Senin, 28 Februari 2011

Koalisi "Gelang Karet"

Oleh: AA GN Ari Dwipayana

Kegaduhan politik di Senayan untuk sementara berakhir, dengan kemenangan tipis persekutuan politik yang digalang Partai Demokrat dengan angka 266 banding 264.

Kemenangan tipis itu ternyata menyisakan bara, yang selanjutnya bukan hanya menyulut lagi ketegangan di internal partai—beberapa partai mulai melakukan aksi ”penertiban” pada para pembangkang— tetapi juga menghidupkan kembali api permusuhan yang sudah lama membara dalam hubungan antarpartai dalam koalisi pendukung pemerintahan SBY-Boediono. Artinya, hari-hari ke depan, kegaduhan politik belum akan berakhir.

Langgam dua poros

Dalam kurun lebih dari setahun ini sesungguhnya langgam permainan politik tak pernah berubah. Permainan itu selalu dikendalikan dua partai besar yang jadi poros utama koalisi: Partai Demokrat (PD) dan Partai Golkar. Bahkan, proses membangun agenda setting politik lebih banyak ditentukan dua pemain besar ini. Adapun partai menengah dalam koalisi, seperti PKS, PAN, PPP, dan PKB, menjadi pemain pinggiran yang pada satu momen tertentu harus memilih akan berporos ke salah satu dari dua kekuatan besar ini.

Koalisi dengan dua poros utama ternyata cukup ”boros” dalam menggalang konsensus politik. Keduanya lebih banyak bermusuhan dibandingkan berjalan bersama. Dalam berbagai arena kebijakan di parlemen, posisi politik yang diambil oleh dua poros utama ini cenderung berseberangan atau bahkan berhadap-hadapan secara tajam. Ini membuat konfigurasi politik di Senayan jadi unik karena yang ”bertabrakan” bukanlah antara partai koalisi pendukung pemerintah dan partai oposisi, tetapi justru kegaduhan di antara partai koalisi pendukung SBY-Boediono.

Pasca-gonjang-ganjing hak angket Century, kedua poros utama ini coba didamaikan dengan mengatur kembali perimbangan dan pembagian kekuasaan dalam sebuah institusi baru: Sekretariat Gabungan koalisi. Keberadaan Setgab diharapkan menjaga politik perimbangan, bukan hanya bagi dua partai poros utama koalisi, tetapi juga memberikan ruang representasi bagi partai-partai menengah.

Namun, pembentukan Setgab justru memunculkan komplikasi politik baru karena partai yang tergabung dalam koalisi merasa ”dikandangkan” sehingga kemandiriannya dalam bermanuver terkekang.

Batas politik bumper

Persoalan siapa dan dalam kepentingan apa merupakan titik-titik panas yang membuat koalisi jadi medan pertarungan sangat dinamis. Di satu sisi, dalam setahun terakhir ini, di internal koalisi ada upaya untuk membangun atau bahkan mendorong bekerjanya logika politik bumper.

Dalam logika politik ini, kepentingan pertama dan terutama yang harus dijalankan partai-partai dalam koalisi adalah jadi penjaga, pelindung, atau bahkan pengaman dari posisi politik yang telah diambil pemerintahan SBY-Boediono. Logika politik ini terlihat ingin ditegakkan sepenuhnya oleh PD. Dalam setiap arena kebijakan di parlemen, PD mengambil posisi sejalan dengan posisi pemerintah, apa pun risikonya. Dan selanjutnya PD juga menggalang dukungan sekutunya dalam koalisi untuk mengambil posisi politik yang kurang lebih sama dengan PD.

Dalam praktiknya, logika politik bumper belum tentu jadi kepentingan kolektif partai-partai di koalisi. Partai dalam koalisi punya kepentingan politik jangka pendek maupun jangka panjang yang belum tentu sebangun dengan politik bumper.

Ada tiga kepentingan yang bisa mengakibatkan ”tabrakan” dalam koalisi. Pertama, kepentingan representasi politik-ideologis. Partai yang tergabung dalam koalisi tentu saja punya basis pendukung politik- ideologis yang mengharuskan pada momen-momen tertentu, partai harus menyuarakan kepentingan pendukungnya.

Jika kepentingan basis pendukung berbeda dengan kebijakan yang dibuat pemerintah, partai dihadapkan pada dilema antara merepresentasikan suara pendukung atau jadi bumper pemerintah. Sering kali partai harus mengikuti pendukung karena ini berimplikasi politik serius pada partai terutama pada momen elektoral.

Kepentingan kedua adalah bekerjanya logika elektoralis. Walaupun partai-partai bergabung dalam koalisi, sesungguhnya mereka kompetitor dalam momen elektoral sehingga, dalam logika kompetisi, setiap partai dituntut membangun citra diri atau bahkan penanda-penanda yang berbeda dengan kompetitornya. Ini membuat partai-partai dalam koalisi juga perlu ruang manuver politik sehingga mereka bisa menggalang opini publik, meraih simpati, atau bahkan memperluas basis dukungan pemilih. Tanpa itu, mereka selalu merasa di bawah ”bayang-bayang” PD.

Kepentingan ketiga adalah representasi kepentingan ekonomi-politik oligarki elite partai. Dalam realitas politik Indonesia saat ini, partai sesungguhnya masih ”dikuasai” oligarki elite. Kekuatan oligarki elite sedemikian kuat bukan hanya dalam membangun jaringan politik bersifat personal di internal partai, tetapi melebar dan meluas melintasi arena kepartaian, seperti jaringan yang masuk hingga penguasaan sumber daya ekonomi.

Dalam konteks semacam itu, kepentingan oligarki elite partai yang menyebar tentu saja bisa bersentuhan, bersekutu, atau bahkan bertabrakan satu sama lain. Ketegangan politik mungkin akan tak terjadi ketika kepentingan para oligarki tak saling mengganggu. Namun, kegaduhan politik sudah pasti akan muncul jika ”zona nyaman” para elite atas sumber daya ekonomi mulai terganggu atau diganggu.

Dalam bekerjanya tiga logika politik itu, bisa dibayangkan kesulitan yang dihadapi PD dalam membangun ”kebersamaan”. Kerepotan tecermin dari kian seringnya PD menggunakan politik ancaman untuk membangun kepatuhan di koalisi. Seperti ditunjukkan dua ekspresi: ancaman memasukkan partai oposisi, seperti Gerindra dan PDI-P, dalam koalisi, dan mengeluarkan dua sekutu, Golkar dan PKS, yang lebih dilihat jadi ”duri dalam daging”.

Penggunaan politik ancaman oleh elite PD belum tentu efektif untuk membangun kepatuhan, terutama bagi Golkar yang punya kursi cukup besar di parlemen. Secara kalkulatif, keluarnya Golkar akan menyulitkan posisi SBY dan PD dalam menjalankan politik bumper di parlemen. Demikian pula, bagi Golkar yang tak kenal tradisi oposisi dalam 30 tahun terakhir, keluar dari kabinet pemerintahan berarti juga kehilangan akses pada ”roti”, sumber daya yang dalam banyak hal digenggam kekuasaan eksekutif. Dengan adanya resultante kepentingan dua partai itu, koalisi tetap lentur seperti gelang karet.

AA GN Ari Dwipayana Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM

Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/02/28/04280278/koalisi.gelang.karet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...