Oleh: Neta S Pane
Kerusuhan di Cikeusik, Pandeglang, Banten, dan Temanggung, Jawa Tengah, merupakan pukulan telak bagi profesionalisme Polri.
Kerusuhan ini menjadi gambaran bahwa reformasi Polri ternyata belum menyentuh hal yang esensial dan strategis dalam menjaga keamanan masyarakat.
Empat faktor
Sedikitnya ada empat faktor yang membuat Polri kedodoran dalam mengatasi amuk massa, terutama di Pandeglang dan Temanggung. Pertama, lemahnya intelijen kepolisian. Kedua, tidak dimaksimalkannya kepolisian sektor (polsek) sebagai ujung tombak kepolisian. Ketiga, rendahnya tingkat kepekaan kapolres sebagai pemimpin wilayah. Keempat, faktor kedekatan oknum pejabat kepolisian dengan kelompok tertentu.
Intelijen seharusnya menjadi ”telinga” kepolisian untuk mendeteksi dinamika sosial di masyarakat. Intelijen patut memainkan peran maksimal dalam merekam potensi kerawanan di wilayah tugasnya sehingga jarum jatuh pun dapat didengar oleh aparat intelijen.
Polsek sebagai ujung tombak kepolisian perlu menjalankan fungsi pembinaan dan pendekatan yang terus-menerus kepada tokoh-tokoh masyarakat di sekitarnya. Dengan demikian, tingkat emosi masyarakat dapat diredam dan potensi ancaman kerawanan dapat dideteksi. Secara konsepsional, polsek punya perangkat untuk itu, seperti aparatur Babinkamtibmas, konsep polisi masyarakat, dan Badan Koordinasi Polisi dan Masyarakat (BKPM).
Motor penggerak kinerja intelijen dan polsek tersebut memang ada di kepala kepolisian resor (kapolres). Sejauh mana seorang kapolres mau peduli, peka, dan mampu menjadi polisi sejati. Sejauh mana pula ia mau terus-menerus melakukan supervisi kepada bawahannya dan mau mencermati laporan bawahan serta mitra kerjanya.
Seorang kapolres harus mampu menganalisis potensi kerawanan di wilayah tugasnya untuk kemudian membuat prediksi, melakukan deteksi dini, tindakan preventif dan antisipasi, serta meminta bantuan dukungan personel ataupun perangkat kepada kepolisian daerah (polda).
Tindakan-tindakan profesional kepolisian ini sulit dilakukan jika seorang kapolres bersikap individualis dan hanya memikirkan nasib, jabatan, serta pangkatnya. Tindakan profesional kepolisian akan menjadi mandul jika ada oknum pejabat kepolisian yang menjadi backing atau mempunyai hubungan khusus dengan kelompok tertentu. Faktor kedekatan inilah yang kerap membuat aparat di tingkat bawah menjadi ragu-ragu untuk bertindak.
Mengoyak kebinekaan
Pada tahun 2010 ada 15 kantor polisi yang diserbu, dirusak, dan dibakar massa. Kasus ini menjadi sebuah ironi yang bisa meruntuhkan kepercayaan publik. Bagaimana publik bisa berharap banyak pada polisi, sedangkan polisi sendiri tidak mampu mengamankan kantornya.
Ke depan, konflik sosial menjadi ancaman yang semakin perlu dicermati polisi. Apalagi konflik antarelite partai di Jakarta makin terbuka, bukan mustahil hal ini membuat kader-kader di tingkat bawah menjadi frustrasi dan melakukan ”aksi balasan” yang merugikan banyak pihak.
Sebab itu, deteksi dini menjadi mutlak dilakukan kepolisian di tingkat bawah. Tindakan preventif dan antisipasi harus menjadi pijakan agar aksi kekerasan tidak mencuat serta meluas.
Aksi kekerasan belakangan ini telah mengoyak-ngoyak kebinekaan bangsa Indonesia. Padahal, kemerdekaan 1945 yang dicapai bangsa ini adalah untuk menciptakan kebersamaan dalam perbedaan, kebersamaan dalam keanekaragaman dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Reformasi 1998 yang dicapai bangsa ini pun adalah untuk kebahagiaan bersama, untuk mengembangkan akal budi dan etika politik, menghargai hak asasi, dan konstitusi. Ironisnya, pasca-Reformasi justru aksi kekerasan terjadi di mana-mana. Polri sepertinya gagal melakukan pengawalan. Gagal melakukan deteksi dini hingga terjadi kekerasan yang memakan banyak korban.
Neta S Pane Ketua Presidium Indonesia Police Watch
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/02/17/03554545/menggugat.polri
Kerusuhan di Cikeusik, Pandeglang, Banten, dan Temanggung, Jawa Tengah, merupakan pukulan telak bagi profesionalisme Polri.
Kerusuhan ini menjadi gambaran bahwa reformasi Polri ternyata belum menyentuh hal yang esensial dan strategis dalam menjaga keamanan masyarakat.
Empat faktor
Sedikitnya ada empat faktor yang membuat Polri kedodoran dalam mengatasi amuk massa, terutama di Pandeglang dan Temanggung. Pertama, lemahnya intelijen kepolisian. Kedua, tidak dimaksimalkannya kepolisian sektor (polsek) sebagai ujung tombak kepolisian. Ketiga, rendahnya tingkat kepekaan kapolres sebagai pemimpin wilayah. Keempat, faktor kedekatan oknum pejabat kepolisian dengan kelompok tertentu.
Intelijen seharusnya menjadi ”telinga” kepolisian untuk mendeteksi dinamika sosial di masyarakat. Intelijen patut memainkan peran maksimal dalam merekam potensi kerawanan di wilayah tugasnya sehingga jarum jatuh pun dapat didengar oleh aparat intelijen.
Polsek sebagai ujung tombak kepolisian perlu menjalankan fungsi pembinaan dan pendekatan yang terus-menerus kepada tokoh-tokoh masyarakat di sekitarnya. Dengan demikian, tingkat emosi masyarakat dapat diredam dan potensi ancaman kerawanan dapat dideteksi. Secara konsepsional, polsek punya perangkat untuk itu, seperti aparatur Babinkamtibmas, konsep polisi masyarakat, dan Badan Koordinasi Polisi dan Masyarakat (BKPM).
Motor penggerak kinerja intelijen dan polsek tersebut memang ada di kepala kepolisian resor (kapolres). Sejauh mana seorang kapolres mau peduli, peka, dan mampu menjadi polisi sejati. Sejauh mana pula ia mau terus-menerus melakukan supervisi kepada bawahannya dan mau mencermati laporan bawahan serta mitra kerjanya.
Seorang kapolres harus mampu menganalisis potensi kerawanan di wilayah tugasnya untuk kemudian membuat prediksi, melakukan deteksi dini, tindakan preventif dan antisipasi, serta meminta bantuan dukungan personel ataupun perangkat kepada kepolisian daerah (polda).
Tindakan-tindakan profesional kepolisian ini sulit dilakukan jika seorang kapolres bersikap individualis dan hanya memikirkan nasib, jabatan, serta pangkatnya. Tindakan profesional kepolisian akan menjadi mandul jika ada oknum pejabat kepolisian yang menjadi backing atau mempunyai hubungan khusus dengan kelompok tertentu. Faktor kedekatan inilah yang kerap membuat aparat di tingkat bawah menjadi ragu-ragu untuk bertindak.
Mengoyak kebinekaan
Pada tahun 2010 ada 15 kantor polisi yang diserbu, dirusak, dan dibakar massa. Kasus ini menjadi sebuah ironi yang bisa meruntuhkan kepercayaan publik. Bagaimana publik bisa berharap banyak pada polisi, sedangkan polisi sendiri tidak mampu mengamankan kantornya.
Ke depan, konflik sosial menjadi ancaman yang semakin perlu dicermati polisi. Apalagi konflik antarelite partai di Jakarta makin terbuka, bukan mustahil hal ini membuat kader-kader di tingkat bawah menjadi frustrasi dan melakukan ”aksi balasan” yang merugikan banyak pihak.
Sebab itu, deteksi dini menjadi mutlak dilakukan kepolisian di tingkat bawah. Tindakan preventif dan antisipasi harus menjadi pijakan agar aksi kekerasan tidak mencuat serta meluas.
Aksi kekerasan belakangan ini telah mengoyak-ngoyak kebinekaan bangsa Indonesia. Padahal, kemerdekaan 1945 yang dicapai bangsa ini adalah untuk menciptakan kebersamaan dalam perbedaan, kebersamaan dalam keanekaragaman dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Reformasi 1998 yang dicapai bangsa ini pun adalah untuk kebahagiaan bersama, untuk mengembangkan akal budi dan etika politik, menghargai hak asasi, dan konstitusi. Ironisnya, pasca-Reformasi justru aksi kekerasan terjadi di mana-mana. Polri sepertinya gagal melakukan pengawalan. Gagal melakukan deteksi dini hingga terjadi kekerasan yang memakan banyak korban.
Neta S Pane Ketua Presidium Indonesia Police Watch
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/02/17/03554545/menggugat.polri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya