Rabu, 23 Februari 2011

Demokrasi, Merayakan Anarki?

Oleh: Syamsuddin Haris

Tindak kekerasan atas warga Ahmadiyah di Cikeusik dan pembakaran gereja di Temanggung semakin membuka mata kita bahwa berdemokrasi tanpa penegakan hukum tidak ada artinya.

Terlepas dari berbagai kemungkinan skenario di balik itu, negara jelas gagal menegakkan hukum dan melindungi warganya. Namun, mengapa terus berulang?

Berbagai peristiwa miris yang melukai hati kita yang waras tersebut merefleksikan betapa serius salah urus negara telah berlangsung selama ini. Alih-alih melindungi warga, seperti diamanatkan konstitusi, negara justru berubah menjadi monster menakutkan, tidak memberikan rasa aman, dan setiap saat mengancam keselamatan warganya. Peristiwa Cikeusik dan Temanggung memperkuat berbagai pandangan bahwa telah terjadi pembiaran sistemis oleh negara atas tindak kekerasan massa yang mengancam hak hidup dan properti warga yang harus dilindunginya.

Penjelasan atas ini sebenarnya sederhana. Para penyelenggara negara di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif di pusat dan daerah tak hanya terlalu sibuk berpolitik, tetapi juga sibuk berburu rente untuk diri sendiri. Aparat negara, seperti kepolisian, hampir selalu ambigu menafsirkan ruang lingkup tanggung jawab mereka, padahal penegakan supremasi hukum merupakan prasyarat bagi tegaknya sistem demokrasi. Akibatnya, demokrasi yang semestinya menjadi rumah yang nyaman bagi setiap warga negara berubah menjadi momok anarki ketika penegakan hukum lalai dilakukan oleh negara.

Dokumen tertulis

Sudah jadi pengetahuan umum, sistem demokrasi adalah pilihan politik yang memiliki paradoks dalam dirinya sendiri. Di satu pihak demokrasi menjanjikan partisipasi dan kedaulatan rakyat, kebebasan sipil, serta sirkulasi pemerintahan secara damai. Namun, ketika pemerintahan gagal mengelolanya secara cerdas, demokrasi bisa berubah jadi ladang premanisme, anarki, dan bahkan pembantaian antarwarga yang tak terkendali. Konstitusi, hukum, dan perundang-undangan akhirnya berhenti sebagai dokumen tertulis yang tidak pernah serius ditegakkan oleh penyelenggara negara di semua tingkat.

Tak seorang pun meragukan, negeri kita memiliki konstitusi yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan serta hak hidup setiap warga negara. Namun, ironisnya, jaminan itu tak pernah diterjemahkan ke dalam undang-undang yang punya kekuatan hukum mengikat.

Pemerintah justru menerbitkan model ”surat keputusan bersama” (SKB) yang bukan hanya tidak ada dasar hukumnya, juga substansinya sudah ”bias” sejak awal karena subyektivitas golongan mayoritas sudah melekat di dalamnya. Lebih jauh lagi, ironisnya, baik materi SKB kerukunan beragama dan pendirian rumah ibadah maupun substansi SKB tentang Ahmadiyah cenderung bertentangan dengan semangat Pasal 28 dan 29 konstitusi kita.

Semua ini tak hanya menggarisbawahi ketidakseriusan para penyelenggara negara dalam berdemokrasi, tetapi juga mencerminkan keberpihakan politik para elite politik dalam mengelola negeri yang majemuk ini. Pernyataan publik para petinggi negeri, seperti Menteri Agama Suryadharma Ali, yang mengharapkan Ahmadiyah membubarkan diri, jelas mengindikasikan keberpihakan dan karena itu bertentangan dengan amanat konstitusi yang menjamin kebebasan berkeyakinan bagi setiap warga negara. Mengapa yang disalahkan justru warga yang berbeda keyakinan yang notabene dijamin oleh konstitusi, bukan mereka yang memberhalakan tindak kekerasan dan anarki?

Merayakan anarki?

Sulit dimungkiri, kebutuhan akan popularitas elektoral melatarbelakangi perilaku elite politik yang mengorbankan kebinekaan demi kepentingan politik jangka pendek mereka. Mengingat sumber dukungan elektoral terbesar datang dari golongan agama mayoritas, yang selalu menjadi korban adalah saudara-saudara kita dari kalangan minoritas.

Demokrasi memang memberikan ruang yang lebar bagi setiap kelompok, golongan, dan identitas asal untuk aktualisasi diri, tetapi ruang ekspresi tersebut bisa jadi ancaman serius bagi kemajemukan jika melampaui proporsinya. Apalagi ketika pada saat yang sama negara bukan hanya tidak memiliki koridor yang jelas dan instrumen kebijakan yang adil untuk itu, melainkan juga cenderung bersikap ambigu. Di satu pihak keberagaman kultural diakui dan bahkan dipidatokan berapi-api. Di pihak lain, ketika premanisme, tindak kekerasan massa, dan anarki melukai dan mencederai keberagaman, negara acap kali absen dan kalaupun hadir cenderung bertindak diskriminatif dan tidak netral.

Betapa sia-sianya kita berdemokrasi jika sekadar untuk ”merayakan” tindak kekerasan dan anarki. Terlalu besar ongkos politik yang ditanggung bangsa ini apabila para penyelenggara negara terus-menerus tergagap dan bahkan gagal mengelola keberagaman hanya karena kepentingan picik kekuasaan. Begitu rendah kualitas moral dan tanggung jawab elite penyelenggara negara jika setiap kali muncul peristiwa serupa hanya bisa mengutuk, menyesalkan, dan mencopot pejabat tingkat menengah hingga rendah.

Realitas berbangsa hari ini benar-benar mencemaskan. Secara formal kita menganut prinsip negara hukum, tetapi dalam praktiknya negara seolah-olah membiarkan berlakunya hukum rimba: siapa kuat dia menang. Prosesi perayaan atas tindak kekerasan akan terus berulang apabila tak ada upaya serius negara untuk menghentikannya secara radikal dan tanpa memandang golongan politik ataupun agama.

Dalam kaitan ini, pertama, perlu koridor hukum yang lebih kuat untuk mengelola kebebasan beragama dan berkeyakinan atas dasar prinsip toleransi, nondiskriminasi, dan pluralitas kultural, sebagaimana diamanatkan konstitusi kita. Pengaturan model SKB yang bias, distortif, sudah waktunya diakhiri dan digantikan dengan undang-undang.

Kedua, perlu perubahan mendasar atas prosedur tetap kepolisian negara dalam menangani kerusuhan, tindak kekerasan massa, dan anarki. Perlu otoritas lebih luas bagi kepolisian untuk menangkap dan melumpuhkan siapa pun yang bersenjata (parang, golok, tombak, kayu, dan batu), tentu dengan tetap mempertimbangkan prinsip hak-hak asasi manusia.

Syamsuddin Haris Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/02/23/03033238/demokrasi..merayakan.anarki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...