Oleh: Siswono Yudo Husodo
Kenaikan harga pangan yang didorong meningkatnya biaya produksi dan penurunan pasokan ke pasar telah meningkatkan inflasi yang menurunkan kesejahteraan rakyat.
Bagi mayoritas rakyat Indonesia, porsi pendapatan untuk belanja pangan masih sangat besar. Akibatnya, sejak dahulu harga pangan jadi faktor pembentuk inflasi dominan. Perlu kebijakan tepat dan pelaksanaan konsisten berjangka panjang untuk mengendalikan inflasi pangan.
Hingga hari ini, upaya pemerintah mengendalikan inflasi pangan adalah dengan menekan harga; antara lain dengan impor beras dan produk pangan lain. Peningkatan produksi dan skala usaha petani guna menekan inflasi pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani belum ditempuh sungguh-sungguh. Bulan lalu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No 13/2011. Melalui PMK ini, 57 jenis komoditas pangan, termasuk gandum, beras, dan jagung, bea masuk (BM)-nya diturunkan menjadi 0 persen.
Dua kesalahan mendasar dibuat melalui kebijakan itu. Pertama, PMK menghilangkan insentif harga untuk peningkatan produksi beras dalam negeri. Pengalaman 2003 dan 2004, peningkatan harga gabah tahun-tahun itu jadi pendorong utama naiknya produksi beras. Bantaran sungai, tepi danau, rawa-rawa lebak, di mana-mana ditanami padi karena harga gabah yang baik.
Kedua, mendorong diversifikasi pangan ke arah salah. PMK No 13/2011 menetapkan BM gandum 0 persen. Pemerintah secara sadar, intens, dan bertahap, membuat rakyat jadi pemakan mi dan roti berbahan baku gandum yang tak bisa kita tanam sendiri serta mematikan diversifikasi pangan berbasis bahan baku lokal. Sebelum kebijakan ini keluar, impor gandum tahun lalu sudah 7,2 juta ton, menyedot devisa 1,5 miliar dollar AS lebih. Konsumsi gandum per kapita per tahun meningkat dari 8,4 kg per kapita (2005) ke 10,3 kg per kapita (2009). Semestinya, karena masyarakat modern gemar makanan cepat saji, seperti mi dan roti, pemerintah mendorong tumbuhnya pabrik mi berbahan baku lokal, seperti tepung beras (menjadi kwetiau dan bihun), tepung kacang hijau (menjadi suun), dan tepung ubi (menjadi soba, makanan Jepang). Dan, roti berbahan baku lokal, seperti tepung beras, tepung jagung (menjadi tortila, makanan Meksiko), dan tepung sagu.
Indonesia sumber tepung sagu terbesar dunia; separuh hutan sagu dunia ada di sini. Jika pemerintah membebaskan PPh (Pajak Penghasilan) dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk industri tepung beras, tepung jagung, tepung ubi, dan tepung sagu, jenis tepung itu akan berkembang pesat. Apa bedanya membuat 0 persen BM terigu dengan 0 persen PPh dan PPN industri tepung berbahan baku lokal?
Dikendalikan pihak luar
PMK No 13/2011 juga menetapkan BM pupuk urea 0 persen. Jika pemerintah mengantisipasi kenaikan kebutuhan urea, seharusnya meninjau kembali ketentuan penjualan gas dari ladang gas nasional yang hanya boleh maksimal 30 persen dijual di dalam negeri yang menyebabkan pabrik-pabrik pupuk kekurangan bahan baku. Di sisi lain, pemerintah mengenakan pajak ekspor CPO 25 persen. Sulit dimengerti, pada saat negara lain mendorong ekspor dan menghambat impor, BM pangan kita buat nol dan pajak ekspor dinaikkan.
Kebijakan itu menimbulkan kecurigaan, kebijakan pangan kita diatur kepentingan luar dan atau lobi-lobi bisnis untuk mengeruk keuntungan dengan merugikan kepentingan nasional. Munculnya PMK No 13/2011 menunjukkan pemerintah belum punya politik pangan yang mantap. Pemerintah selalu cari jalan mudah, tetapi merugikan bangsa dan negara dalam jangka panjang. Program revitalisasi pertanian sudah dicanangkan sejak periode pertama Presiden Yudhoyono dan didukung penuh DPR. Kebijakan yang akan mengantar pada kemandirian pangan tak dapat terwujud hanya dengan mengandalkan kerja keras sektor pertanian, tetapi juga memerlukan dukungan semua sektor.
Kini dan ke depan, pertumbuhan penduduk Indonesia masih tinggi, sekitar 1,4 persen per tahun. Pemerintah harus mengantisipasi kenaikan permintaan pangan dengan pertumbuhan produksi lebih tinggi dari laju pertambahan penduduk agar kebijakan swasembada pangan dapat terus kita pertahankan.
Semangat PMK No 13/2011 mengaburkan fokus peningkatan produksi dan kemandirian pangan. Banyak manfaat jika dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan dan menekan inflasi pangan pemerintah memberikan insentif bagi peningkatan produksi. Kunci utamanya: insentif harga, perluasan areal pertanian, perluasan lahan/petani, peningkatan teknologi (terutama benih), sistem budidaya, dan perlindungan produksi dalam negeri.
Selayaknya peningkatan produksi dicapai dengan penggunaan benih unggul produksi lokal. Jangan sampai tergantung impor benih. Industri perbenihan nasional perlu insentif memadai. Pembukaan areal pertanian tanaman pangan baru di luar Jawa sekitar 300.000 ha per tahun suatu keharusan untuk mengejar target pertambahan produksi berbagai komoditas pangan (beras, jagung, kedelai, tebu, kacang- kacangan, dan sayur-sayuran) serta mengganti lahan pertanian produktif Jawa yang beralih fungsi.
Perluasan areal pertanian juga untuk memperluas lahan pengusahaan per petani. Pada era otonomi daerah, pemda perlu aktif mendukung pembangunan kemandirian pangan. Amat kecilnya alokasi APBD kabupaten dan provinsi untuk pembangunan infrastruktur jalan pedesaan dan irigasi menekan potensi pertumbuhan di desa yang umumnya berbasis pertanian.
Ada jargon sejarah yang patut direnungkan, ”Bangsa yang tak mampu memetik pelajaran dari kesalahan sejarah masa lalunya akan dihukum oleh sejarahnya sendiri dengan mengalami lagi kepahitan yang pernah dialaminya pada waktu lalu”. Dengan keleluasaan impor pangan, kita sedang menuju jadi negara yang pangannya dijajah negara lain.
Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Pancasila
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/02/25/03065973/politik.pangan.yang.salah.arah
Kenaikan harga pangan yang didorong meningkatnya biaya produksi dan penurunan pasokan ke pasar telah meningkatkan inflasi yang menurunkan kesejahteraan rakyat.
Bagi mayoritas rakyat Indonesia, porsi pendapatan untuk belanja pangan masih sangat besar. Akibatnya, sejak dahulu harga pangan jadi faktor pembentuk inflasi dominan. Perlu kebijakan tepat dan pelaksanaan konsisten berjangka panjang untuk mengendalikan inflasi pangan.
Hingga hari ini, upaya pemerintah mengendalikan inflasi pangan adalah dengan menekan harga; antara lain dengan impor beras dan produk pangan lain. Peningkatan produksi dan skala usaha petani guna menekan inflasi pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani belum ditempuh sungguh-sungguh. Bulan lalu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No 13/2011. Melalui PMK ini, 57 jenis komoditas pangan, termasuk gandum, beras, dan jagung, bea masuk (BM)-nya diturunkan menjadi 0 persen.
Dua kesalahan mendasar dibuat melalui kebijakan itu. Pertama, PMK menghilangkan insentif harga untuk peningkatan produksi beras dalam negeri. Pengalaman 2003 dan 2004, peningkatan harga gabah tahun-tahun itu jadi pendorong utama naiknya produksi beras. Bantaran sungai, tepi danau, rawa-rawa lebak, di mana-mana ditanami padi karena harga gabah yang baik.
Kedua, mendorong diversifikasi pangan ke arah salah. PMK No 13/2011 menetapkan BM gandum 0 persen. Pemerintah secara sadar, intens, dan bertahap, membuat rakyat jadi pemakan mi dan roti berbahan baku gandum yang tak bisa kita tanam sendiri serta mematikan diversifikasi pangan berbasis bahan baku lokal. Sebelum kebijakan ini keluar, impor gandum tahun lalu sudah 7,2 juta ton, menyedot devisa 1,5 miliar dollar AS lebih. Konsumsi gandum per kapita per tahun meningkat dari 8,4 kg per kapita (2005) ke 10,3 kg per kapita (2009). Semestinya, karena masyarakat modern gemar makanan cepat saji, seperti mi dan roti, pemerintah mendorong tumbuhnya pabrik mi berbahan baku lokal, seperti tepung beras (menjadi kwetiau dan bihun), tepung kacang hijau (menjadi suun), dan tepung ubi (menjadi soba, makanan Jepang). Dan, roti berbahan baku lokal, seperti tepung beras, tepung jagung (menjadi tortila, makanan Meksiko), dan tepung sagu.
Indonesia sumber tepung sagu terbesar dunia; separuh hutan sagu dunia ada di sini. Jika pemerintah membebaskan PPh (Pajak Penghasilan) dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk industri tepung beras, tepung jagung, tepung ubi, dan tepung sagu, jenis tepung itu akan berkembang pesat. Apa bedanya membuat 0 persen BM terigu dengan 0 persen PPh dan PPN industri tepung berbahan baku lokal?
Dikendalikan pihak luar
PMK No 13/2011 juga menetapkan BM pupuk urea 0 persen. Jika pemerintah mengantisipasi kenaikan kebutuhan urea, seharusnya meninjau kembali ketentuan penjualan gas dari ladang gas nasional yang hanya boleh maksimal 30 persen dijual di dalam negeri yang menyebabkan pabrik-pabrik pupuk kekurangan bahan baku. Di sisi lain, pemerintah mengenakan pajak ekspor CPO 25 persen. Sulit dimengerti, pada saat negara lain mendorong ekspor dan menghambat impor, BM pangan kita buat nol dan pajak ekspor dinaikkan.
Kebijakan itu menimbulkan kecurigaan, kebijakan pangan kita diatur kepentingan luar dan atau lobi-lobi bisnis untuk mengeruk keuntungan dengan merugikan kepentingan nasional. Munculnya PMK No 13/2011 menunjukkan pemerintah belum punya politik pangan yang mantap. Pemerintah selalu cari jalan mudah, tetapi merugikan bangsa dan negara dalam jangka panjang. Program revitalisasi pertanian sudah dicanangkan sejak periode pertama Presiden Yudhoyono dan didukung penuh DPR. Kebijakan yang akan mengantar pada kemandirian pangan tak dapat terwujud hanya dengan mengandalkan kerja keras sektor pertanian, tetapi juga memerlukan dukungan semua sektor.
Kini dan ke depan, pertumbuhan penduduk Indonesia masih tinggi, sekitar 1,4 persen per tahun. Pemerintah harus mengantisipasi kenaikan permintaan pangan dengan pertumbuhan produksi lebih tinggi dari laju pertambahan penduduk agar kebijakan swasembada pangan dapat terus kita pertahankan.
Semangat PMK No 13/2011 mengaburkan fokus peningkatan produksi dan kemandirian pangan. Banyak manfaat jika dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan dan menekan inflasi pangan pemerintah memberikan insentif bagi peningkatan produksi. Kunci utamanya: insentif harga, perluasan areal pertanian, perluasan lahan/petani, peningkatan teknologi (terutama benih), sistem budidaya, dan perlindungan produksi dalam negeri.
Selayaknya peningkatan produksi dicapai dengan penggunaan benih unggul produksi lokal. Jangan sampai tergantung impor benih. Industri perbenihan nasional perlu insentif memadai. Pembukaan areal pertanian tanaman pangan baru di luar Jawa sekitar 300.000 ha per tahun suatu keharusan untuk mengejar target pertambahan produksi berbagai komoditas pangan (beras, jagung, kedelai, tebu, kacang- kacangan, dan sayur-sayuran) serta mengganti lahan pertanian produktif Jawa yang beralih fungsi.
Perluasan areal pertanian juga untuk memperluas lahan pengusahaan per petani. Pada era otonomi daerah, pemda perlu aktif mendukung pembangunan kemandirian pangan. Amat kecilnya alokasi APBD kabupaten dan provinsi untuk pembangunan infrastruktur jalan pedesaan dan irigasi menekan potensi pertumbuhan di desa yang umumnya berbasis pertanian.
Ada jargon sejarah yang patut direnungkan, ”Bangsa yang tak mampu memetik pelajaran dari kesalahan sejarah masa lalunya akan dihukum oleh sejarahnya sendiri dengan mengalami lagi kepahitan yang pernah dialaminya pada waktu lalu”. Dengan keleluasaan impor pangan, kita sedang menuju jadi negara yang pangannya dijajah negara lain.
Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Pancasila
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/02/25/03065973/politik.pangan.yang.salah.arah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya