Sri Palupi
Merespons tudingan tokoh lintas agama yang menyebut pemerintahan SBY lebih banyak bohongnya, Staf Khusus Presiden Bidang Politik Daniel Sparringa menyatakan, kata kebohongan sangat serius dan Presiden tidak ingin tudingan tokoh lintas agama jadi memori publik.
Padahal, sebenarnya dengan menjalankan politik pencitraan, pemerintahan SBY sendirilah yang mengisi memori publik dengan kebohongan. Bukankah esensi politik pencitraan itu sendiri adalah kebohongan? Ibarat katak dalam tempurung, data yang disodorkan pemerintahan SBY terisolasi dari realitas yang dihadapi masyarakat.
Pemerintah mengklaim, ekonomi RI terbesar ke-16 di dunia, sementara PDB 3.000 dollar AS per kapita, cadangan devisa 94,7 miliar dollar AS, nilai ekspor 50,0 miliar dollar AS, dan nilai tukar rupiah menguat. Capaian ini sejalan dengan yang terjadi di kalangan atas, yaitu pembelian mobil mewah meningkat 37 persen; transaksi kartu kredit untuk makanan, busana, dan pelesiran meningkat 20 persen; serta laba usaha penjualan barang mode merek impor meningkat 52 persen.
Di kalangan bawah, klaim keberhasilan pembangunan direspons dengan kematian sejumlah warga miskin akibat tekanan ekonomi. Tak lama setelah pemerintah memaparkan capaian pembangunan ekonomi, dua anak balita penderita busung lapar di Lombok meninggal dunia. Di Provinsi NTB saja, dalam tiga tahun terakhir tercatat 151 anak meninggal akibat busung lapar.
Klaim keberhasilan pembangunan ekonomi jadi mentah saat dihadapkan pada kondisi riil masyarakat. Harga kebutuhan pokok melambung dan inflasi mencapai 6,9 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi tak mencapai setengah dari lonjakan harga kebutuhan pokok. Kenaikan kebutuhan pokok yang diikuti melemahnya daya beli masyarakat membuktikan, perekonomian sebenarnya rapuh.
Bahkan data Global Hunger Index 2010 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan masalah kelaparan berkategori serius. Bersama negara-negara di Afrika, Asia Selatan, Myanmar, dan Korea Utara, Indonesia termasuk dalam 20 negara yang jadi target bantuan untuk masalah pangan dan nutrisi. Kedalaman kondisi kemiskinan juga terlihat dari fakta Indonesia adalah negara terbesar kedua pemasok perdagangan anak dan organ, dengan mayoritas korban adalah anak-anak keluarga miskin.
Memburuknya kualitas kehidupan kelompok miskin tak sejalan dengan data penurunan angka kemiskinan dan pengangguran yang disodorkan pemerintah. Data itu menyebutkan, kemiskinan turun dari 14,1 persen (2009) jadi 13,3 persen (2010) dan tingkat pengangguran turun dari 8,14 persen menjadi 7,41 persen.
Meleset jauh
Bias antara data pemerintah dan kenyataan yang dihadapi masyarakat bersumber dari kacamata pemerintah yang hanya bisa digunakan untuk melihat realitas di bawah tempurung. Dalam hal data kemiskinan, misalnya, pemerintah menggunakan konsep kemiskinan mutlak dengan ukuran garis kemiskinan Rp 200.262 per kapita per bulan pada 2009 dan Rp 211.726 pada 2010. Mereka yang tergolong miskin adalah yang hidup dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan.
Garis kemiskinan mengasumsikan, dengan tingkat pendapatan sebesar itu, orang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi setara 2.100 kalori per kapita per hari ditambah kebutuhan pokok minimum lain, seperti sandang, kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Kenyataannya, betapa sulit bisa makan layak dengan uang sebesar itu, apalagi ditambah sandang, papan, kesehatan, dan transportasi.
Ukuran garis kemiskinan yang digunakan pemerintah jauh di bawah standar internasional. Dalam program Sasaran Pembangunan Milenium, kemiskinan mutlak diukur dengan 1 dollar AS sehari dan sejak 2005 Bank Dunia menggunakan ukuran kemiskinan mutlak 1,25 dollar AS sehari atau setara Rp 459.000. Untuk kemiskinan moderat, ukurannya 2 dollar AS sehari. Dengan capaian ekonomi sebagaimana diklaim pemerintah, sebuah kebohongan kalau pemerintah masih menggunakan ukuran di bawah 1 dollar AS untuk melihat kemiskinan.
Garis kemiskinan yang rendah itulah penyebab tak akuratnya penentuan jumlah orang miskin secara nasional. Ukuran kemiskinan meleset jauh dari kondisi riil. Kesengajaan melihat kemiskinan dengan standar terlalu rendah mengindikasikan pemerintah lebih peduli pengurangan kemiskinan di atas kertas.
Hal senada terjadi dalam mengukur tingkat pengangguran. Seseorang dikategorikan tak menganggur jika bekerja minimal satu jam seminggu. Pemerintah berasumsi, orang bisa hidup layak dengan pendapatan dari bekerja sedikitnya satu jam seminggu. Kalaupun pengangguran menurun, itu bukan karena usaha pemerintah, melainkan upaya masyarakat yang menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Buktinya, yang tumbuh lapangan kerja sektor informal.
Deindustrialisasi terus berlangsung. Serapan tenaga kerja di sektor industri merosot dari 5 persen (1990-1999) menjadi 1 persen (2000-2009). Kontribusi industri terhadap pertumbuhan ekonomi merosot dari 28,37 persen (2004) jadi 26,16 persen (2009). Pemerintah telah membawa Indonesia pada kondisi di zaman kolonial, di mana pertumbuhan bertumpu pada ekspor bahan mentah. Sementara keran impor barang kian dibuka lebar dan wajah Indonesia berubah dari negeri produsen jadi konsumen.
Kinerja pemerintah dalam mengatasi kemiskinan juga patut dipertanyakan. Tahun 2000–2004 setiap 1 persen kenaikan anggaran kemiskinan berpotensi mengurangi kemiskinan 0,4 persen, tetapi tahun 2005-2009 hanya 0,06 persen. Ini karena anggaran banyak diselewengkan. Penyelewengan meningkat dari 378 kasus (2008) jadi 650 kasus (2009).
Berhati dingin
Politik pencitraan menciptakan pemujaan terhadap angka statistik. Pemujaan ini membuat pemerintah terisolasi dari realitas yang dihadapi masyarakat. Akibatnya, kebijakan dan program pemerintah sering meleset dari masalah dan kebutuhan masyarakat miskin. Di saat TKI membutuhkan kebijakan agar tidak dikenai potongan gaji terlalu tinggi, misalnya, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan ”kredit untuk TKI”. Pemerintah menutup mata terhadap kenyataan bahwa TKI mengalami pemotongan gaji sampai 14 bulan untuk membiayai penempatan kerja di luar negeri. Padahal, kebijakan kredit untuk TKI bisa memperbesar peluang perbudakan TKI melalui jeratan utang, seperti terjadi selama ini.
Ketika masyarakat dihadapkan pada sulitnya mencari pekerjaan di tengah melambungnya harga kebutuhan pokok, pemerintah justru membuat gerakan ”ibu pintar matematika”, yang jauh dari menjawab kebutuhan para ibu. Sistem politik pencit- raan yang memuja statistik juga membentuk pemerintahan berhati dingin. Lihat saja ketika media gencar mengangkat kasus TKI Sumiyati yang bibirnya digunting majikan dan Kikim yang jenazahnya dibuang di tempat sampah, pemerintah memberikan respons dengan mengajak masyarakat tak membesar-besarkan masalah. Sebab, angka TKI teraniaya dan meninggal hanya 0,01 persen. Padahal, dengan menyodorkan angka, pemerintah telah melakukan kebohongan karena pemerintah sendiri tak tahu persis berapa TKI di luar negeri.
Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/02/04/03100212/seperti.katak.dalam.tempurung..
Merespons tudingan tokoh lintas agama yang menyebut pemerintahan SBY lebih banyak bohongnya, Staf Khusus Presiden Bidang Politik Daniel Sparringa menyatakan, kata kebohongan sangat serius dan Presiden tidak ingin tudingan tokoh lintas agama jadi memori publik.
Padahal, sebenarnya dengan menjalankan politik pencitraan, pemerintahan SBY sendirilah yang mengisi memori publik dengan kebohongan. Bukankah esensi politik pencitraan itu sendiri adalah kebohongan? Ibarat katak dalam tempurung, data yang disodorkan pemerintahan SBY terisolasi dari realitas yang dihadapi masyarakat.
Pemerintah mengklaim, ekonomi RI terbesar ke-16 di dunia, sementara PDB 3.000 dollar AS per kapita, cadangan devisa 94,7 miliar dollar AS, nilai ekspor 50,0 miliar dollar AS, dan nilai tukar rupiah menguat. Capaian ini sejalan dengan yang terjadi di kalangan atas, yaitu pembelian mobil mewah meningkat 37 persen; transaksi kartu kredit untuk makanan, busana, dan pelesiran meningkat 20 persen; serta laba usaha penjualan barang mode merek impor meningkat 52 persen.
Di kalangan bawah, klaim keberhasilan pembangunan direspons dengan kematian sejumlah warga miskin akibat tekanan ekonomi. Tak lama setelah pemerintah memaparkan capaian pembangunan ekonomi, dua anak balita penderita busung lapar di Lombok meninggal dunia. Di Provinsi NTB saja, dalam tiga tahun terakhir tercatat 151 anak meninggal akibat busung lapar.
Klaim keberhasilan pembangunan ekonomi jadi mentah saat dihadapkan pada kondisi riil masyarakat. Harga kebutuhan pokok melambung dan inflasi mencapai 6,9 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi tak mencapai setengah dari lonjakan harga kebutuhan pokok. Kenaikan kebutuhan pokok yang diikuti melemahnya daya beli masyarakat membuktikan, perekonomian sebenarnya rapuh.
Bahkan data Global Hunger Index 2010 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan masalah kelaparan berkategori serius. Bersama negara-negara di Afrika, Asia Selatan, Myanmar, dan Korea Utara, Indonesia termasuk dalam 20 negara yang jadi target bantuan untuk masalah pangan dan nutrisi. Kedalaman kondisi kemiskinan juga terlihat dari fakta Indonesia adalah negara terbesar kedua pemasok perdagangan anak dan organ, dengan mayoritas korban adalah anak-anak keluarga miskin.
Memburuknya kualitas kehidupan kelompok miskin tak sejalan dengan data penurunan angka kemiskinan dan pengangguran yang disodorkan pemerintah. Data itu menyebutkan, kemiskinan turun dari 14,1 persen (2009) jadi 13,3 persen (2010) dan tingkat pengangguran turun dari 8,14 persen menjadi 7,41 persen.
Meleset jauh
Bias antara data pemerintah dan kenyataan yang dihadapi masyarakat bersumber dari kacamata pemerintah yang hanya bisa digunakan untuk melihat realitas di bawah tempurung. Dalam hal data kemiskinan, misalnya, pemerintah menggunakan konsep kemiskinan mutlak dengan ukuran garis kemiskinan Rp 200.262 per kapita per bulan pada 2009 dan Rp 211.726 pada 2010. Mereka yang tergolong miskin adalah yang hidup dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan.
Garis kemiskinan mengasumsikan, dengan tingkat pendapatan sebesar itu, orang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi setara 2.100 kalori per kapita per hari ditambah kebutuhan pokok minimum lain, seperti sandang, kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Kenyataannya, betapa sulit bisa makan layak dengan uang sebesar itu, apalagi ditambah sandang, papan, kesehatan, dan transportasi.
Ukuran garis kemiskinan yang digunakan pemerintah jauh di bawah standar internasional. Dalam program Sasaran Pembangunan Milenium, kemiskinan mutlak diukur dengan 1 dollar AS sehari dan sejak 2005 Bank Dunia menggunakan ukuran kemiskinan mutlak 1,25 dollar AS sehari atau setara Rp 459.000. Untuk kemiskinan moderat, ukurannya 2 dollar AS sehari. Dengan capaian ekonomi sebagaimana diklaim pemerintah, sebuah kebohongan kalau pemerintah masih menggunakan ukuran di bawah 1 dollar AS untuk melihat kemiskinan.
Garis kemiskinan yang rendah itulah penyebab tak akuratnya penentuan jumlah orang miskin secara nasional. Ukuran kemiskinan meleset jauh dari kondisi riil. Kesengajaan melihat kemiskinan dengan standar terlalu rendah mengindikasikan pemerintah lebih peduli pengurangan kemiskinan di atas kertas.
Hal senada terjadi dalam mengukur tingkat pengangguran. Seseorang dikategorikan tak menganggur jika bekerja minimal satu jam seminggu. Pemerintah berasumsi, orang bisa hidup layak dengan pendapatan dari bekerja sedikitnya satu jam seminggu. Kalaupun pengangguran menurun, itu bukan karena usaha pemerintah, melainkan upaya masyarakat yang menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Buktinya, yang tumbuh lapangan kerja sektor informal.
Deindustrialisasi terus berlangsung. Serapan tenaga kerja di sektor industri merosot dari 5 persen (1990-1999) menjadi 1 persen (2000-2009). Kontribusi industri terhadap pertumbuhan ekonomi merosot dari 28,37 persen (2004) jadi 26,16 persen (2009). Pemerintah telah membawa Indonesia pada kondisi di zaman kolonial, di mana pertumbuhan bertumpu pada ekspor bahan mentah. Sementara keran impor barang kian dibuka lebar dan wajah Indonesia berubah dari negeri produsen jadi konsumen.
Kinerja pemerintah dalam mengatasi kemiskinan juga patut dipertanyakan. Tahun 2000–2004 setiap 1 persen kenaikan anggaran kemiskinan berpotensi mengurangi kemiskinan 0,4 persen, tetapi tahun 2005-2009 hanya 0,06 persen. Ini karena anggaran banyak diselewengkan. Penyelewengan meningkat dari 378 kasus (2008) jadi 650 kasus (2009).
Berhati dingin
Politik pencitraan menciptakan pemujaan terhadap angka statistik. Pemujaan ini membuat pemerintah terisolasi dari realitas yang dihadapi masyarakat. Akibatnya, kebijakan dan program pemerintah sering meleset dari masalah dan kebutuhan masyarakat miskin. Di saat TKI membutuhkan kebijakan agar tidak dikenai potongan gaji terlalu tinggi, misalnya, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan ”kredit untuk TKI”. Pemerintah menutup mata terhadap kenyataan bahwa TKI mengalami pemotongan gaji sampai 14 bulan untuk membiayai penempatan kerja di luar negeri. Padahal, kebijakan kredit untuk TKI bisa memperbesar peluang perbudakan TKI melalui jeratan utang, seperti terjadi selama ini.
Ketika masyarakat dihadapkan pada sulitnya mencari pekerjaan di tengah melambungnya harga kebutuhan pokok, pemerintah justru membuat gerakan ”ibu pintar matematika”, yang jauh dari menjawab kebutuhan para ibu. Sistem politik pencit- raan yang memuja statistik juga membentuk pemerintahan berhati dingin. Lihat saja ketika media gencar mengangkat kasus TKI Sumiyati yang bibirnya digunting majikan dan Kikim yang jenazahnya dibuang di tempat sampah, pemerintah memberikan respons dengan mengajak masyarakat tak membesar-besarkan masalah. Sebab, angka TKI teraniaya dan meninggal hanya 0,01 persen. Padahal, dengan menyodorkan angka, pemerintah telah melakukan kebohongan karena pemerintah sendiri tak tahu persis berapa TKI di luar negeri.
Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/02/04/03100212/seperti.katak.dalam.tempurung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya