Oleh: J Kristiadi
Kasus Bibit-Chandra dan Bank Century telah menimbulkan ironi politik pasca-Pemilu 2009. Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono lebih dari 60 persen dalam satu putaran, serta dukungan politik lebih dari 70 persen di DPR, tanpa disertai dengan ritual bulan madu politik sebagaimana lazimnya sebuah kemenangan yang spektakuler.
Selain itu, Pemilu 2009 yang berlangsung damai, yang semakin mengukuhkan Indonesia sebagai negara demokrasi berpenduduk ketiga terbesar di dunia, redup tanpa sinar. Bahkan, perhelatan National Summit untuk mempersiapkan agenda 100 hari tenggelam tidak mendapatkan gema dalam masyarakat.
Ironi itu terjadi karena limbah politik yang diproduksi oleh penguasa, yang secara terang benderang memanipulasi kekuasaan, telah mengoyak-ngoyak nurani keadilan rakyat, melalui rekayasa kasus mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penyalahgunaan kekuasaan telah menyuburkan produksi polusi yang mencemari kehidupan demokrasi.
Oleh sebab itu, pesan rakyat kepada para elite politik sangat jelas dan bernas: masa bodoh dengan program 100 hari, selesaikan dahulu kasus-kasus yang merupakan pucuk gunung es dari kesewenang-wenangan lembaga penegak hukum dan peradilan.
Rakyat semakin marah karena meskipun perilaku buruknya secara terang benderang telah terbongkar melalui pembicaraan rekaman dalam sidang Mahkamah Konstitusi, mereka tidak dengan rendah hati mengakui dan berjanji akan memperbaiki diri. Mereka justru melawan dengan arogan serta menuduh aksi-aksi demokratis masyarakat dan opini publik sebagai tirani opini.
Mereka juga tidak segan-segan melakukan demo tandingan yang justru semakin merontokkan kredibilitas mereka. Perilaku semacam itu sudah mengarah memonopoli kebenaran. Bahkan, mereka mulai berani melakukan tindakan subordinasi (melawan atasan) dengan ngotot ingin memaksakan kasus Bibit-Chandra di pengadilan.
Perilaku subordinatif tersebut sangat merugikan Presiden karena telah memicu analisis spekulatif dan dugaan-dugaan liar yang memberikan kesan seolah-olah Presiden menjadi bagian dari rekayasa kasus itu.
Namun, spekulasi tersebut mereda seiring dengan pernyataan Presiden dengan kalimat yang lunak tetapi mengandung ketegasan agar kasus itu diselesaikan di luar pengadilan karena kredibilitas lembaga tersebut kini sedang tidak dipercaya masyarakat.
Penataan lembaga
Namun, keprihatinan publik tidak menyurutkan rakyat melawan keangkaramurkaan. Perilaku koruptif dan arogan justru menimbulkan kobaran api semangat masyarakat agar lembaga-lembaga tersebut ditata secara komprehensif dan radikal.
Ibaratnya mumpung besi masih membara, bara api harus dipergunakan menempa institusi-institusi yang sudah karatan dan tumpul oleh rasa keadilan masyarakat agar otot dan tulang-tulang lembaga-lembaga tersebut semakin kukuh sebagai pilar kehidupan bangsa dan negara.
Momentum ini tidak boleh dibiarkan hilang, terutama untuk meneguhkan komitmen rezim reformasi dalam memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Semangat harus terus dikobarkan dengan menyapu bersih korupsi yang terjadi di lembaga-lembaga tersebut agar lebih efektif membersihkan kotoran di institusi-institusi lain.
Kesempatan ini harus merupakan awal dari suatu kebijakan yang lebih komprehensif dan konsepsional dalam membenahi institusi demokratis, khususnya penegak hukum dan peradilan. Dalam jangka panjang dan menengah, reformasi harus dilakukan, mulai dari perekrutan yang berdasarkan standar meritokratik dan profesional sampai perlunya jaminan kesejahteraan yang memadai.
Agar reformasi tidak hangat-hangat tahi ayam, seluruh kekuatan bangsa harus memberikan dukungan. Tidak perlu dalam bentuk people’s power. Cukup dengan memfokuskan dan memprioritaskan isu-isu penting dan sentral sebagai wacana publik secara terus-menerus.
Pengawasan sangat penting agar karya bangsa tidak disusupi, ditunggangi, atau dibajak para petualang pemburu kekuasaan yang dalam mencapai tujuannya tidak segan-segan menghalalkan segala cara.
Selain itu, gerakan reformasi juga harus tetap menjaga stabilitas dan kredibilitas pemerintahan yang demokratis sehingga tuntutan mundur terhadap Boediono dan Sri Mulyani Indrawati jangan menjadi komoditas politik murahan.
Mengingat misteri kasus Bank Century cukup pelik, antara lain kecurigaan mengalirnya dana ke rekening partai politik, sangat mendesak disusunnya regulasi yang dapat mengontrol secara ketat keuangan parpol, termasuk dana kampanye.
Empat hal
Agar reformasi berjalan secara konsisten, diperlukan empat langkah. Pertama, transparansi semua pihak dalam membenahi lembaga penegak hukum dan peradilan. Ampuhnya transparansi sudah terbukti melalui sidang Mahkamah Konstitusi yang mengungkap rekaman rekayasa kasus Bibit-Chandra.
Kedua, agar para pemimpin politik selalu bersedia mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan rakyat.
Ketiga, Polri agar lebih berkonsentrasi sebagai aparat pelayan publik, penegak hukum dan ketertiban masyarakat; disertai akuntabilitas politik yang jelas.
Keempat, dalam situasi darurat korupsi, KPK harus tetap kuat, tetapi mesti dilengkapi pula dengan instrumen yang dapat mengontrol lembaga tersebut agar tidak terjerumus ke dalam lubang yang sama. Integritas para komisioner harus sedemikian tinggi sehingga seseorang tidak berani membayangkan mereka berniat korupsi.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/01/03081910/mumpung.besi.masih.mem
J Kristiadi
Kompas
Kasus Bibit-Chandra dan Bank Century telah menimbulkan ironi politik pasca-Pemilu 2009. Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono lebih dari 60 persen dalam satu putaran, serta dukungan politik lebih dari 70 persen di DPR, tanpa disertai dengan ritual bulan madu politik sebagaimana lazimnya sebuah kemenangan yang spektakuler.
Selain itu, Pemilu 2009 yang berlangsung damai, yang semakin mengukuhkan Indonesia sebagai negara demokrasi berpenduduk ketiga terbesar di dunia, redup tanpa sinar. Bahkan, perhelatan National Summit untuk mempersiapkan agenda 100 hari tenggelam tidak mendapatkan gema dalam masyarakat.
Ironi itu terjadi karena limbah politik yang diproduksi oleh penguasa, yang secara terang benderang memanipulasi kekuasaan, telah mengoyak-ngoyak nurani keadilan rakyat, melalui rekayasa kasus mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penyalahgunaan kekuasaan telah menyuburkan produksi polusi yang mencemari kehidupan demokrasi.
Oleh sebab itu, pesan rakyat kepada para elite politik sangat jelas dan bernas: masa bodoh dengan program 100 hari, selesaikan dahulu kasus-kasus yang merupakan pucuk gunung es dari kesewenang-wenangan lembaga penegak hukum dan peradilan.
Rakyat semakin marah karena meskipun perilaku buruknya secara terang benderang telah terbongkar melalui pembicaraan rekaman dalam sidang Mahkamah Konstitusi, mereka tidak dengan rendah hati mengakui dan berjanji akan memperbaiki diri. Mereka justru melawan dengan arogan serta menuduh aksi-aksi demokratis masyarakat dan opini publik sebagai tirani opini.
Mereka juga tidak segan-segan melakukan demo tandingan yang justru semakin merontokkan kredibilitas mereka. Perilaku semacam itu sudah mengarah memonopoli kebenaran. Bahkan, mereka mulai berani melakukan tindakan subordinasi (melawan atasan) dengan ngotot ingin memaksakan kasus Bibit-Chandra di pengadilan.
Perilaku subordinatif tersebut sangat merugikan Presiden karena telah memicu analisis spekulatif dan dugaan-dugaan liar yang memberikan kesan seolah-olah Presiden menjadi bagian dari rekayasa kasus itu.
Namun, spekulasi tersebut mereda seiring dengan pernyataan Presiden dengan kalimat yang lunak tetapi mengandung ketegasan agar kasus itu diselesaikan di luar pengadilan karena kredibilitas lembaga tersebut kini sedang tidak dipercaya masyarakat.
Penataan lembaga
Namun, keprihatinan publik tidak menyurutkan rakyat melawan keangkaramurkaan. Perilaku koruptif dan arogan justru menimbulkan kobaran api semangat masyarakat agar lembaga-lembaga tersebut ditata secara komprehensif dan radikal.
Ibaratnya mumpung besi masih membara, bara api harus dipergunakan menempa institusi-institusi yang sudah karatan dan tumpul oleh rasa keadilan masyarakat agar otot dan tulang-tulang lembaga-lembaga tersebut semakin kukuh sebagai pilar kehidupan bangsa dan negara.
Momentum ini tidak boleh dibiarkan hilang, terutama untuk meneguhkan komitmen rezim reformasi dalam memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Semangat harus terus dikobarkan dengan menyapu bersih korupsi yang terjadi di lembaga-lembaga tersebut agar lebih efektif membersihkan kotoran di institusi-institusi lain.
Kesempatan ini harus merupakan awal dari suatu kebijakan yang lebih komprehensif dan konsepsional dalam membenahi institusi demokratis, khususnya penegak hukum dan peradilan. Dalam jangka panjang dan menengah, reformasi harus dilakukan, mulai dari perekrutan yang berdasarkan standar meritokratik dan profesional sampai perlunya jaminan kesejahteraan yang memadai.
Agar reformasi tidak hangat-hangat tahi ayam, seluruh kekuatan bangsa harus memberikan dukungan. Tidak perlu dalam bentuk people’s power. Cukup dengan memfokuskan dan memprioritaskan isu-isu penting dan sentral sebagai wacana publik secara terus-menerus.
Pengawasan sangat penting agar karya bangsa tidak disusupi, ditunggangi, atau dibajak para petualang pemburu kekuasaan yang dalam mencapai tujuannya tidak segan-segan menghalalkan segala cara.
Selain itu, gerakan reformasi juga harus tetap menjaga stabilitas dan kredibilitas pemerintahan yang demokratis sehingga tuntutan mundur terhadap Boediono dan Sri Mulyani Indrawati jangan menjadi komoditas politik murahan.
Mengingat misteri kasus Bank Century cukup pelik, antara lain kecurigaan mengalirnya dana ke rekening partai politik, sangat mendesak disusunnya regulasi yang dapat mengontrol secara ketat keuangan parpol, termasuk dana kampanye.
Empat hal
Agar reformasi berjalan secara konsisten, diperlukan empat langkah. Pertama, transparansi semua pihak dalam membenahi lembaga penegak hukum dan peradilan. Ampuhnya transparansi sudah terbukti melalui sidang Mahkamah Konstitusi yang mengungkap rekaman rekayasa kasus Bibit-Chandra.
Kedua, agar para pemimpin politik selalu bersedia mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan rakyat.
Ketiga, Polri agar lebih berkonsentrasi sebagai aparat pelayan publik, penegak hukum dan ketertiban masyarakat; disertai akuntabilitas politik yang jelas.
Keempat, dalam situasi darurat korupsi, KPK harus tetap kuat, tetapi mesti dilengkapi pula dengan instrumen yang dapat mengontrol lembaga tersebut agar tidak terjerumus ke dalam lubang yang sama. Integritas para komisioner harus sedemikian tinggi sehingga seseorang tidak berani membayangkan mereka berniat korupsi.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/01/03081910/mumpung.besi.masih.mem
J Kristiadi
Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya