Sabtu, 12 Desember 2009

Penegakan Hukum: Jika Rakyat Bersuara

Oleh: Abdul Munir Mulkhan


Dinamika kehidupan kebangsaan akhir-akhir ini tampak menampilkan suatu sosok unik yang cenderung menempatkan masyarakat sipil bersama rakyat pada satu posisi dengan partai, organisasi sosial-keagamaan bersama pejabat negara dan pemerintahan pada posisi yang lain.


Muncul gejala yang bisa disebut semacam pembangkangan rakyat dan masyarakat sipil terhadap pelaku atau institusi negara dan pemerintahan yang juga dihadapi oleh partai dan organisasi sosial-keagamaan. Gejala ini kemudian mendorong banyak pihak mulai memperhitungkan suara rakyat walaupun sering terlambat, seperti reaksi partai berkuasa yang terkesan buru-buru memberi sumbangan separo pada vonis ganti rugi yang harus dibayar Prita Mulyasari kepada RS Omni Internasional.

Jihad melawan korupsi yang dicanangkan Presiden dalam Pidato menyambut Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember 2009, pada malam sebelumnya, seolah merupakan jurus akhir yang diharapkan bisa menepis keraguan publik rakyat terhadap kesungguhan pemerintah dalam memberantas korupsi. Presiden bahkan menyatakan akan memimpin sendiri gerakan jihad melawan korupsi tersebut. Akankah rakyat memilih Sang Presiden memimpin seperti kemenangannya dalam Pemilu Presiden beberapa bulan yang lalu? Jawabannya sangat ditentukan bukan sekedar citra media,tetapi aksi nyata yang antara lain ditunjukkan dengan reformasi birokrasi pemerintahan khususnya pada lembaga penegakan hukum.

Gelombang aksi rakyat tersebut merupakan reaksi atas apa yang mereka alami dan mereka lihat dalam praktik kehidupan sehari- hari. Sementara lembagalembaga sosial dan politik, partai politik dan organisasi sosial-keagamaan, seolah ikut larut terbelenggu kekuasaan dengan kemewahan material yang membutakan mata hati untuk bisa dengan jernih melihat dan merasakan penderitaan rakyat.Wakil rakyat yang duduk di DPR,DPD,atau pun DPRD tampaknya lebih sibuk ngurusi kursi empuk yang baru direbut dan dibeli dengan suara rakyat melalui pasar Pemilu.

Pidato khusus Presiden tersebut seolah merespons gelombang aksi rakyat, bukan atas nama partai atau bukan atas nama organisasi sosial keagamaan, dalam melawan ketidakadilan dan praktik korupsi.Gelombang aksi itu terus mengalir membuncah pada acara memperingati Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember 2009 di berbagai kota di Tanah Air. Rasa tertekan akibat perlakuan aparat selama ini seolah memperoleh ruang ekspresi ketika kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah merebak bersamaan dengan tayangan penyadapan telepon Anggodo Widjaja yang seolah membuka apa yang selama ini beredar terbatas di relung-relung penderitaan pencari keadilan.

*** Keraguan rakyat atas kesungguhan pemerintah memberantas mafia peradilan dan korupsi seolah bertumpuk berkelindan dengan nasib rakyat kecil di depan penegak hukum negeri ini. Secara lugas rekaman penyadapan itu melukiskan bagaimana sebuah perkara direkayasa di mana pelaku kriminal menjadi karib aparat,pejabat bersih dikriminalisasi. Ibu rumah tangga, Prita Mulyasari, yang mencari keadilan harus menghadapi kerasnya hukum tanpa kompromi ketika ngomeli pelayanan rumah sakit yang menjadi langganan pejabat. Nasib serupa dialami mbok Minah di Banyumas, buruh tani di Kediri, petani di Batang,seorang kakek di Sleman,dan ribuan rakyat kecil di berbagai wilayah negeri ini.

Sementara triliunan rupiah digelontorkan pemerintah untuk menalangi bankir-bankir jahat yang kaya yang nyaris bangkrut, rakyat kecil kedinginan dan kelaparan karena tidak bisa membeli makanan dan pakaian. Secara paradoks seperti berita dari neraka ketika wakil rakyat dan pejabat negeri baru tengah menikmati merayakan kemenangan duduk di singgasana kekuasaan, rakyat ramai-ramai turun jalan menuntut pejabat publik memenuhi tugasnya sebagai pelayan rakyat.

Gejala unik sekaligus rumit ini mengiringi kemenangan telak Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pemilu Presiden dan posisi partainya Partai Demokrat yang berada di atas angin mengalahkan Golkar dan PDIP. Seolah tak lagi percaya pejabat penegak hukum dalam pemerintahan yang baru dibentuk, rakyat terus melakukan perlawanan terhadap perlakuan atas pimpinan KPK, Chandra dan Bibit, menghadapi proses hukum di kepolisian dan kejaksaan. Berbagai cara dilakukan rakyat untuk menunjukkan sikap seolah membangkang pada perilaku aparat.

Kita bisa membaca bagaimana rakyat menggalang dukungan untuk Bibit dan Candra melalui Facebook yang waktu itu mampu mengumpulkan lebih dari satu juta Facebooker. Cara unik juga dilakukan untuk memberi dukungan kepada ibu rumah tangga, Prita Mulyasari, yang dikenai vonis keharusan membayar ganti rugi Rp204 juta kepada RS Omni Internasional melalui pengumpulan koin. Bukan berapa besarnya jumlah rupiah yang bisa dikumpulkan, tetapi kebangkitan rakyat kecil dalam melawan penegakan hukum yang tidak didasari rasa keadilan dengan dalih legalitas formil prosedur hukum.

Protes dan pembangkangan rakyat kecil dalam gonjang-ganjing penegakan hukum negeri ini justru merebak saat wakil rakyat seperti beku membisu membela kepentingan rakyat yang memilihnya. Jalinan hubungan rakyat dan wakilnya seolah terputus begitu pemilu usai.Namun ketika semua saluran seolah mampat demikian itulah rakyat menunjukkan jati dirinya sehingga aksi-aksi yang mereka lakukan tampak mulai membuat petinggi negeri khawatir. Fraksi partai berkuasa pun buru-buru memberi bantuan separo dari vonis denda yang harus dibayar Prita Mulyasari.

*** Dinamika politik negeri ini seolah pusaran labirin tanpa ujung ke mana nanti akan berakhir.Tahun ini diakhiri maraknya keraguan rakyat atas peran negara melindungi kepentingan warganya ketika pelaku fungsi negara lebih mementingkan diri sendiri dan kelompoknya dengan dalih prosedur legal. Sementara penegak hukum secara vulgar menjalankan fungsi tanpa nurani kemanusiaan dan nurani keadilan. Rakyat begitu muak melihat tontonan ketoprak berlakon negara adigang-adigung-adiguna (Jawa: arogan) yang tidak lagi peduli rakyat yang semestinya dilayani.

Dalam situasi demikian itu, rakyat memiliki cara sendiri melawan ketidakadilan dan kesewenang- wenangan lembaga negara dengan segala turunannya seperti melalui pengumpulan koin. Elite negeri ini mungkin mulai miris ketika protes melalui koin itu menjadi magnet kaum papa melawan keangkaraan.Tukang becak, buruh, pengamen, anak-anak TK dan murid sekolah menunjukkan identitas dirinya melawan kecongkakan lembaga hukum negeri yang katanya ibu pertiwi ini.

Di saat kritis, pemimpin keagamaan yang hanya menghimbau rakyat kebanyakan meningkatkan iman, berzikir dan berdoa menghadapi kerasnya hidup berbangsa dan bernegara akan semakin ditinggalkan rakyat. Himbauan demikian tentu bukanlah sikap yang salah, tapi yang diperlukan rakyat banyak itu lebih dari sekedar himbauan kuatnya iman, banyaknya doa dan zikir, bagaimana mengatasi kesulitan hidup yang semakin membelit ketika pelaku-pelaku negara semakin tidak manusiawi.

Rakyat itu berbisik dalam hati, ”Kapan elite politik dan negeri, pemimpin agama yang konon mewakili Tuhan yang Maha Kuasa itu memihak mereka, melepaskan rakyat dan kaum proletar terbebas dari derita hidup bernegara dan berbangsa?”Mereka hanya berani berbisik dan bergumam dalam perutnya sendiri karena khawatir didengar kuping-kuping negara dan penegak hukum yang bakal menjerat mereka dalam lingkaran setan peradilan yang hanya terbuka bagi orang-orang berduit atau ketika suara rakyat secara bulat melakukan perlawanan. Esok hari kehidupan negeri ini mungkin sedang berada di lorong labirin tanpa ujung.

Dunia telah berubah, rakyat mulai menunjukkan jati diri dan kekuatannya yang secara kebetulan menjadi ruh baru pers yang layak jual. Lembaga penegak hukum dan pelaku negara mulai berhadapan dengan suara rakyat, ketika Tuhan juga menunjukkan diri hadir mungkin melalui media pers.

”Suara rakyat adalah suara Tuhan”mulai hadir dalam kehidupan sehari-hari warga negeri ini.Akankah pemimpin negeri tergerak hati,akankah wakil Tuhan dan malaikat-Nya turun ke bumi atau setan-setan yang tak pernah mati itu semakin bergigi? Semua pertanyaan itu mungkin akan jelas di esok hari jika waktu masih tersisa.(*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/289654/



Abdul Munir Mulkhan
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Anggota Komnas HAM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...