Senin, 14 Desember 2009

Catatan atas Artikel Khudori: Lekuk-liku Politik Agraria

Oleh: Usep Setiawan



Artikel Khudori, Masa Depan Pembaruan Agraria (Kompas, 23/9) telah "memindahkan" beberapa kalimat yang ditulis Erpan Faryadi (Sekjen KPA) dalam makalah Masa Depan Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Indonesia, yang disajikan dalam seminar 30 Juli 2003 di Jakarta. Bahkan Khudori telah "memindahkan" analisis dan rekomendasi yang dirumuskan Pokja Ornop PA-PSDA.

Beberapa bagian tulisan Khudori sama persis dengan yang tertuang dalam Kertas Posisi Pokja bertajuk Pertahankan dan Jalankan Mandat-mandat yang Terkandung dalam Tap MPR No IX/2001, tertanggal 27 Juli 2003. Kertas Posisi ini adalah rujukan Pokja dalam advokasi Sidang Tahunan MPR (Agustus 2003).

Kami menghargai Khudori dalam memublikasikan gagasan tentang pentingnya pembaruan agraria dengan mengacu dokumen yang telah dirumuskan individu/lembaga yang selama ini bekerja pada tema PA-PSDA. Namun, kami juga mengkritik Khudori yang tidak menyebut sumber tulisan. Akan lebih elok jika Khudori menyebutnya sebagaimana etika penulisan yang lazim.

Tulisan ini tidak bermaksud berpanjang lebar mengkritik kekhilafan Khudori, namun mengulas lekuk-liku dinamika perubahan kebijakan agraria yang mempengaruhi wajah politik agraria dewasa ini. Pada bagian akhir, penulis menawarkan arah pembaruan kebijakan agraria yang layak ditempuh.

Dinamika kebijakan

Sebagaimana telah ditulis banyak pihak-terakhir Prof Maria SW Soemardjono (Kompas, 24/9)-payung politis agenda Pembaruan Agraria telah dirumuskan dalam Tap MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA. Ketetapan ini memandatkan penataan ulang struktur penguasaan tanah, penyelesaian konflik, dan pemulihan ekosistem melalui pembaruan peraturan perundang-undangan.

Namun-berdasar hasil pemantauan Pokja Ornop PA- PSDA dalam dua ST MPR (2202-2003), kenyataannya Presiden dan DPR belum membuat langkah nyata yang komprehensif. Dalam progress report Presiden pada ST MPR 2002 dan 2003, implementasi Tap ini tidak dilaporkan.

Setelah didesak berbagai pihak, baru dalam Tap No VI/2002 tentang Rekomendasi pada ST 2002 dituangkan rekomendasi kepada Presiden untuk: "Menyiapkan penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengatur redistribusi dan pemanfaatan sumber daya alam, termasuk Bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta menyelesaikan berbagai konflik pemanfaatan sumber daya alam dan agraria yang timbul selama ini, sekaligus mengantisipasi konflik masa datang guna mencapai keadilan dan kepastian hukum sebagaimana telah ditetapkan dalam Tap IX/MPR/2001".

ST MPR 2003 kembali mengukuhkan keberadaan Tap MPR No IX/2001. Berdasar Tap MPR No I/2003 tentang hasil peninjauan materi dan status hukum ketetapan MPR/MPRS, Tap No IX/2001 termasuk kategori ketetapan yang masih "berlaku sampai adanya undang-undang", dan "...tetap berlaku sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam ketetapan tersebut" (Pasal 4 poin 11).

Lebih jelas lagi, Tap MPR No V/2003 tentang Saran kepada Presiden dan DPR, bagi pelaksanaan Reformasi Agraria, diantaranya menyarankan untuk "Menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan di bidang agraria secara proporsional dan adil, mulai dari persoalan hukum sampai implementasinya di lapangan dan bersama-sama DPR membahas Undang-Undang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang akan berfungsi sebagai UU Pokok".

Masih dalam Tap MPR No V/2003, antara lain menyarankan, "Membentuk lembaga atau institusi independen lain untuk menyusun kelembagaan dan mekanisme penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam guna menyelesaikan sengketa agraria dan sumber daya alam agar memenuhi rasa keadilan kelompok petani, nelayan, masyarakat adat, dan rakyat umumnya sehingga berbagai konflik dan kekerasan dapat dicegah dan ditanggulangi".

Dinamika kebijakan itu seyogianya memberi peluang kian lebar bagi persiapan pelaksanaan Pembaruan Agraria. Untuk itu, peluang ini harus ditangkap dengan menyiapkan aneka rumusan pembaruan kebijakan komprehensif dan basis sosial di tingkat rakyat secara lebih sistematis dan solid.

Kepungan RUU sektoral

Belum ada perubahan berarti dalam merealisasi perintah, penugasan, maupun saran MPR. Sebaliknya, yang berlangsung adalah (1) diteruskannya watak sektoralisme dalam mengurus tanah dan kekayaan alam melalui inisiatif penyusunan RUU sektoral; dan (2) terjadi pembiaran atas meningkatnya tindakan kekerasan aparat negara terhadap petani, nelayan, masyarakat adat, dan kaum miskin kota yang mengalami konflik agraria dengan badan usaha swasta maupun milik negara.

Pembaruan Agraria seharusnya menjadi prioritas utama pembangunan ekonomi dan sosial politik bangsa Indonesia. Tetapi, tantangan kolaborasi modal dan negara kian mengental yang ditandai penyusunan berbagai RUU sektoral. Gagasan awal sejumlah RUU ini didorong kepentingan kaum neo-liberal yang menghendaki privatisasi dan liberalisasi tanah dan kekayaan alam milik bangsa Indonesia guna kepentingan kapitalisme global. Sejumlah RUU kini tengah antre menunggu pembahasan dan pengesahan, seperti RUU Perkebunan, RUU Sumber Daya Air, RUU Sumber Daya Genetika, RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, RUU Pertambangan, RUU Perikanan, RUU Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan aneka rancangan perundang-undangan lainnya.

Selain secara substansi banyak mengandung kelemahan, proses penyusunan RUU ini tidak didasarkan konsep yang integratif. Pengajuan RUU sektoral yang baru juga dapat dikatakan melompati proses peninjauan kebijakan yang masih berlaku dan potensial melanggengkan sektoralisme dalam pengelolaan sumber daya alam. Yang diperlukan kini adalah pengkajian ulang peraturan perundang-undangan (kebijakan) yang ada sebagaimana secara tegas tertuang dalam Tap MPR No IX/2001, Pasal 6.

Jalan tengah

Bagaimana pun, ketetapan MPR yang diuraikan itu baru bersifat payung politik yang perlu dijabarkan ke dalam berbagai bentuk kebijakan nyata sehingga berdampak nyata pada perubahan di lapangan. Lahirnya berbagai UU yang seideal apa pun belum menjamin Pembaruan Agraria yang berpihak kepada rakyat dapat terlaksana. Inilah tantangan utamanya. Adanya kebijakan negara dan keterlibatan aktif rakyat memastikan keberhasilan pembaruan agraria. Inilah pembaruan agraria jalan tengah, seperti diperkenalkan Noer Fauzi (2001). Tampaknya "jalan tengah" yang paling mungkin ditempuh di Indonesia saat ini, yang mensyaratkan hubungan antara pemerintahan yang berpihak pada rakyat dengan rakyat yang berkesadaran serta berpartisipasi dalam Pembaruan Agraria.

Pembaruan Agraria Jalan Tengah merupakan sebuah proses berdimensi ganda: (i) perubahan pemerintahan, dari fungsi lama yang merupakan alat dari penguasa yang antirakyat, kembali ke fungsi asal, sebagai badan kekuasaan milik rakyat, yang karenanya wajib mengabdikan diri pada rakyat; dan (ii) membuka jalan bagi proses-proses pendidikan politik yang menemukan pengetahuan-pengetahuan baru melalui pengalaman nyata berpartisipasi dalam perubahan sebagai akibat keterbukaan yang dimungkinkan oleh pemerintahan bervisi baru (Fauzi, 2003).

Secara khusus, setelah memahami lekuk-liku politik agraria terkini kita perlu mengingatkan pengelola negara (Presiden dan DPR): Pertama, agar amanat Tap MPR No IX/2001, sebagaimana dikukuhkan oleh Tap MPR No VI/2002, Tap MPR No I/2003, dan Tap MPR No V/2003, segera dijalankan. Presiden dan DPR dalam waktu satu tahun (2003-2004) dituntut menyusun aneka peraturan pelaksanaan dari aneka ketetapan MPR, terutama terkait penyusunan peraturan payung, penataan struktur agraria, penyelesaian konflik, dan pemulihan kerusakan ekosistem.

Kedua, agar bijaksana dalam menyempurnakan UUPA 1960. Penyempurnaan UUPA yang diamanatkan Keppres No 34/2003 harus dilakukan secara hati-hati. Para penyempurna UUPA hendaknya tetap menjaga semangat kerakyatan dari UUPA 1960 sambil menghindari intervensi/infiltrasi dari kekuatan kapitalisme asing maupun kapitalisme bangsa sendiri yang nyata-nyata piawai mengisap rakyat dan gemar mengeksploitasi kekayaan alam kita.

Ketiga, aktif melibatkan organisasi rakyat sejati dalam penyusunan langkah persiapan hingga pelaksanaan Pembaruan Agraria, termasuk dalam perumusan kebijakan. Keterlibatan rakyat secara kualitatif akan memperkuat basis legitimasi sosial dari pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan kekayaan alam. Pelibatan rakyat menjadi hal prinsip karena kepada mereka segala upaya pembaruan diabdikan.

Usep Setiawan Deputi Sekjen KPA dan Koordinator Pokja Ornop PA-PSDA

URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0310/14/opini/602976.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...