Oleh: Amich Alhumami
Politik di negara-negara Timur Tengah sedang bergejolak hebat. Sumbu pergolakan bukan konflik menahun Palestina- Israel, isu nuklir Iran, atau perlawanan kelompok sipil pada tentara Amerika Serikat di Irak.
Setelah Jasmine Revolution di Tunisia secara spektakuler berhasil menumbangkan penguasa despotik Zine el-Abidine ben Ali, gelombang protes politik merambah ke negara-negara sekawasan: Yaman, Yordania,dan Mesir. Gelombang Jasmine Revolution mengalir deras melintasi sungai Nil dan mengguncang Mesir dalam sepekan terakhir. Pergolakan politik di negeri Cleopatra itu berpuncak padaJumatlaluketikapuluhanribu demonstranturunke jalanseusaisalat Jumat.Tak pelak,kerusuhan masif pun spontan meledak terutama di kota-kota penting: Kairo,Alexandria, Mansoria, Suez.
Pergolakan politik seperti ini,yang diwarnai kerusuhan sosial begitu dahsyat, belum pernah terjadi dalam sejarah politik Mesir sepanjang pemerintahan Presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa sejak 1981. Bentrokan berdarah antara polisi dan demonstran tak terhindarkan. Polisi menggunakan senjata kanon air, peluru karet, dan gas air mata untuk meredam dan membubarkan aksi demonstrasi masif itu. Namun, semua peralatan tersebut tak dapat menolong.Para demonstran telah kehilangan rasa takut sehingga polisi tak mampu mematahkan perlawanan berani mereka.
Pemberlakuan jam malam (curfew) pun sama sekali tak efektif,bahkan kebijakan ini justru kian meningkatkan eskalasi perlawanan.Mobil aparat keamanan dan beberapa gedung vital,termasuk kantor parpol berkuasa, National Democratic Party,dibakar para demonstran yang marah. Sepanjang kerusuhan massal tercatat sudah hampir 100 orang meninggal dan ribuan mengalami luka.
Hal yang menarik dari pergolakan politik ini adalah aksi demonstrasi diikuti oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Para demonstran yang turun ke jalan mewakili spektrum kelompok sosial yang luas, tak terbatas pada kelas sosial tertentu. Kelompok miskin dan kaum marjinal, kelas menengah ekonomi dan kaum terpelajar, kelompok politik yang beraliran ideologi Islamis (baca: Ikhwanul Muslimin) atau penganut Kristen Koptik, menyatu dalam gerakan protes. Bahkan kaum perempuan muda, ibu-ibu, dan orang tua membawa anak-anak mereka turun ke jalan dan membaur dalam gelombang massa para demonstran. Dengan lantang,mereka berseru: hurriya! ... hurriya! (merdeka,kebebasan) dari rezim otoriter dan korup.
Paradoks Peradaban Agung
Di antara negara-negara Muslim, Mesir menyimpan banyak paradoks. Bayangkan, Mesir pernah mengukir pencapaian gemilang dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan bahkan di zaman paling purba. Bangunanbangunan piramida berusia ribuan tahunyangtegakberdiriadalahkarya agung yang sangat menakjubkan, simbol peradaban besar dalam sejarah umat manusia. Jelas, karya agung itu hanya bisa diciptakan oleh orang-orang bertalenta, yang melambangkan era kegemilangan sebuah bangsa di masa lampau.
Namun sungguh ironis, meski dikenal sebagai salah satu pusat peradaban paling kuno yang mengilhami perkembangan peradaban dunia, Mesir justru termasuk negara Dunia Ketiga yang masih terbelakang di era modern. Di antara negara-negara Muslim, hanya Mesir yang mampu melahirkan empat tokoh peraih Nobel: dua Nobel Perdamaian (Anwar Sadat, Mohammed ElBaradei), satu Nobel Sastra (Naguib Mahfud), dan satu Nobel Kimia (Ahmed Zewail).Tak terhitung ilmuwan-ilmuwan Mesir berkelas dunia berkarya di universitas- universitas prestisius dan lembaga- lembaga riset terpandang di benua Amerika dan Eropa.
Bertolak-belakang dengan segala simbol kegemilangan itu, sekitar 21,6% dari 80 juta penduduk Mesir hidup dalam kemiskinan ekstrem. Pengangguran mencapai 9,4%, banyak penduduk tak bisa baca-tulis (buta aksara),anak-anak usia sekolah tak mendapat akses pendidikan dan kesehatan, dan pelayanan publik amat buruk.
Semua itu,berpangkal pada praktik korupsi yang sudah sedemikian kronis dan menggurita di tubuh pemerintahan yang melibatkan kroni-kroni Presiden Hosni Mubarak. Problem sosial akut yang berkelindan dengan sistem pemerintahan otoriter membuat rakyat frustrasi, yang kemudianmemicugerakanpolitikmasif dengan tujuan tunggal: memaksa sang presiden turun tahta.
Meredam Tekanan
Di tengah gelombang demonstrasi yang terus meningkat, Presiden Mubarak merespons dengan menawarkan sejumlah konsesi politik untuk meredam tekanan yang kian bereskalasi. Dalam pidato yang disiarkan langsung televisi pemerintah,dia berjanji untuk melakukan reformasi politik-ekonomi secara menyeluruh dengan menyediakan lapangan pekerjaan untuk mengurangi pengangguran, menurunkan tingkat kemiskinan, meningkatkan pelayanan publik.
Langkah reformasi dimulai dengan membubarkan kabinet dan mengangkat PM baru,Ahmed Shafiq, untuk membentuk pemerintahan baru guna melaksanakan agenda reformasi yang dijanjikan. Namun,janji reformasi ini tampaknya sangat sulit diwujudkan karena pemerintahan Presiden Mubarak sudah tidak dipercaya lagi dan telah kehilangan kredibilitas. Mohammed ElBaradei,tokoh oposisi pemerintah dan figur sentral gerakan antipemerintah bahkan menyebut dengan tegas bahwa penguasa diktator dan rezim korup di bawah Presiden Mubarak harus diakhiri.
Mantan Ketua Badan Atom PBB itu mengirim pesan politik ke seluruh penjuru dunia,bahwa Mesir siap menyongsong era baru melalui perubahan pemerintahan yang demokratis. Bagi para demonstran, konsesi politik yang ditawarkan Presiden Mubarak juga tak membuat mereka surut langkah atau melunakkan tekanan.Mereka tetap kukuh menuntut agar sang penguasa despotik itu segera mundur dan mengakhiri kekuasaan.
Magdy Mohammed, salah seorang demonstran, dalam wawancara telepon dengan BBC berujar: “Reformasi politikekonomi yang ditawarkan Presiden Mubarak tak berguna, karena rezim pemerintahan yang dia pimpin sudah bobrok.Sistem politik tetap sama dengan elite-elite politik korup di pemerintahan.Tak akan ada perubahan apa pun sepanjang Presiden Mubarak tetap berkuasa. Ia harus pergi meninggalkan Mesir dan bergabung dengan Zine el- Abidine di Arab Saudi atau pergi ke mana pun,”(BBC,28/01).
Faktor Militer
Bagaimana akhir pergolakan politik di Mesir antara lain ditentukan oleh sikap militer. Meski tentara dengan puluhan tank dan persenjataan militer lengkap sudah diturunkan di pusat-pusat kota,namun belum ada indikasi mereka akan menempuh kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan Presiden Mubarak.Mereka hanya mengambil- alih tugas polisi yang sudah tak mampu mengatasi pergolakan politik. Maka,tentara pun terlihat berhati- hati dan bersikap ramah dalam menangani aksi demonstrasi.
Rakyat Mesir sendiri meyakini bahwa tentara akan memegang teguh doktrin patriotic bulkward, yang mewajibkan mereka untuk berpihak hanya kepada kepentingan rakyat. Kehadiran mereka di jalanan hanya untuk mengantisipasi kekerasan yang muncul selama protes berlangsung, sehingga aksi destruktif dan tindakan anarkis dapat diminimalisasi. Faktor militer dalam pergolakan politik lebih menarik lagi dengan pengangkatan Kepala Badan Intelijen, Jenderal Omar Suleiman, menjadi wakil presiden.
Selama 30 tahun memerintah tanpa wakil, Presiden Mubarak mengangkat orang kepercayaan untuk membantu memulihkan stabilitas politik dan memegang kendali atas militer. Pengangkatan Omar Suleiman sebagai wakil presiden dan Ahmed Shafiq sebagai perdana menteri bisa disebut the last resort bagi Presiden Mubarak untuk bisa bertahan di panggung kekuasaan. Namun, para demonstran tak peduli dengan langkah politik apa pun yang ditempuh sang presiden.
Mereka tak mau kompromi dan terus melanjutkan perlawanan politik dengan meningkatkan gelombang aksi demonstrasi sampai Hosni Mubarak meninggalkan istana kepresidenan.Mereka terus berteriak lantang: rezim pemerintahan Mubarak telah gagal, perubahan politik demokratis mutlak diperlukan! Hosni Mubarak, pensiunan jenderal Angkatan Udara berumur 82 tahun,yang telah berkuasa selama tiga dekade—jauh lebih lama dari prediksi banyak orang—kini tengah diterpa gelombang dahsyat, yang sangat mungkin akan mengakhiri kekuasaannya secara dramatis.Akankah Mubarak selamat dari pergolakan politik ataukah dia akan segera menyusul Zine el-Abidine?(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/379090/
Amich Alhumami
Peneliti Sosial,
Department of Anthropology,
Politik di negara-negara Timur Tengah sedang bergejolak hebat. Sumbu pergolakan bukan konflik menahun Palestina- Israel, isu nuklir Iran, atau perlawanan kelompok sipil pada tentara Amerika Serikat di Irak.
Setelah Jasmine Revolution di Tunisia secara spektakuler berhasil menumbangkan penguasa despotik Zine el-Abidine ben Ali, gelombang protes politik merambah ke negara-negara sekawasan: Yaman, Yordania,dan Mesir. Gelombang Jasmine Revolution mengalir deras melintasi sungai Nil dan mengguncang Mesir dalam sepekan terakhir. Pergolakan politik di negeri Cleopatra itu berpuncak padaJumatlaluketikapuluhanribu demonstranturunke jalanseusaisalat Jumat.Tak pelak,kerusuhan masif pun spontan meledak terutama di kota-kota penting: Kairo,Alexandria, Mansoria, Suez.
Pergolakan politik seperti ini,yang diwarnai kerusuhan sosial begitu dahsyat, belum pernah terjadi dalam sejarah politik Mesir sepanjang pemerintahan Presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa sejak 1981. Bentrokan berdarah antara polisi dan demonstran tak terhindarkan. Polisi menggunakan senjata kanon air, peluru karet, dan gas air mata untuk meredam dan membubarkan aksi demonstrasi masif itu. Namun, semua peralatan tersebut tak dapat menolong.Para demonstran telah kehilangan rasa takut sehingga polisi tak mampu mematahkan perlawanan berani mereka.
Pemberlakuan jam malam (curfew) pun sama sekali tak efektif,bahkan kebijakan ini justru kian meningkatkan eskalasi perlawanan.Mobil aparat keamanan dan beberapa gedung vital,termasuk kantor parpol berkuasa, National Democratic Party,dibakar para demonstran yang marah. Sepanjang kerusuhan massal tercatat sudah hampir 100 orang meninggal dan ribuan mengalami luka.
Hal yang menarik dari pergolakan politik ini adalah aksi demonstrasi diikuti oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Para demonstran yang turun ke jalan mewakili spektrum kelompok sosial yang luas, tak terbatas pada kelas sosial tertentu. Kelompok miskin dan kaum marjinal, kelas menengah ekonomi dan kaum terpelajar, kelompok politik yang beraliran ideologi Islamis (baca: Ikhwanul Muslimin) atau penganut Kristen Koptik, menyatu dalam gerakan protes. Bahkan kaum perempuan muda, ibu-ibu, dan orang tua membawa anak-anak mereka turun ke jalan dan membaur dalam gelombang massa para demonstran. Dengan lantang,mereka berseru: hurriya! ... hurriya! (merdeka,kebebasan) dari rezim otoriter dan korup.
Paradoks Peradaban Agung
Di antara negara-negara Muslim, Mesir menyimpan banyak paradoks. Bayangkan, Mesir pernah mengukir pencapaian gemilang dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan bahkan di zaman paling purba. Bangunanbangunan piramida berusia ribuan tahunyangtegakberdiriadalahkarya agung yang sangat menakjubkan, simbol peradaban besar dalam sejarah umat manusia. Jelas, karya agung itu hanya bisa diciptakan oleh orang-orang bertalenta, yang melambangkan era kegemilangan sebuah bangsa di masa lampau.
Namun sungguh ironis, meski dikenal sebagai salah satu pusat peradaban paling kuno yang mengilhami perkembangan peradaban dunia, Mesir justru termasuk negara Dunia Ketiga yang masih terbelakang di era modern. Di antara negara-negara Muslim, hanya Mesir yang mampu melahirkan empat tokoh peraih Nobel: dua Nobel Perdamaian (Anwar Sadat, Mohammed ElBaradei), satu Nobel Sastra (Naguib Mahfud), dan satu Nobel Kimia (Ahmed Zewail).Tak terhitung ilmuwan-ilmuwan Mesir berkelas dunia berkarya di universitas- universitas prestisius dan lembaga- lembaga riset terpandang di benua Amerika dan Eropa.
Bertolak-belakang dengan segala simbol kegemilangan itu, sekitar 21,6% dari 80 juta penduduk Mesir hidup dalam kemiskinan ekstrem. Pengangguran mencapai 9,4%, banyak penduduk tak bisa baca-tulis (buta aksara),anak-anak usia sekolah tak mendapat akses pendidikan dan kesehatan, dan pelayanan publik amat buruk.
Semua itu,berpangkal pada praktik korupsi yang sudah sedemikian kronis dan menggurita di tubuh pemerintahan yang melibatkan kroni-kroni Presiden Hosni Mubarak. Problem sosial akut yang berkelindan dengan sistem pemerintahan otoriter membuat rakyat frustrasi, yang kemudianmemicugerakanpolitikmasif dengan tujuan tunggal: memaksa sang presiden turun tahta.
Meredam Tekanan
Di tengah gelombang demonstrasi yang terus meningkat, Presiden Mubarak merespons dengan menawarkan sejumlah konsesi politik untuk meredam tekanan yang kian bereskalasi. Dalam pidato yang disiarkan langsung televisi pemerintah,dia berjanji untuk melakukan reformasi politik-ekonomi secara menyeluruh dengan menyediakan lapangan pekerjaan untuk mengurangi pengangguran, menurunkan tingkat kemiskinan, meningkatkan pelayanan publik.
Langkah reformasi dimulai dengan membubarkan kabinet dan mengangkat PM baru,Ahmed Shafiq, untuk membentuk pemerintahan baru guna melaksanakan agenda reformasi yang dijanjikan. Namun,janji reformasi ini tampaknya sangat sulit diwujudkan karena pemerintahan Presiden Mubarak sudah tidak dipercaya lagi dan telah kehilangan kredibilitas. Mohammed ElBaradei,tokoh oposisi pemerintah dan figur sentral gerakan antipemerintah bahkan menyebut dengan tegas bahwa penguasa diktator dan rezim korup di bawah Presiden Mubarak harus diakhiri.
Mantan Ketua Badan Atom PBB itu mengirim pesan politik ke seluruh penjuru dunia,bahwa Mesir siap menyongsong era baru melalui perubahan pemerintahan yang demokratis. Bagi para demonstran, konsesi politik yang ditawarkan Presiden Mubarak juga tak membuat mereka surut langkah atau melunakkan tekanan.Mereka tetap kukuh menuntut agar sang penguasa despotik itu segera mundur dan mengakhiri kekuasaan.
Magdy Mohammed, salah seorang demonstran, dalam wawancara telepon dengan BBC berujar: “Reformasi politikekonomi yang ditawarkan Presiden Mubarak tak berguna, karena rezim pemerintahan yang dia pimpin sudah bobrok.Sistem politik tetap sama dengan elite-elite politik korup di pemerintahan.Tak akan ada perubahan apa pun sepanjang Presiden Mubarak tetap berkuasa. Ia harus pergi meninggalkan Mesir dan bergabung dengan Zine el- Abidine di Arab Saudi atau pergi ke mana pun,”(BBC,28/01).
Faktor Militer
Bagaimana akhir pergolakan politik di Mesir antara lain ditentukan oleh sikap militer. Meski tentara dengan puluhan tank dan persenjataan militer lengkap sudah diturunkan di pusat-pusat kota,namun belum ada indikasi mereka akan menempuh kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan Presiden Mubarak.Mereka hanya mengambil- alih tugas polisi yang sudah tak mampu mengatasi pergolakan politik. Maka,tentara pun terlihat berhati- hati dan bersikap ramah dalam menangani aksi demonstrasi.
Rakyat Mesir sendiri meyakini bahwa tentara akan memegang teguh doktrin patriotic bulkward, yang mewajibkan mereka untuk berpihak hanya kepada kepentingan rakyat. Kehadiran mereka di jalanan hanya untuk mengantisipasi kekerasan yang muncul selama protes berlangsung, sehingga aksi destruktif dan tindakan anarkis dapat diminimalisasi. Faktor militer dalam pergolakan politik lebih menarik lagi dengan pengangkatan Kepala Badan Intelijen, Jenderal Omar Suleiman, menjadi wakil presiden.
Selama 30 tahun memerintah tanpa wakil, Presiden Mubarak mengangkat orang kepercayaan untuk membantu memulihkan stabilitas politik dan memegang kendali atas militer. Pengangkatan Omar Suleiman sebagai wakil presiden dan Ahmed Shafiq sebagai perdana menteri bisa disebut the last resort bagi Presiden Mubarak untuk bisa bertahan di panggung kekuasaan. Namun, para demonstran tak peduli dengan langkah politik apa pun yang ditempuh sang presiden.
Mereka tak mau kompromi dan terus melanjutkan perlawanan politik dengan meningkatkan gelombang aksi demonstrasi sampai Hosni Mubarak meninggalkan istana kepresidenan.Mereka terus berteriak lantang: rezim pemerintahan Mubarak telah gagal, perubahan politik demokratis mutlak diperlukan! Hosni Mubarak, pensiunan jenderal Angkatan Udara berumur 82 tahun,yang telah berkuasa selama tiga dekade—jauh lebih lama dari prediksi banyak orang—kini tengah diterpa gelombang dahsyat, yang sangat mungkin akan mengakhiri kekuasaannya secara dramatis.Akankah Mubarak selamat dari pergolakan politik ataukah dia akan segera menyusul Zine el-Abidine?(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/379090/
Amich Alhumami
Peneliti Sosial,
Department of Anthropology,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya