Oleh: Febri Diansyah
Komisi Informasi Pusat mencuri perhatian. Selasa (8/2) pagi, dengan meminjam tempat di Gedung Mahkamah Konstitusi, majelis KIP menyatakan secara jernih bahwa informasi ”rekening gendut” yang sempat santer tahun lalu harus dibuka. Akan tetapi, Mabes Polri menolak putusan itu.
Di pengujung Juni 2010, sebuah majalah yang terbit di Ibu Kota diborong habis orang tak dikenal. Sempat beredar di media massa, si pemborong menggunakan mobil operasional aparat penegak hukum. Laporan majalah itu rupanya mengganggu kekuasaan. Ia membeberkan sejumlah ”rekening gemuk” para jenderal polisi.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) sempat mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, melaporkan salah satu dugaan kepemilikan rekening mencurigakan. Sejumlah elemen juga mendukung, bahkan menyarankan datang ke Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum untuk menagih janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemberantasan korupsi dan mafia hukum.
Keriuhan pun terjadi dan sikap beberapa pihak di Mabes Polri menunjukkan resistensi, baik terhadap laporan tersebut maupun upaya untuk membuka tabir rekening mencurigakan milik para perwira tinggi Polri. Entah berhubungan atau tidak, tidak lama kemudian kantor redaksi majalah itu diserang bom molotov dan aktivis ICW, Tama Satrya Langkun, dianiaya saat menuju kantor. Yang pasti, proses hukum terhadap penyerangan kantor redaksi majalah tersebut, juga kasus penganiayaan Tama, tidak jelas hingga saat ini. Presiden pun belum menunjukkan sinyal yang pasti untuk penuntasan skandal ini.
Melawan lupa
Di titik inilah putusan KIP menjadi penting. Institusi yang masih muda belia ini mencoba mencari jalan keluar terhadap kebuntuan proses panjang pengungkapan kekayaan mencurigakan pejabat negara dan aparat penegak hukum. Putusan ini melawan lupa.
”Informasi 17 nama pemilik rekening anggota Polri beserta besaran nilainya yang telah dikategorikan wajar sesuai dengan pengumuman Mabes Polri adalah informasi terbuka.” Demikian putusan komisi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik ini.
Kita menyambutnya dengan positif meskipun kita tahu persis eksekusi putusan ini tidak mudah. Buktinya, perwakilan Mabes Polri langsung menyatakan menolak putusan tersebut. Kita seperti mendengar suara yang masih bertahan dalam tirai ketertutupan. Padahal, institusi kepolisian dengan Kepala Polri yang baru sudah menyatakan berkomitmen melakukan pembenahan ke dalam, pemberantasan mafia hukum, dan bahkan pernah ada sebuah peraturan Kapolri tentang aturan pelaksana keterbukaan informasi di institusi penegak hukum ini.
Sungguh janggal sikap perwakilan Mabes Polri tersebut. Jika dari awal 17 rekening yang dimiliki perwira tinggi Polri sudah dikategorikan wajar, kenapa harus ditutup-tutupi? Apalagi, setelah sebuah lembaga negara seperti KIP menegaskan bahwa informasi tersebut bersifat terbuka. Apa yang sebenarnya disembunyikan? Apakah sikap perwakilan Polri ini sama dengan sikap Kapolri dan jajaran intinya? Apakah sama dengan sikap Presiden?
Kita berharap Kapolri menun- jukkan sikap patriot, tidak arogan, serta membuktikan komitmen transparansi dan pemberantasan korupsi. Lain halnya bila Kapolri Timur Pradopo tidak menghendaki dilakukan per- ubahan mendasar di tubuh institusi yang dipimpinnya. Ia tidak boleh terikat dosa masa lalu. Institusi kepolisian harus diselamatkan. Institusi, bukan per- orangan atau para perwira tinggi tertentu. Memang tidak mudah, tetapi putusan KIP ini bisa menjadi titik terang awal bagi Kapolri untuk melakukan perubahan.
Bagaimana dengan Presiden? Ia tentu tidak bisa lepas tangan atau bersembunyi di balik bayangan Kapolri. Jika Presiden Yudhoyono sungguh-sungguh dan tanpa kepura-puraan mengusung program ”Ganyang Mafia”, seperti disebutkan dalam program prioritas pertama kepemimpinannya jilid II, ia seharusnya memastikan Kapolri beritikad baik mematuhi putusan ini. Bandingkan dengan 12 instruksi presiden (inpres) untuk kasus Gayus dan pemberantasan mafia.
Pada butir ketiga inpres tersebut disebutkan, ”Kita akan lakukan audit keuangan dan keuangan lembaga penegak hukum.” Dan, butir kelima instruksi yang sama menyebut konsepsi pembuktian terbalik. Apa artinya? Untuk kasus Gayus, ini sangat penting. Instruksi itu seharusnya jadi semangat utama pemerintahan SBY untuk melakukan pemberantasan korupsi dan pembenahan institusi penegak hukum di Indonesia. Apalagi, institusi kepolisian baru sudah menjalankan program reformasi birokrasi dan baru saja menikmati remunerasi atau kenaikan pendapatan. Hal ini tentu harus seiring dengan komitmen untuk transparan, bertanggung jawab kepada publik, dan pembersihan ke dalam.
Pelaksanaan putusan KIP untuk membuka 17 ”rekening gendut” yang dikategorikan wajar tersebut adalah tantangan. Apakah inpres tak punya kewibawaan sehingga tidak terlalu penting dilaksanakan, atau sebaliknya. Dan, apakah Kapolri memang punya niat memimpin reformasi di lembaganya.
Pencucian uang
Lebih luas dari itu, kita perlu simak betapa mengkhawatirkan fenomena ”rekening gendut” ini di sejumlah institusi negara. Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sampai Desember 2010 menunjukkan 3.084 transaksi keuangan mencurigakan pada kepolisian (88,84 persen) dan kejaksaan (11,15 persen). Lebih dari 40 persen transaksi tersebut diduga berasal dari korupsi dan penyuapan. Angka yang fantastis, terutama jika dilihat dari sangat rendahnya proses hukum terhadap kejahatan pencucian uang ini. Siapa lembaga yang berwenang mengusut pidana ”kerah putih” ini? Dulu, sebelum ada UU No 8/2010, kepolisian yang punya kewenangan penyidikan. Namun, saat ini proses hukum bisa dilakukan oleh lima institusi, sesuai dengan tindak pidana asal pencucian uang tersebut.
Di sini kita paham, perang terhadap kejahatan pencucian uang dan korupsi, yang menjadi salah satu sarana utama bagi praktik mafia hukum, membutuhkan prasyarat yang ketat. Tidak mungkin pemberantasan korupsi dan pencucian uang bisa dilakukan jika aparat penegak hukumnya justru menjadi salah satu pihak yang rekeningnya mencurigakan menurut PPATK.
Karena itulah, tanpa bermaksud menuduh, 17 rekening yang dimiliki perwira tinggi Polri ini pasti bermasalah. Ia harus dibuka. Apalagi, Mabes Polri sudah menyatakan 17 rekening itu wajar. Jika bersih, kenapa harus risih? Pascaputusan KIP, semoga ada harapan baru sehingga kita bisa sedikit optimistis menyapa para pemilik rekening di balik tirai ketertutupan yang dipelihara selama ini, ”Halo, Rekening Gendut!”
Febri Diansyah Peneliti Indonesia Corruption Watch; Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/02/11/04500850/halo.rekening.gendut
Komisi Informasi Pusat mencuri perhatian. Selasa (8/2) pagi, dengan meminjam tempat di Gedung Mahkamah Konstitusi, majelis KIP menyatakan secara jernih bahwa informasi ”rekening gendut” yang sempat santer tahun lalu harus dibuka. Akan tetapi, Mabes Polri menolak putusan itu.
Di pengujung Juni 2010, sebuah majalah yang terbit di Ibu Kota diborong habis orang tak dikenal. Sempat beredar di media massa, si pemborong menggunakan mobil operasional aparat penegak hukum. Laporan majalah itu rupanya mengganggu kekuasaan. Ia membeberkan sejumlah ”rekening gemuk” para jenderal polisi.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) sempat mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, melaporkan salah satu dugaan kepemilikan rekening mencurigakan. Sejumlah elemen juga mendukung, bahkan menyarankan datang ke Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum untuk menagih janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemberantasan korupsi dan mafia hukum.
Keriuhan pun terjadi dan sikap beberapa pihak di Mabes Polri menunjukkan resistensi, baik terhadap laporan tersebut maupun upaya untuk membuka tabir rekening mencurigakan milik para perwira tinggi Polri. Entah berhubungan atau tidak, tidak lama kemudian kantor redaksi majalah itu diserang bom molotov dan aktivis ICW, Tama Satrya Langkun, dianiaya saat menuju kantor. Yang pasti, proses hukum terhadap penyerangan kantor redaksi majalah tersebut, juga kasus penganiayaan Tama, tidak jelas hingga saat ini. Presiden pun belum menunjukkan sinyal yang pasti untuk penuntasan skandal ini.
Melawan lupa
Di titik inilah putusan KIP menjadi penting. Institusi yang masih muda belia ini mencoba mencari jalan keluar terhadap kebuntuan proses panjang pengungkapan kekayaan mencurigakan pejabat negara dan aparat penegak hukum. Putusan ini melawan lupa.
”Informasi 17 nama pemilik rekening anggota Polri beserta besaran nilainya yang telah dikategorikan wajar sesuai dengan pengumuman Mabes Polri adalah informasi terbuka.” Demikian putusan komisi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik ini.
Kita menyambutnya dengan positif meskipun kita tahu persis eksekusi putusan ini tidak mudah. Buktinya, perwakilan Mabes Polri langsung menyatakan menolak putusan tersebut. Kita seperti mendengar suara yang masih bertahan dalam tirai ketertutupan. Padahal, institusi kepolisian dengan Kepala Polri yang baru sudah menyatakan berkomitmen melakukan pembenahan ke dalam, pemberantasan mafia hukum, dan bahkan pernah ada sebuah peraturan Kapolri tentang aturan pelaksana keterbukaan informasi di institusi penegak hukum ini.
Sungguh janggal sikap perwakilan Mabes Polri tersebut. Jika dari awal 17 rekening yang dimiliki perwira tinggi Polri sudah dikategorikan wajar, kenapa harus ditutup-tutupi? Apalagi, setelah sebuah lembaga negara seperti KIP menegaskan bahwa informasi tersebut bersifat terbuka. Apa yang sebenarnya disembunyikan? Apakah sikap perwakilan Polri ini sama dengan sikap Kapolri dan jajaran intinya? Apakah sama dengan sikap Presiden?
Kita berharap Kapolri menun- jukkan sikap patriot, tidak arogan, serta membuktikan komitmen transparansi dan pemberantasan korupsi. Lain halnya bila Kapolri Timur Pradopo tidak menghendaki dilakukan per- ubahan mendasar di tubuh institusi yang dipimpinnya. Ia tidak boleh terikat dosa masa lalu. Institusi kepolisian harus diselamatkan. Institusi, bukan per- orangan atau para perwira tinggi tertentu. Memang tidak mudah, tetapi putusan KIP ini bisa menjadi titik terang awal bagi Kapolri untuk melakukan perubahan.
Bagaimana dengan Presiden? Ia tentu tidak bisa lepas tangan atau bersembunyi di balik bayangan Kapolri. Jika Presiden Yudhoyono sungguh-sungguh dan tanpa kepura-puraan mengusung program ”Ganyang Mafia”, seperti disebutkan dalam program prioritas pertama kepemimpinannya jilid II, ia seharusnya memastikan Kapolri beritikad baik mematuhi putusan ini. Bandingkan dengan 12 instruksi presiden (inpres) untuk kasus Gayus dan pemberantasan mafia.
Pada butir ketiga inpres tersebut disebutkan, ”Kita akan lakukan audit keuangan dan keuangan lembaga penegak hukum.” Dan, butir kelima instruksi yang sama menyebut konsepsi pembuktian terbalik. Apa artinya? Untuk kasus Gayus, ini sangat penting. Instruksi itu seharusnya jadi semangat utama pemerintahan SBY untuk melakukan pemberantasan korupsi dan pembenahan institusi penegak hukum di Indonesia. Apalagi, institusi kepolisian baru sudah menjalankan program reformasi birokrasi dan baru saja menikmati remunerasi atau kenaikan pendapatan. Hal ini tentu harus seiring dengan komitmen untuk transparan, bertanggung jawab kepada publik, dan pembersihan ke dalam.
Pelaksanaan putusan KIP untuk membuka 17 ”rekening gendut” yang dikategorikan wajar tersebut adalah tantangan. Apakah inpres tak punya kewibawaan sehingga tidak terlalu penting dilaksanakan, atau sebaliknya. Dan, apakah Kapolri memang punya niat memimpin reformasi di lembaganya.
Pencucian uang
Lebih luas dari itu, kita perlu simak betapa mengkhawatirkan fenomena ”rekening gendut” ini di sejumlah institusi negara. Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sampai Desember 2010 menunjukkan 3.084 transaksi keuangan mencurigakan pada kepolisian (88,84 persen) dan kejaksaan (11,15 persen). Lebih dari 40 persen transaksi tersebut diduga berasal dari korupsi dan penyuapan. Angka yang fantastis, terutama jika dilihat dari sangat rendahnya proses hukum terhadap kejahatan pencucian uang ini. Siapa lembaga yang berwenang mengusut pidana ”kerah putih” ini? Dulu, sebelum ada UU No 8/2010, kepolisian yang punya kewenangan penyidikan. Namun, saat ini proses hukum bisa dilakukan oleh lima institusi, sesuai dengan tindak pidana asal pencucian uang tersebut.
Di sini kita paham, perang terhadap kejahatan pencucian uang dan korupsi, yang menjadi salah satu sarana utama bagi praktik mafia hukum, membutuhkan prasyarat yang ketat. Tidak mungkin pemberantasan korupsi dan pencucian uang bisa dilakukan jika aparat penegak hukumnya justru menjadi salah satu pihak yang rekeningnya mencurigakan menurut PPATK.
Karena itulah, tanpa bermaksud menuduh, 17 rekening yang dimiliki perwira tinggi Polri ini pasti bermasalah. Ia harus dibuka. Apalagi, Mabes Polri sudah menyatakan 17 rekening itu wajar. Jika bersih, kenapa harus risih? Pascaputusan KIP, semoga ada harapan baru sehingga kita bisa sedikit optimistis menyapa para pemilik rekening di balik tirai ketertutupan yang dipelihara selama ini, ”Halo, Rekening Gendut!”
Febri Diansyah Peneliti Indonesia Corruption Watch; Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/02/11/04500850/halo.rekening.gendut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya