Senin, 07 Desember 2009

Century Gate: Ambiguitas Publik di Century

Oleh: Suwardiman



Kasus Bank Century menempatkan publik pada situasi penuh ambiguitas atau mendua. Di satu sisi, wacana cenderung menggiring masyarakat untuk meneriakkan kejelasan hukum.

Akan tetapi, di lain sisi, itu mempertinggi kekhawatiran akan kelangsungan pemerintahan. Mayoritas publik mendukung upaya membongkar skandal yang diduga menyeret sejumlah pejabat tinggi negeri ini, tetapi tensi politik yang meningkat dikhawatirkan akan mengguncang stabilitas politik di negeri ini.

Publik mengharapkan gerakan yang lebih aktif, baik secara hukum maupun politik, untuk mengungkap kasus Century. Nyaris semua responden (96,7 persen) menyatakan sikap setuju agar kasus ini diungkap tuntas. Sebagian publik juga memercayai adanya keterlibatan sejumlah elite, mulai dari pejabat di lingkaran partai politik hingga pejabat di lingkup pemerintahan.

Meski demikian, publik tidak mengharapkan pembongkaran kasus ini sampai membawa dampak lebih jauh pada guncangan terhadap stabilitas perpolitikan di negeri ini.

Kegamangan publik tampak mendominasi respons mereka atas skandal perbankan yang sangat kuat aroma politiknya itu. Pesan kuat yang ingin disampaikan publik adalah bahwa gonjang-ganjing politik sebagai imbas terseretnya sejumlah nama pejabat negara dan partai penguasa dalam kasus ini tidak perlu berimbas pada risiko pergantian kekuasaan. Harapan publik pada stabilitas politik dan ekonomi di negeri ini tampak masih menjadi prioritas yang harus diperjuangkan oleh semua kelompok.

Demikian kesimpulan dari hasil jajak pendapat Kompas yang menjaring 769 responden di 10 kota di Indonesia. Perhatian publik terhadap isu ini tampak dari minat publik mengikuti pemberitaan tentang perkembangan penyelesaian kasus Bank Century. Hampir 70 persen responden menyatakan kasus ini adalah isu yang paling sering mereka simak melalui berbagai media selama seminggu terakhir. Masifnya pemberitaan soal kasus ini, secara langsung atau tidak langsung, akan berimbas pada pembentukan opini publik.

Meski pengungkapan kasus menjadi agenda yang dituntut, publik tampak apatis pada sistem penegakan hukum di negeri ini. Mereka ragu lembaga penegak hukum akan mampu mengungkap kasus ini. Lebih dari 60 persen responden mengungkapkan kesangsian mereka, baik terhadap kepolisian maupun kejaksaan.

Drama politik

Apatisme publik semacam ini boleh jadi sebagai imbas dari drama politik yang dipertontonkan secara terbuka dalam kasus konflik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian belum lama ini. Kisruh antarlembaga penegak hukum itu menunjukkan rapuhnya sistem penegakan hukum di negeri ini. Apalagi sikap abu-abu penguasa tertinggi di negeri ini yang seolah membiarkan kasus ini berujung dalam simpul kompromi politik.

Meskipun demikian, tampaknya publik masih menaruh harapan besar pada KPK untuk dapat mengungkap jika terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara terkait dengan kasus ini. Sedikitnya hal tersebut disuarakan oleh 65,4 persen responden dalam jajak pendapat ini.

Hak angket

Skandal Century bermula dari kasus kalah kliring bank itu pada bulan November 2008. Akibatnya, terjadi penarikan uang secara besar-besaran. Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan perkembangan Bank Century kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menghadiri KTT G-20 di Washington, Amerika Serikat. Seminggu kemudian, Bank Indonesia menetapkan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik.

Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang diketuai Menteri Keuangan memutuskan, pemerintah mengambil alih Bank Century melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Selama periode 23 November 2008 hingga 21 Juli 2009, LPS mengucurkan dana sejumlah Rp 6,7 triliun dalam empat tahap. Kucuran dana-dana ini pada akhirnya menyiratkan ketidakwajaran yang berujung pada munculnya dugaan keterlibatan sejumlah pejabat tinggi negara dan orang-orang dekat presiden. DPR pun berinisiatif menggalang dukungan penggunaan hak angket.

Sepanjang sejarah parlemen di negeri ini, penggunaan hak angket DPR untuk kasus Bank Century menjadi penggalangan yang mendapat dukungan paling besar dari DPR. Pada awalnya, usulan hak angket didukung oleh 139 anggota DPR dari delapan fraksi. Sementara tidak ada satu anggota pun dari 148 anggota DPR Fraksi Partai Demokrat yang menyatakan dukungan pada usulan hak angket.

Namun, sehari sebelum Sidang Paripurna DPR untuk membahas hak angket, Senin (30/11), nyaris semua anggota Fraksi Partai Demokrat (144 dari 148 anggota) menyatakan dukungan mereka pada usulan hak angket. Sidang paripurna pun secara aklamasi menyetujui penggunaan hak angket, Selasa (1/12). Anggota DPR yang menandatangani usul hak angket mencapai 503 dari 560 anggota DPR.

Hak angket menjadi begitu penting secara politik karena inilah salah satu kewenangan legislatif dalam mengontrol kebijakan yang dibuat pemerintah. Seperti disebutkan dalam penjelasan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003, hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Buka tabir

Gerakan politik dari para Wakil Rakyat ini seolah membuka tabir misteri aliran dana talangan dalam proses penyelamatan Bank Century. Namun, lagi-lagi pesimisme publik sangat kuat jika dihadapkan pada logika politik yang sering kali sulit dicerna jika terkait isu-isu yang melibatkan elite-elite politik di negeri ini.

Sepanjang pemerintahan Yudhoyono sebelumnya, misalnya, sedikitnya DPR delapan kali mengusulkan hak angket. Dari delapan usulan itu, hanya dua usul hak angket yang diterima dalam rapat paripurna. Itu pun publik masih dibayangi oleh ketidakjelasan soal implikasi dan tindak lanjut dari penggunaan hak angket tersebut.

Menyikapi ini, kelompok yang disebut-sebut terseret dalam kasus ini pun menyambutnya dengan klarifikasi berupa argumen balik untuk melawan tudingan itu. Presiden Yudhoyono, misalnya, dalam berbagai kesempatan menolak tudingan soal mengalirnya dana Century kepada tim suksesnya dalam pemilu presiden yang lalu.

Bagaimanapun, bola panas kasus ini sekarang berada di wilayah politik Senayan. Logika hukum lagi-lagi akan berhadapan dengan logika politik, yang berdasarkan pengalaman lebih sering berakhir pada solusi kompromi.

Meragukan

Publik tampak masih meragukan kesungguhan lembaga DPR dalam membongkar habis kasus ini. Nuansa kegamangan tampak dari respons publik yang terbagi pada dua kutub yang berseberangan. Separuh responden menyuarakan keraguan mereka bahwa DPR lewat hak angket akan mampu menjadi salah satu jembatan untuk membongkar kasus ini. Separuh lainnya menyuarakan pendapat sebaliknya.

Keraguan publik bermuara pada kemungkinan beragamnya motif dukungan dari tiap-tiap anggota Dewan.

Tidak banyak responden yang menaruh keyakinan bahwa anggota Dewan yang mereka pilih pada pemilu lalu akan benar-benar mewakili suara masyarakat. Hanya sekitar 36 persen responden yang menyuarakan keyakinan mereka.

Melihat peta kekuatan parlemen saat ini, dalam logika politik sulit membayangkan pembongkaran kasus Century akan berjalan mulus. Bagaimanapun, komposisi elite partai yang duduk di DPR-lah yang pada akhirnya berperan besar dalam pengambilan keputusan politik. Sejauh ini, komposisi anggota DPR didominasi oleh partai penguasa.

Hanya menunggu

Pada akhirnya, publik hanya bisa menunggu ujung dari semua ini, apakah lembaga hukum dan lembaga legislatif akan membuat kasus ini menjadi jelas atau sebaliknya, lebih kabur.

Apakah motif sebenarnya dari pengungkapan ini terletak pada penuntasan kasus hukum atau pada agenda politik yang dikhawatirkan publik.

(LITBANG KOMPAS)

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/07/03183581/ambiguitas.publik.di..

Suwardiman
Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...