Rabu, 02 Februari 2011

Jurus Penangkal Krisis Pangan ala Kabinet

Oleh: Khudori



Ancaman krisis pangan tampak semakin nyata. Awal Januari lalu, FAO memberi peringatan peluang Indonesia masuk dalam krisis pangan akut. Kini Komisi Pangan Inggris mengulangi kembali potensi ancaman krisis pangan itu (BBC, 24 Januari 2011). Dalam Global Hunger Index 2010, Indonesia disejajarkan dengan Pakistan, Kenya, Mongolia, Burma, Vietnam, Nigeria, Mali, dan Mauritania. Ancaman krisis pangan memperoleh pembenaran setelah harga sejumlah pangan naik akibat produksi yang turun drastis. Ini diikuti oleh kenaikan indeks harga pangan pada Desember 2010, yang mencapai 215. Indeks ini melampaui nilai indeks harga pangan tertinggi ketika krisis pangan 2008 meledak: 213,5.

Lonjakan harga pangan bahkan sudah memakan korban. Presiden Tunisia Zine el-Abidin Ben Ali, 74 tahun, yang korup dan telah berkuasa di negeri itu selama 23 tahun, tumbang karena gagal memperbaiki kesejahteraan rakyatnya. Revolusi Yasmin Tunisia mencapai momentumnya sejak pertengahan Desember 2010 ketika seorang tamatan universitas yang berjualan sayur dan buah-buahan membakar dirinya hidup-hidup lantaran semua barang dagangannya disita polisi. Aksi itu memicu demonstrasi besar-besaran, kekerasan dan penjarahan di hampir seluruh kota di Tunisia. Aparat keamanan gagal menghentikan kekuatan rakyat (people power) yang lapar. Diilhami "keberhasilan" di Tunisia, kini protes rakyat miskin yang lapar menular ke Aljazair, Haiti, dan Mesir.

Kekhawatiran krisis pangan di Indonesia dipicu oleh kenaikan harga pangan yang tak berkesudahan. Anomali iklim diyakini sebagai penyebab turunnya produksi pangan. Sesuai dengan hukum supply-demand, harga naik saat pasokan seret. Sejak awal 2010 sampai kini, harga pangan bergejolak dan cenderung terus melonjak. Menurut Badan Pusat Statistik (2011), dari Desember 2009 sampai Desember 2010 harga beras naik 30,9 persen, cabai rawit 119,14 persen, cabai merah 62,41 persen, minyak goreng 9,89 persen, telur ayam ras 9,82 persen, dan daging ayam naik 6,65 persen. Adapun kenaikan harga daging sapi, susu kental, gula pasir, dan tepung terigu relatif rendah. Warga miskin yang rata-rata pengeluaran pos pangannya mencapai 73,5 persen terpukul daya belinya.

Akibat gejolak harga pangan, target inflasi 2010 sebesar 5,3 persen meleset jauh: 6,9 persen. Menurut BPS, pemerintah gagal mengamankan target inflasi karena gejolak harga pangan tidak bisa dijinakkan. Pada 2010, kelompok bahan makanan memberikan sumbangan inflasi sebesar 3,5 persen, disusul kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau (1,23 persen); perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar (1,01 persen); serta sandang (0,45 persen). Secara khusus, sumbangan komoditas beras paling besar (1,29 persen), disusul cabai (0,32 persen).

Tahun ini potensi inflasi tinggi masih mengintai. Menurut Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (2011), inflasi tinggi dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak, rencana pembatasan BBM bersubsidi, dan pencabutan batas atas (capping) tarif listrik untuk industri. Ketiga hal itu berpotensi menambah inflasi sekitar 0,8-1,32 persen dari asumsi atau target yang dipatok pemerintah: 5,3 persen. Artinya, peluang inflasi berkisar 6,1-6,62 persen. Jika ditambah potensi inflasi dari kenaikan harga pangan, hambatan distribusi, serta yang lain, inflasi bisa menembus 7 persen. Jika ini yang terjadi, pemerintah akan kembali menjadi sasaran hujatan. Sebab, seperti perampok, inflasi akan membuat daya beli warga anjlok. Jumlah barisan warga miskin yang mencapai 31 juta (13,33 persen) bakal bertambah banyak.

Sebagai otoritas fiskal, pemerintah tidak tinggal diam. Pemerintah mengambil langkah-langkah penangkal krisis pangan dan penjinak inflasi. Sayangnya, kebijakan yang diambil justru kontraproduktif, bahkan berpotensi besar menghancurkan pangan petani domestik. Ini bisa dilihat dari pembebasan bea masuk selama setahun atas 57 pos tarif beras, gandum, kedelai, bahan baku pupuk. dan bahan pakan ternak. Pemerintah yakin, dengan pembebasan bea masuk, suplai pangan akan terjamin. Pada saat yang sama, suplai yang aman akan menekan instabilitas harga pangan, yang pada gilirannya bakal mencegah terjadinya spiral inflasi akibat harga pangan yang tidak terkendali seperti tahun lalu.

Kebijakan ini merupakan implementasi dua dari sembilan jurus penangkal krisis pangan yang dipaparkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 5 Januari lalu, yaitu kebijakan fiskal, khususnya pembebasan bea masuk, dan memastikan suplai pangan dalam negeri lewat impor. Tujuh jurus lainnya adalah operasi pasar, memastikan stok beras di Bulog mencukupi untuk mencegah spekulasi, mendorong gerakan pangan lokal dan keluarga, meningkatkan produksi dan produktivitas pangan domestik, mencegah penyelundupan dan penimbunan, melakukan kalkulasi produksi pangan secara akurat, serta mengamankan lahan-lahan pertanian dari aktivitas alih fungsi. Dua langkah para menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II itu tidak lebih dari jurus pemadam kebakaran yang sifatnya jangka pendek, dan tak menyentuh jantung persoalan. Alih-alih menangkal, krisis pangan bisa jadi meledak.

Sampai saat ini, neraca perdagangan subsektor tanaman pangan Indonesia masih negatif, yang pada 2008 mencapai US$ 3.178 juta atau Rp 31,78 triliun (kurs Rp 10 ribu per dolar Amerika Serikat). Angka ini sekitar 3 persen anggaran pendapatan dan belanja negara, jauh di atas anggaran Kementerian Pertanian 2009 (Rp 8,4 triliun). Defisit itu menunjukkan betapa besarnya ketergantungan kita pada pangan impor. Meskipun produksi padi, jagung, dan gula naik, sampai saat ini kita belum bisa keluar dari ketergantungan impor susu (90 persen dari kebutuhan), gula (30 persen), garam (50 persen), gandum (100 persen), kedelai (70 persen), daging sapi (30 persen), induk ayam, dan telur. Padahal, kecuali gandum, pangan impor itu bisa dikembangkan di dalam negeri.

Tidak sulit untuk menduga bahwa pembebasan bea masuk 57 pos tarif adalah legalisasi derasnya arus pangan impor ke Indonesia. Jika pangan impor itu menekan harga pangan petani, dan membuat pendapatan negara dari bea (masuk) turun, itu dampak sekunder. Yang penting target inflasi tahun ini (5,3 persen) terkendali. Sungguh ironis. Sebab, tidak ada jaminan amannya suplai pangan dari impor membuat harga pangan stabil, yang kemudian inflasi bisa dijinakkan. Pemerintah sepertinya lupa bahwa kita tidak memiliki instrumen stabilisasi harga pangan selain beras. Gejolak harga pangan saat ini terjadi tidak semata-mata masalah suplai, tapi lebih karena tidak adanya instrumen stabilisasi. Jadi jurus para menteri KIB II tak ubahnya mengobati sakit kepala dengan obat batuk.

Tanpa menyentuh jantung persoalan pangan dengan kebijakan yang berdimensi jangka panjang, setiap saat Indonesia bisa terancam krisis pangan. Diperlukan koreksi kebijakan yang mendasar. Pertama, memastikan sumber daya alam (tanah, air, hutan, dan sumber-sumber produksi lain) ada dalam kontrol petani/komunitas lokal. Perlu penataan ulang penguasaan/kepemilikan sumber daya lewat reformasi agraria. Kedua, sumber daya itu harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk memproduksi aneka pangan lokal sesuai dengan keanekaragaman hayati dan kearifan lokal. Ketiga, mendahulukan pengembangan aneka pangan yang bisa diproduksi sendiri ketimbang impor. Keempat, membalik model pertanian ekspor-industrial-monokultur ke model lokal-keluarga/komunitas-multikultur. Kelima, merancang ulang pasar pertanian-pangan. Liberalisasi kebablasan harus dikoreksi. Keenam, menyusun langkah adaptasi iklim yang massif dan komprehensif.

URL Source: http://korantempo.com/korantempo/koran/2011/01/31/Opini/krn.20110131.225740

Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia dan anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...