Oleh: Amaryoto dan M Syaifullah
Ketika pemerintah daerah berfoya-foya dengan sumber daya alam yang ada, pada saat yang sama mereka telah bunuh diri. Pemanfaatan yang seharusnya bijaksana telah dirusak kepentingan sesaat.
Perluasan kebun sawit di beberapa daerah, termasuk di Sumatera dan Kalimantan, pada satu sisi menguntungkan karena bisa meningkatkan ekspor. Namun, perluasan yang tidak terkendali telah merusak lingkungan.
Persoalan pertama yang muncul adalah adanya masalah dalam hal keanekaragaman hayati. Hingga kita belum mengetahui berbagai kekayaan dan manfaatnya, hutan telah raib berganti dengan kebun sawit yang mahaluas.
Masalah lain yang muncul dengan kelapa sawit adalah makin minimnya hutan yang berguna dalam siklus hidrologi. Air yang seharusnya tertahan di tanah karena keberadaan hutan dengan mudah mengalir ke sungai dan ke laut hingga memunculkan bencana banjir yang sangat merusak.
Perusakan hutan di Kalimantan dan Sumatera yang masih marak juga memunculkan krisis energi. Terjadi penurunan kemampuan pembangkit listrik tenaga air di sejumlah daerah akibat perusakan hutan tersebut. Aliran air yang minim pada musim kemarau sudah tak mampu lagi menggerakkan sejumlah pembangkit sehingga pasokan listrik berkurang.
Di Kalimantan, setelah hutan habis dibabat, sejumlah pejabat daerah memiliki andil besar ikut menguras habis-habisan sumber daya alam lainnya, yaitu batu bara. Sebagai contoh, Samarinda, ibu kota Provinsi Kalimantan Timur, tanahnya habis dikaplingkapling untuk pertambangan batu bara. Dari luas Samarinda 71.823 hektar, lebih dari separuhnya, 38.814 hektar, kini berupa areal pertambangan milik 34 perusahaan.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan, izin-izin pertambangan di Kaltim dikeluarkan seperti barang dagangan yang diobral. Dalam pernyataan Jatam, Samarinda hanyalah salah satu contoh di mana kepala daerah seperti raja-raja kecil yang tanpa kendali memberikan izin kuasa pertambangan.
Selama enam tahun terakhir, 1.180 izin kuasa pertambangan terbit di Kaltim dengan konsesi tambang 3,1 juta hektar. Izin kuasa pertambangan itu kebanyakan tidak dilaporkan ke provinsi, tetapi dibisniskan oleh kalangan tertentu.
Masalah ini juga terjadi di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Di Kalsel, dalam dua tahun terakhir ada 90 perusahaan yang minta izin pinjam pakai kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan. Setelah diseleksi tim verifikasi, yang serius cuma 31 kuasa pertambangan dan yang disetujui Menteri cuma beberapa kuasa pertambangan.
Khusus untuk Kaltim, perusahaan-perusahaan tambang bermasalah semestinya segera ditertibkan. Sebab, banyak yang tidak melaporkan rencana kelola lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan ke Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Kaltim.
Pengendalian lingkungan
Reformasi pengelolaan sumber daya alam yang sepatutnya dilakukan adalah pemerintah daerah mengutamakan pengendalian lingkungan. Pemikiran sesaat yang mengeksploitasi sumber daya alam hanya akan bermanfaat dalam jangka pendek. Pemerintah daerah memang dihadapkan pada situasi sulit karena pada saat bersamaan harus mendapatkan pemasukan.
Langkah yang relatif baik, misalnya, diambil Balikpapan, Bontang, dan Tarakan (Kaltim). Pemerintah setempat menolak penambangan batu bara di daerah mereka. Alasannya, mereka lebih mengedepankan lingkungan ketimbang mendapatkan uang dari perusakan alam itu. Kebijakan seperti ini tentunya patut diberi apresiasi.
Pengerukan batu bara di Kalimantan yang mencapai 200 juta ton per tahun sebenarnya sudah berlebihan. Namun, sebagian masyarakat Kalimantan kenyataannya masih miskin dan mengalami krisis listrik. Sebuah ironi!
Di Sumatera, meski pulau itu memiliki jutaan lahan sawit, kenyataannya kantong-kantong masyarakat miskin juga terdapat di perkebunan. Ini ironi yang lain di tengah harga minyak sawit mentah mengalami kenaikan di pasar dunia.
Menghidupkan kekayaan daerah lain berupa kebudayaan dan pariwisata bisa menyelamatkan dua kepentingan: kepentingan pemasukan pendapatan dan juga penyelamatan lingkungan. Kota Bandung bisa menjadi contoh kota yang digerakkan secara ekonomi oleh kreativitas warganya. Kota Jember yang ada di pedalaman Jawa Timur juga berhasil membangkitkan ekonomi melalui kreativitas warganya. Mereka tidak bergantung pada kekayaan alam.
Jika tak ada reformasi pengelolaan sumber daya alam, sebenarnya kita mewariskan masalah besar pada anak cucu kita. Tidak hanya krisis listrik, tetapi juga krisis air, krisis pangan, dan krisis sumber daya alam lainnya. Para pemimpin harus menyadari bahwa ”pesta pora” itu pasti akan berakhir. Mereka harus memikirkan anak cucu, bukan malah mewariskan hutan gundul, gurun pasir, konflik, kelaparan, dan berbagai krisis kepada anak cucu kita.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/28/04292621/pesta.kekayaan.alam.pa
Amaryoto dan M Syaifullah
Kompas
Ketika pemerintah daerah berfoya-foya dengan sumber daya alam yang ada, pada saat yang sama mereka telah bunuh diri. Pemanfaatan yang seharusnya bijaksana telah dirusak kepentingan sesaat.
Perluasan kebun sawit di beberapa daerah, termasuk di Sumatera dan Kalimantan, pada satu sisi menguntungkan karena bisa meningkatkan ekspor. Namun, perluasan yang tidak terkendali telah merusak lingkungan.
Persoalan pertama yang muncul adalah adanya masalah dalam hal keanekaragaman hayati. Hingga kita belum mengetahui berbagai kekayaan dan manfaatnya, hutan telah raib berganti dengan kebun sawit yang mahaluas.
Masalah lain yang muncul dengan kelapa sawit adalah makin minimnya hutan yang berguna dalam siklus hidrologi. Air yang seharusnya tertahan di tanah karena keberadaan hutan dengan mudah mengalir ke sungai dan ke laut hingga memunculkan bencana banjir yang sangat merusak.
Perusakan hutan di Kalimantan dan Sumatera yang masih marak juga memunculkan krisis energi. Terjadi penurunan kemampuan pembangkit listrik tenaga air di sejumlah daerah akibat perusakan hutan tersebut. Aliran air yang minim pada musim kemarau sudah tak mampu lagi menggerakkan sejumlah pembangkit sehingga pasokan listrik berkurang.
Di Kalimantan, setelah hutan habis dibabat, sejumlah pejabat daerah memiliki andil besar ikut menguras habis-habisan sumber daya alam lainnya, yaitu batu bara. Sebagai contoh, Samarinda, ibu kota Provinsi Kalimantan Timur, tanahnya habis dikaplingkapling untuk pertambangan batu bara. Dari luas Samarinda 71.823 hektar, lebih dari separuhnya, 38.814 hektar, kini berupa areal pertambangan milik 34 perusahaan.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan, izin-izin pertambangan di Kaltim dikeluarkan seperti barang dagangan yang diobral. Dalam pernyataan Jatam, Samarinda hanyalah salah satu contoh di mana kepala daerah seperti raja-raja kecil yang tanpa kendali memberikan izin kuasa pertambangan.
Selama enam tahun terakhir, 1.180 izin kuasa pertambangan terbit di Kaltim dengan konsesi tambang 3,1 juta hektar. Izin kuasa pertambangan itu kebanyakan tidak dilaporkan ke provinsi, tetapi dibisniskan oleh kalangan tertentu.
Masalah ini juga terjadi di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Di Kalsel, dalam dua tahun terakhir ada 90 perusahaan yang minta izin pinjam pakai kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan. Setelah diseleksi tim verifikasi, yang serius cuma 31 kuasa pertambangan dan yang disetujui Menteri cuma beberapa kuasa pertambangan.
Khusus untuk Kaltim, perusahaan-perusahaan tambang bermasalah semestinya segera ditertibkan. Sebab, banyak yang tidak melaporkan rencana kelola lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan ke Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Kaltim.
Pengendalian lingkungan
Reformasi pengelolaan sumber daya alam yang sepatutnya dilakukan adalah pemerintah daerah mengutamakan pengendalian lingkungan. Pemikiran sesaat yang mengeksploitasi sumber daya alam hanya akan bermanfaat dalam jangka pendek. Pemerintah daerah memang dihadapkan pada situasi sulit karena pada saat bersamaan harus mendapatkan pemasukan.
Langkah yang relatif baik, misalnya, diambil Balikpapan, Bontang, dan Tarakan (Kaltim). Pemerintah setempat menolak penambangan batu bara di daerah mereka. Alasannya, mereka lebih mengedepankan lingkungan ketimbang mendapatkan uang dari perusakan alam itu. Kebijakan seperti ini tentunya patut diberi apresiasi.
Pengerukan batu bara di Kalimantan yang mencapai 200 juta ton per tahun sebenarnya sudah berlebihan. Namun, sebagian masyarakat Kalimantan kenyataannya masih miskin dan mengalami krisis listrik. Sebuah ironi!
Di Sumatera, meski pulau itu memiliki jutaan lahan sawit, kenyataannya kantong-kantong masyarakat miskin juga terdapat di perkebunan. Ini ironi yang lain di tengah harga minyak sawit mentah mengalami kenaikan di pasar dunia.
Menghidupkan kekayaan daerah lain berupa kebudayaan dan pariwisata bisa menyelamatkan dua kepentingan: kepentingan pemasukan pendapatan dan juga penyelamatan lingkungan. Kota Bandung bisa menjadi contoh kota yang digerakkan secara ekonomi oleh kreativitas warganya. Kota Jember yang ada di pedalaman Jawa Timur juga berhasil membangkitkan ekonomi melalui kreativitas warganya. Mereka tidak bergantung pada kekayaan alam.
Jika tak ada reformasi pengelolaan sumber daya alam, sebenarnya kita mewariskan masalah besar pada anak cucu kita. Tidak hanya krisis listrik, tetapi juga krisis air, krisis pangan, dan krisis sumber daya alam lainnya. Para pemimpin harus menyadari bahwa ”pesta pora” itu pasti akan berakhir. Mereka harus memikirkan anak cucu, bukan malah mewariskan hutan gundul, gurun pasir, konflik, kelaparan, dan berbagai krisis kepada anak cucu kita.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/28/04292621/pesta.kekayaan.alam.pa
Amaryoto dan M Syaifullah
Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya