BY ZAENAL MUTTAQIN
Dua puluh eksportir kakao domestik menghentikan aktivitas ekspornya sejak empat bulan terakhir karena terbebani tingginya pajak ekspor kakao yang diberlakukan pemerintah. Zulhefi Sikumbang, Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia, mengatakan terhentinya ekspor dari puluhan eksportir tersebut berpotensi menurunkan volume ekspor kakao dan pelaku berpotensi kehilangan keuntungan dari harga kakao yang telah mencatat rekor tertinggi dalam 32 tahun terakhir.
Zulhefi mengakui belum mengetahui dengan detil berapa potensi penurunan ekspor kakao nasional tahun ini. Dia hanya menjelaskan kontribusi dari 20 eksportir tersebut mencapai 30% dari total ekspor kakao yang sebesar 400 ribu-450 ribu ton per tahun. Dengan asumsi tidak ada eksportir pengganti, penurunan diprediksi bisa mencapai 120 ribu-135 ribu ton.
Padahal tahun ini merupakan momentum yang sangat baik bagi Indonesia mengekspor kakao. Data Bloomberg menunjukkan harga kakao di pasar internasional pekan ini telah mencatat rekor tertinggi sepanjang 32 tahun terakhir, yakni sebesar US$ 3.500 per ton.
Salah satu pemicunya adalah langkah pemerintah Pantai Gading memperpanjang larangan ekspor kakao dari negaranya. Pantai Gading merupakan produsen kakao dan eksportir kakao terbesar di dunia. Negara ini juga merupakan pesaing utama Indonesia di pasar ekspor kakao.
Momen positif tersebut tidak bisa dimanfaatkan oleh eksportir kakao nasional. Bahkan, pasar ekspor yang ditinggalkan oleh eksportir tersebut kemungkinan diambil alih oleh eksportir-eksportir bermodal besar dan berskala multinasional.
“Ini sangat disayangkan karena mayoritas kakao yang diekspor oleh eksportir-eksportir lokal tersebut berasal dari petani kakao tradisional. Alhasil, petani kakao kecil pun ikut kehilangan potensi pendapatan,” ujarnya.
Zulhefi meminta pemerintah meninjau ulang ketentuan pajak ekspor progresif yang diterapkan atas produk kakao nasional. Pajak ekspor dinilai memberatkan petani dan melemahkan daya saing produk kakao nasional dibandingkan kakao dari negara produsen lain.
"Sebab yang mendapat tekanan paling berat akibat penerapan pajak ekspor kakao secara progresif ini adalah para petani. Eksportir maupun produsen pengolah akan membebankan pajak ekspor kepada petani," paparnya.
Tidak Relevan
Pengenaan pajak ekspor juga dianggap tidak relevan lagi dengan tujuan awalnya, yakni mendorong pemenuhan bahan baku industri kakao olahan di dalam negeri. Pemerintah menerapkan bea ekspor kakao secara progresif dengan mengikuti pergerakan harga di pasar global sebesar 5%-15%. Salah satu tujuan penerapan bea keluar adalah mendorong pemenuhan kebutuhan industri pengolahan kakao dalam negeri.
Masalahnya, kata Zulhefi, produsen kakao olahan dalam negeri memiliki kapasitas produksi yang terbatas. Tahun lalu hanya sebesar 185 ribu ton dan direncanakan naik 100 ribu ton menjadi 280 ribu ton tahun ini. Padahal, total produksi kakao dalam negeri tahun ini bisa mencapai 400 ribu-425 ribu ton.
"Jadi sebetulnya, penerapan bea keluar ini tidak lebih sekadar memberikan tanggung jawab kepada petani untuk mendukung industri pengolahan yang memiliki kapasitas produksi terbatas,” paparnya.
Dia menyarankan, kalau pemerintah masih bertekad mendapatkan pendapatan dari ekspor kakao, pajak ekspor kakao harusnya ditetapkan flat sebesar Rp 500 per kilogram. Itu pun dengan asumsi batas harga kakao di pasar ekspor minimal US$ 2.000 per ton. Angka ini merupakan level ideal, karena petani masih bisa mendapatkan keuntungan setelah dipotong biaya produksi dan pemeliharaan tanaman.
Dari catatan Asosiasi Kakao Indonesia, penerapan pajak ekspor kakao sejak April 2010 hingga Februari ini sebesar 10%. Kenaikan harga kakao dunia yang sudah menembus level US$ 3.000 per ton berpotensi menaikkan pajak ekspor menjadi 15%, sesuai ketentuan pemerintah yang mengenakan pajak progresif ekspor kakao antara 5%-15% sesuai perkembangan harga di pasar internasional.
Andi Sulaiman Husein, Ketua Asosiasi Petani Kakao Sulawesi Selatan mengatakan penerapan bea keluar kakao meningkatkan komponen biaya yang harus ditanggung petani. Dia menghitung untuk harga jual kakao Rp 18 ribu-Rp 19 ribu per kilogram, potongan harga untuk menutup bea keluar mencapai Rp 1.800-Rp 1.900 per kilogram.
Selain bea keluar, ada potongan biaya asuransi, biaya pengiriman, dan biaya profit eksportir dan pengumpul. Besarnya biaya untuk masing-masing komponen itu sekitar 10%. “Harga yang diterima petani tetap rendah meski harga kakao di pasar internasional tinggi. Tidak ada pengaruhnya,” ujar dia.
Deddy Saleh, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, mengakui beban penerapan bea keluar ekspor kakao ditimpakan kembali kepada petani. Mata rantai niaga kakao mulai dari eksportir sampai pedagang sama-sama memperhitungkan biaya pajak tersebut saat membeli kakao dari petani dan menetapkan harga yang murah kepada petani. Pemerintah juga mengaku belum melakukan pengkajian ulang terkait penerapan pajak ekspor kakao ini.
Zaenal Muttaqin
Sumber:http://www.indonesiafinancetoday.com/read/3599/Puluhan-Eksportir-Kakao-Hentikan-Ekspor
Dua puluh eksportir kakao domestik menghentikan aktivitas ekspornya sejak empat bulan terakhir karena terbebani tingginya pajak ekspor kakao yang diberlakukan pemerintah. Zulhefi Sikumbang, Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia, mengatakan terhentinya ekspor dari puluhan eksportir tersebut berpotensi menurunkan volume ekspor kakao dan pelaku berpotensi kehilangan keuntungan dari harga kakao yang telah mencatat rekor tertinggi dalam 32 tahun terakhir.
Zulhefi mengakui belum mengetahui dengan detil berapa potensi penurunan ekspor kakao nasional tahun ini. Dia hanya menjelaskan kontribusi dari 20 eksportir tersebut mencapai 30% dari total ekspor kakao yang sebesar 400 ribu-450 ribu ton per tahun. Dengan asumsi tidak ada eksportir pengganti, penurunan diprediksi bisa mencapai 120 ribu-135 ribu ton.
Padahal tahun ini merupakan momentum yang sangat baik bagi Indonesia mengekspor kakao. Data Bloomberg menunjukkan harga kakao di pasar internasional pekan ini telah mencatat rekor tertinggi sepanjang 32 tahun terakhir, yakni sebesar US$ 3.500 per ton.
Salah satu pemicunya adalah langkah pemerintah Pantai Gading memperpanjang larangan ekspor kakao dari negaranya. Pantai Gading merupakan produsen kakao dan eksportir kakao terbesar di dunia. Negara ini juga merupakan pesaing utama Indonesia di pasar ekspor kakao.
Momen positif tersebut tidak bisa dimanfaatkan oleh eksportir kakao nasional. Bahkan, pasar ekspor yang ditinggalkan oleh eksportir tersebut kemungkinan diambil alih oleh eksportir-eksportir bermodal besar dan berskala multinasional.
“Ini sangat disayangkan karena mayoritas kakao yang diekspor oleh eksportir-eksportir lokal tersebut berasal dari petani kakao tradisional. Alhasil, petani kakao kecil pun ikut kehilangan potensi pendapatan,” ujarnya.
Zulhefi meminta pemerintah meninjau ulang ketentuan pajak ekspor progresif yang diterapkan atas produk kakao nasional. Pajak ekspor dinilai memberatkan petani dan melemahkan daya saing produk kakao nasional dibandingkan kakao dari negara produsen lain.
"Sebab yang mendapat tekanan paling berat akibat penerapan pajak ekspor kakao secara progresif ini adalah para petani. Eksportir maupun produsen pengolah akan membebankan pajak ekspor kepada petani," paparnya.
Tidak Relevan
Pengenaan pajak ekspor juga dianggap tidak relevan lagi dengan tujuan awalnya, yakni mendorong pemenuhan bahan baku industri kakao olahan di dalam negeri. Pemerintah menerapkan bea ekspor kakao secara progresif dengan mengikuti pergerakan harga di pasar global sebesar 5%-15%. Salah satu tujuan penerapan bea keluar adalah mendorong pemenuhan kebutuhan industri pengolahan kakao dalam negeri.
Masalahnya, kata Zulhefi, produsen kakao olahan dalam negeri memiliki kapasitas produksi yang terbatas. Tahun lalu hanya sebesar 185 ribu ton dan direncanakan naik 100 ribu ton menjadi 280 ribu ton tahun ini. Padahal, total produksi kakao dalam negeri tahun ini bisa mencapai 400 ribu-425 ribu ton.
"Jadi sebetulnya, penerapan bea keluar ini tidak lebih sekadar memberikan tanggung jawab kepada petani untuk mendukung industri pengolahan yang memiliki kapasitas produksi terbatas,” paparnya.
Dia menyarankan, kalau pemerintah masih bertekad mendapatkan pendapatan dari ekspor kakao, pajak ekspor kakao harusnya ditetapkan flat sebesar Rp 500 per kilogram. Itu pun dengan asumsi batas harga kakao di pasar ekspor minimal US$ 2.000 per ton. Angka ini merupakan level ideal, karena petani masih bisa mendapatkan keuntungan setelah dipotong biaya produksi dan pemeliharaan tanaman.
Dari catatan Asosiasi Kakao Indonesia, penerapan pajak ekspor kakao sejak April 2010 hingga Februari ini sebesar 10%. Kenaikan harga kakao dunia yang sudah menembus level US$ 3.000 per ton berpotensi menaikkan pajak ekspor menjadi 15%, sesuai ketentuan pemerintah yang mengenakan pajak progresif ekspor kakao antara 5%-15% sesuai perkembangan harga di pasar internasional.
Andi Sulaiman Husein, Ketua Asosiasi Petani Kakao Sulawesi Selatan mengatakan penerapan bea keluar kakao meningkatkan komponen biaya yang harus ditanggung petani. Dia menghitung untuk harga jual kakao Rp 18 ribu-Rp 19 ribu per kilogram, potongan harga untuk menutup bea keluar mencapai Rp 1.800-Rp 1.900 per kilogram.
Selain bea keluar, ada potongan biaya asuransi, biaya pengiriman, dan biaya profit eksportir dan pengumpul. Besarnya biaya untuk masing-masing komponen itu sekitar 10%. “Harga yang diterima petani tetap rendah meski harga kakao di pasar internasional tinggi. Tidak ada pengaruhnya,” ujar dia.
Deddy Saleh, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, mengakui beban penerapan bea keluar ekspor kakao ditimpakan kembali kepada petani. Mata rantai niaga kakao mulai dari eksportir sampai pedagang sama-sama memperhitungkan biaya pajak tersebut saat membeli kakao dari petani dan menetapkan harga yang murah kepada petani. Pemerintah juga mengaku belum melakukan pengkajian ulang terkait penerapan pajak ekspor kakao ini.
Zaenal Muttaqin
Sumber:http://www.indonesiafinancetoday.com/read/3599/Puluhan-Eksportir-Kakao-Hentikan-Ekspor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya