Kamis, 17 Desember 2009

Mendengar Kembali Suara Papua

Oleh: B Josie Susilo Hardianto


Ketika Pater Yohanes Jonga menerima anugerah Yap Thiam Hien, sebuah penghargaan kepada pejuang hak asasi manusia, rasa bangga menyeruak. Pater Yohanes Jonga, yang telah bekerja di Papua sejak tahun 1986, dikenal tidak hanya dalam karyanya sebagai imam pada gereja Katolik, tapi juga dalam karyanya mendampingi dan mengadvokasi masyarakat Papua yang dilanggar hak-hak dasarnya sebagai warga negara.

Ia tidak pernah surut memperjuangkan pemenuhan hak- hak masyarakat Papua, terutama mereka yang tinggal di perbatasan, meski untuk itu ia kerap dicap sebagai pastor OPM. Penghargaan yang diterimanya seolah menjadi peneguh bahwa perjuangan penegakan hak asasi manusia (HAM) di Papua terus diperhatikan oleh banyak pihak.

Namun, di sisi lain, hal itu juga menyisipkan rasa prihatin karena persoalan (baca: pelanggaran) HAM di Papua masih kerap terjadi. Tidak hanya dalam ranah sipil politik, tetapi juga dalam ranah ekonomi, sosial, dan budaya. Masih lekat dalam ingatan, pada tahun 1999 penghargaan yang sama juga dianugerahkan kepada Mama Yosepha Alomang, seorang tokoh perempuan Papua yang berjuang bagi eksistensi warga Papua yang tinggal di sekitar pusat eksplorasi PT Freeport Indonesia.

Ternyata, dalam waktu 10 tahun, persoalan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat Papua masih menjadi persoalan pelik. Stigma separatisme dan terbelakang yang dilekatkan kepada masyarakat Papua semakin mengentalkannya. Ketua Penyelenggara Yap Thiam Hien Award Todung Mulya Lubis mengatakan bahwa stigma separatisme yang dilekatkan kepada masyarakat Papua ternyata terus melahirkan pelanggaran-pelanggaran baru, terutama dalam ruang hak-hak asasi manusia.

Dalam laporan akhir tahun yang dibuat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia disebutkan, pelanggaran hak-hak sipil dan politik makin mengental di Papua. Memanasnya situasi politik di Papua direspons pemerintah dengan pendekatan represif.

Selain penangkapan, penahanan, dan kekerasan terhadap masyarakat Papua, Komnas HAM juga mencatat adanya kekerasan di penjara-penjara Papua. Terakhir adalah kasus pemukulan terhadap tahanan politik, Buchtar Tabuni, di penjara Abepura.

Nilai otsus

Lepas dari suasana politik yang melingkupi lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Papua, yaitu proses konsolidasi demokrasi, kehadiran kebijakan itu sempat memunculkan harapan.

Pada unsur menimbang dalam UU itu, pemerintah mengakui bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan. Tidak hanya itu, apa yang telah dilakukan pemerintah ternyata belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap HAM di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.

Pemerintah juga mengakui bahwa pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli. Kondisi ini telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua.

Setidaknya itulah yang membuat harapan masyarakat Papua bertumbuh. Hadirnya kebijakan itu sesungguhnya tidak saja dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan provinsi-provinsi lain di Indonesia dan taraf hidup masyarakat Papua. Lebih dari itu, kebijakan tersebut antara lain ditujukan dan dilandasi nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak dasar masyarakat Papua, HAM, hukum, demokrasi, serta persamaan kedudukan sebagai warga negara.

Pendek kata, kebijakan itu sesungguhnya disahkan untuk melindungi, memberdayakan, dan membangun keberpihakan terhadap masyarakat Papua. Tidak mengherankan jika pada isinya dicantumkan berbagai kebijakan afirmatif bagi masyarakat Papua.

Cedera

Namun, setelah hampir 10 tahun diundangkan, ternyata nilai-nilai dasar itu belum optimal terwujud. Bahkan, belum lagi isi kebijakan itu diimplementasikan, beberapa kebijakan baru dari Jakarta justru mencederainya. Ambil contoh kebijakan tentang pemekaran provinsi yang melahirkan Irian Jaya Barat tahun 2003 dan peraturan tentang lambang-lambang daerah tahun 2007.

Akibatnya, ada suasana psikologis yang—menurut Neles Tebay, dosen Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur, Abepura, Papua—menguatkan rasa tidak percaya masyarakat Papua terhadap pemerintah. Kekecewaan itu berimbas pula pada sikap masyarakat Papua terhadap UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua.

”Biarkan pemerintah lakukan apa yang mereka mau,” demikian ungkapan seorang warga Papua.

Dalam keterangan tertulisnya, Agustus lalu, Gubernur Papua Barnabas Suebu mengatakan, kebijakan itu tidak gagal. Namun, ia mengakui bahwa implementasi otsus belum berjalan dengan semestinya.

Hal itu antara lain disebabkan oleh pemahaman yang simpang siur antara sejumlah kalangan, baik di pusat maupun daerah, dan masyarakat. Selain itu, aturan-aturan pelaksanaan seperti peraturan daerah provinsi (perdasi) dan peraturan daerah khusus (perdasus) lambat dibuat.

Ia menyebutkan, dalam kurun waktu tahun 2004-2005, atau tiga tahun setelah otsus diundangkan, dihasilkan 12 perdasi dan selama tiga tahun masa terakhir telah dihasilkan 35 perdasi dan delapan perdasus.

Tentu saja, kelambatan itu berpengaruh pada optimalisasi implementasi otsus, apalagi persoalan itu diperkeruh dengan masih adanya persoalan kepercayaan sehingga muncul tarik-menarik kewenangan antara pusat dan daerah. Pada satu sisi, pemerintah pusat menganggap Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua tidak mampu, di sisi lain Pemprov Papua menganggap pemerintah pusat tidak berniat.

Tidak hanya itu, optimalisasi otsus juga terkendala dengan tata kelola pemerintahan yang belum siap. Akibatnya, terbuka ruang bagi penyalahgunaan dana otsus.

Upaya perbaikan

Melihat itu, Barnabas Suebu mengatakan, pihaknya saat ini tengah berupaya keras untuk memperbaikinya. Salah satunya melalui program Rencana Strategis Pembangunan Kampung. Diharapkan dengan program tersebut, dana otsus menyentuh rakyat di kampung-kampung.

Namun, diharapkan upaya itu tidak sekadar menjadi langkah-langkah formal dan birokratis. Sebab, hingga saat ini masyarakat Papua masih dihadapkan pada persoalan-persoalan dasar dan ancaman serius terkait eksistensi mereka di tanah mereka sendiri.

Kebijakan afirmatif bagi Papua, menurut Poengky Indarti—peneliti Imparsial—memang diperlukan. Namun, persoalan-persoalan seperti stigma dan diskriminasi memerlukan ruang penyelesaian yang lebih substantif. Akan menjadi lebih baik jika suara-suara masyarakat Papua kembali didengar dan diperhatikan, terutama terkait dengan hak-hak dasar dan perlakuan setara sebagai warga negara.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/17/03105573/mendengar.kembali.suar

B Josie Susilo Hardianto
Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...