Oleh: Khudori
Hajatan besar penyelamatan bumi dilakukan di penghujung tahun ini. Konferensi PBB tentang perubahan iklim, United Nations Framework Conventions on Climate Change (UNFCCC), digelar di Kopenhagen, Denmark, 7–18 Desember 2009.
Peserta pertemuan yaitu para pihak ke-15 (COP-15) tampak tidak terlampau optimistis forum ini akan mencapai kesepakatan pengurangan emisi karbon dan gas rumah kaca (GRK), biang penyebab perubahan iklim dan pemanasan global. Bahkan, dikhawatirkan terjadi deadlock. Setidaknya ada dua alasan yang meredupkan optimisme pencapaian kesepakatan. Pertama, krisis ekonomi global membuat beberapa negara, seperti India, Brasil, China, dan beberapa negara di Eropa Barat,sibuk pada isu-isu ekonomi, baik regional maupun global. Kedua, target dan prosedur penurunan emisi karbon masingmasing negara tidak jelas. Negara maju dan berkembang masih saling tuding sebagai biang emiter.
Rangkaian pertemuan pendahuluan yang melelahkan juga belum membuahkan hasil signifikan. Ujung akhir dari kondisi ini, keadilan iklim (climate justice) yang dituntut negara-negara miskin dan berkembang tampaknya akan mentah.Sebaliknya,jual-beli karbon tampaknya akan mendominasi diskusi di Kopenhagen. Seperti tata ekonomi global, sampai hari ini iklim dunia masih jauh dari keadilan. Negara-negara industri kaya di Utara adalah emiter karbon dan GRK nomor wahid. Selama bertahun-tahun mereka menggerakkan industri dengan energi fosil yang boros dan kotor sehingga bisa mencapai kemakmuran seperti sekarang.
Kini, setelah bumi makin panas, iklim kacau, badai kian mengganas, es di kutub mencair, air laut naik, dan ribuan plasma nutfah musnah, mereka menuntut seluruh manusia di dunia peduli dan empati pada nasib dan masa depan bumi. Seperti pahlawan kesiangan, negara-negara maju menuntut negara berkembang, terutama China dan India, untuk memikul ”dosa lingkungan”mereka di masa lalu secara bersama- sama. Negara-negara maju tak peduli dengan prinsip ”tanggung jawab bersama yang dibedakan”, prinsip yang diadopsi Konvensi Perubahan Iklim.
Bagi mereka berlaku amsal: saat ini bumi ibarat pesawat terbang yang mau meledak. Jika pesawat meledak, baik penumpang dari negara kaya maupun dari negara miskin, sama-sama tidak selamat. Amsal ini menyesatkan. Bumi bukan pesawat terbang.Kecelakaan pesawat bisa dikalkulasi bahkan dihindari. Jika pun meledak, bisabisa hanya penumpang dari negara kaya yang selamat karena mereka telah menyiapkan parasut.Sedangkan masa depan bumi meskipun sudah banyak diteliti, tidak sepenuhnya bisa diprediksi secara pasti. Lagi pula,beban pemanasan global (global warming) tidak dibagi secara merata.Rakyat miskin dan negara-negara miskin paling banyak menanggung kerugian karena rendahnya daya adaptasi mereka dan karena ketergantungan kehidupan mereka pada kondisi cuaca.
*** Tuntutan keadilan iklim dunia tidak bisa ditawar-tawar. Masalahnya, para pemutus kebijakan dunia selalu terjebak pada hukum dagang, jual-beli, dan untung-rugi. Misal, energi terbarukan tidak berkembang karena harus bersaing dengan energi fossil fuel yang terdistorsi. Energi bahan bakar fosil mencemarkan tetapi biaya pencemaran ini tidak masuk harga energinya dan dibebankan pada seluruh masyarakat, baik kaya maupun miskin, baik yang memakai maupun yang tidak memakai energi fossil fuel.
Jika pencemaran udara membuat kematian bayi karena infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), naiknya jumlah penderita sesak napas karena membayar ongkos perawatan tinggi,mengubah iklim, menaikkan suhu dan menaikkan permukaan laut, semua biaya ini tidak terbebankan pada harga fossil fuel.Sebaliknya,untuk energi terbarukan yang tak menimbulkan pencemaran dan segala penyakit di atas,segala manfaat bebas pencemaran tidak masuk harga. Jadi, dari sudut kepentingan warga, biaya energi fossil fuel dihitung terlalu rendah sedangkan manfaat energi terbarukan dinilai terlalu rendah. Distorsi harga keduanya harus dikoreksi. Distorsi harga terjadi karena manfaat bebas dari pencemaran tidak bisa dipasarkan (non-marketable) dan tak mudah dikenali (intangible). Untuk memasarkan, para ekonom menawarkan solusi.
Maka, muncul konsep clean development mechanism (CDM).CDM dirancang sebagai bentuk investasi berbasis pasar dengan sertifikat penurunan emisi (certified emission reduction/CER) sebagai komoditasnya. Negara-negara industri bisa membeli sertifikat dari negara berkembang via proyek ramah lingkungan. Diperkirakan, jumlah dana CDM mencapai USD50 miliar. Banyak negara miskin ngiler dan tidak lagi menuntut keadilan iklim. Penyelamatan bumi akhirnya terjebak pada jual-beli karbon. Seperti tertuang pada Protokol Kyoto, negara-negara industri yang masuk Annex-I wajib menurunkan emisinya 5,2% dari tingkat emisi 1990 pada 2008–2012.
Lewat CDM, negara-negara industri bisa bebas menyemburkan emisi karbonnya. Lewat CDM, mereka tidak akan perlu mengubah gaya hidup yang boros dan rakus. Di sisi lain,negara miskin penerima dana CDM diwajibkan menjaga hutan. Hutan menjadi wilayah keramat dan dilarang dijamah siapa pun,termasuk masyarakat adat yang hidup di sekitar dan di dalam hutan, yang telah selama ratusan tahun secara turun-temurun memanfaatkan sumber daya hutan untuk penghidupan. Lewat CDM,terjadilah pengusiran warga adat besar-besaran.
*** Naga-naganya,mekanisme baru yang hendak dibangun pasca- Protokol Kyoto (2012) di Kopenhagen masih bernafaskan dagang karbon (carbon sinks).Padahal untuk menuju Kopenhagen, para pihak memiliki modal Peta Jalan Bali (Bali Road Map) yang diputuskan dalam COP-13 di Bali,Desember 2007. Pertama, mengakui bumi butuh pengurangan emisi secara dramatis (tanpa menyebut besaran).Kedua,protokol baru harus selesai pada 2009 sehingga bisa diterapkan mulai 2012 saat Protokol Kyoto berakhir.Ketiga,negara maju wajib memotong emisi GRK sedangkan negara berkembang bersifat sukarela.
Keempat, negara maju membagi teknologi ramah lingkungan. Negara miskin dibantu menghadapi dampak perubahan iklim. Kelima, harus ada ”insentif positif” bagi negara berkembang yang mengurangi penebangan hutan. Jika dagang karbon mendominasi forum Kopenhagen, itu sama halnya memutar uang tanpa peduli potensi dampak yang mengerikan, termasuk deforestasi, kenaikan emisi,businessasusual dalam pola produksi dan konsumsi,dan pelanggaran hak-hak asasi masyarakat adat. Fakta ini menunjukkan, kalkulasi untung-rugi dalam bisnis telah mensubordinasi isu lingkungan dari pembangunan ekonomi.Isu lingkungan tidak pernah jadi arus utama dalam peradaban manusia, dengan akibat kita seakan secara sadar membangun ekonomi sambil di sisi lain menggali kubur bagi kematian sia-sia kita sendiri akibat dampak pembangunan ekonomi atas lingkungan.
Tanpa keadilan iklim berbagai upaya menekan emisi dan menyelamatkan bumi dari kehancuran hanya sia-sia.Keadilan iklim hanya bisa terwujud apabila negara-negara maju secara kesatria mengakui ”dosa” masa lalu dan secara terbuka mau memikul beban dosa tanpa perlu menyeret negara miskin.Momentum membuat sejarah baru di Kopenhagen ada di depan mata.Akankah terjadi sejarah?(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/289442/
Khudori
Pengamat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi
MEDIA KOMUNIKASI KOMUNITAS ALUMNI POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN.
Sabtu, 12 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Lowongan Kepala Afdeling
Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...
-
INCASI RAYA Group Kami perusahaan swasta nasional dengan areal 250.000 ha dengan alamat kantor pusat di Jl. Raya By Pass Km 6 Lubuk Begalung...
-
PT. Kirana Megatara ( subsidiary company of Triputra Group ) yang lokasi head office -nya berada di kawasan Lingkar Mega Kuningan, Jakart...
-
DIBUTUHKAN SEGERA ASISTEN WATER MANAGEMENT SYSTEM (WMS) Kualifikasi: Pria, Usia Maks 35 thn untuk yang sudah berpengalaman,...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya