu bermakna untuk menumbuhkan kegentaran terhadap pihak-pihak yang dicurigai sebagai musuh. Tentu tujuannya adalah untuk mempertahankan batas kedaulatan (borders of sovereignity).
Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua selalu berimpitan dengan tujuan untuk mempertahankan batas-batas kedaulatan itu. Pada gilirannya, negara yang selalu merasa batas kedaulatannya terancam mudah terjerumus ke dalam siklus kekerasan dan pelanggaran HAM.
Siklus itu kian tahun kian membesar akibat selalu ada perasaan batas kedaulatan Indonesia di Papua berada dalam ancaman. Dari dalam siklus kekerasan itu negara akhirnya menciptakan musuh-musuh di dalam dirinya sendiri. Buahnya adalah awetnya stigmatisasi ”separatis” terhadap rakyat di Papua.
Sayangnya, setelah reformasi politik berjalan 10 tahun dan otonomi khusus diundangkan selama delapan tahun, stigmatisasi ”separatis” itu tidak berkurang, malah kian menguat. Gejala menguatnya stigma separatis itu adalah kerapnya terjadi penangkapan atau tuduhan-tuduhan oleh polisi atau TNI terhadap orang-orang yang mempertanyakan terjadinya berbagai bentuk ketidakadilan di Papua.
Dapat dikatakan, satu-satunya provinsi yang pengadilan-pengadilan (negeri)-nya masih memakai tuduhan pasal-pasal makar kepada setiap orang yang melakukan demonstrasi terbuka adalah Papua. Pasal makar itu dipakai karena para demonstran di Papua kerap meneriakkan yel-yel ”merdeka” atau membawa spanduk dengan gambar bintang kejora.
Ditilik dari perkembangan siklus kekerasan dan penggunaan tuduhan-tuduhan pasal makar serta penghasutan di depan umum, untuk membungkam demonstrasi yang mempertanyakan agenda-agenda keadilan, dapat dikatakan bahwa tidak ada yang baru dari kondisi HAM di Papua. Karena tidak ada yang baru itulah, kondisi HAM di Papua kerap menarik komunitas pemerhati HAM nasional dan internasional.
Sepanjang tahun 2008-2009, di forum internasional, seperti Dewan HAM PBB, komite-komite HAM di PBB, dan Parlemen Eropa, telah menerima hampir 20 laporan tentang kondisi HAM di Papua dari Human Rights Watch, Amnesty International, serta pelapor khusus PBB.
Proposal LIPI
Untuk memutus siklus kekerasan dan pelanggaran HAM serta meruntuhkan tembok stigmatisasi ”separatis” di Papua, Tim Papua LIPI, melalui buku Papua Roadmap (2009), mengusulkan empat agenda besar. Pertama, menghilangkan sikap diskriminatif dan menghapus kebijakan-kebijakan yang memarjinalisasikan orang asli Papua. Kedua, menciptakan proses pembangunan yang menjamin terpenuhinya hak-hak dasar orang Papua, seperti pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik lainnya.
Ketiga, membangun dialog yang setara antara Papua dan pemerintah pusat untuk menumbuhkan sikap saling percaya dalam melihat masa lalu dan menatap masa depan. Keempat, mengungkapkan kebenaran dan mengakui kesalahan atas terjadinya rangkaian kekerasan pada masa lalu demi terciptanya rekonsiliasi.
Melihat perkembangan situasi hak asasi manusia, baik dalam konteks pemenuhan hak sipil dan politik maupun hak sosial, ekonomi, dan budaya, proposal LIPI ini pantas untuk dipertimbangkan oleh pemerintah pusat maupun oleh tokoh-tokoh Papua. Meski formulasi proposal LIPI tersebut bukan sesuatu yang mudah, hal ini merupakan satu tawaran yang rasional untuk sekarang ini.
Ada dua alasan jalan itu perlu ditempuh. Pertama, segala bentuk agenda pembangunan di Papua tidak akan bisa berhasil baik selama sikap saling tidak percaya (konflik) masih berkecamuk dalam melihat masa lalu dan masa depan Papua.
Artinya, setiap langkah pembangunan pasti akan ditunda oleh pemerintah karena khawatir hasil pembangunan itu akan memberikan keuntungan kepada kelompok separatis. Sementara dari pihak-pihak di Papua, setiap langkah pembangunan dari pemerintah pusat akan dilihat sebagai upaya untuk memarjinalisasi orang Papua. Tidak berhasilnya otonomi khusus dalam menjawab masalah HAM di Papua dalam delapan tahun ini adalah akibat terperangkap dalam situasi politik seperti ini.
Kedua, segala upaya membangun politik yang demokratis di Papua tidak akan berhasil baik tanpa memberikan ruang yang lebih luas kepada rakyat di Papua untuk berpartisipasi. Artinya, selama partisipasi politik, ekonomi, dan budaya masih dilihat sebagai ancaman oleh negara, selama itu pula ketidaknyamanan terhadap jalannya pemerintahan terjadi. Maka, dialog dan rekonsiliasi adalah sarana untuk memperluas ruang partisipasi.
Beri ruang berekspresi
Berangkat dari empat agenda dengan dua alasan di atas, jika dijalankan, negara tidak perlu lagi merasa terancam di Papua. Sebab, negara itu akan menjelma menjadi organisme yang hidup dan menghidupi di Papua.
Dengan kata lain, kepapuaan tidak lagi terasing dalam Indonesia, sebaliknya Indonesia juga tidak lagi mengasingkan kepapuaan. Keindonesiaan akan mewujud dengan segala mimpi Papua tentang masa depan. Dengan begitu, keindonesiaan di Papua tidak lagi kaku sebagaimana selama ini diwakili oleh pos tentara/polisi.
Dalam perspektif hak sosial, ekonomi, dan budaya, keindonesiaan menjelma menjadi infrastruktur dan pelayanan publik yang berkualitas, fasilitas pendidikan yang baik dan terjangkau, serta instalasi kesehatan dan obat yang menjangkau serta terjangkau oleh rakyat Papua.
Sementara dari sisi hak sipil dan politik, keindonesiaan menjelma menjadi ruang bebas berekspresi bagi rakyat Papua. Ruang itu menghilangkan diskriminasi, intimidasi, penyiksaan, dan aksi kekerasan dalam segala bentuknya.
Tantangan terbesar dalam memajukan HAM di Papua sekarang ini adalah menghilangkan pola pikir yang membenarkan tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM untuk menjaga keutuhan batas-batas kedaulatan Indonesia. Padahal, sejarah dunia banyak yang menunjukkan, negara yang terlalu menggunakan kekerasan dalam menjaga keutuhan wilayahnya lebih banyak kehilangan wilayahnya.
Agar pemerintah tidak terus berkubang dalam lumpur pelanggaran HAM di Papua, langkah-langkah dialog mendesak untuk disusun. Jika langkah disiapkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan kabinet barunya ini akan mengukir sejarah baru karena berhasil mengurai kebuntuan jalan politik di Papua. Semoga!
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/17/03165267/papua.ham.dan.negara.y
Amiruddin al Rahab Ketua Pokja Papua dan Senior di ELSAM Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya