Rabu, 23 Februari 2011

Monarki Sepak Bola

Oleh: Rendy P Wadipalapa

Sebuah kerajaan sedang dibangun di Indonesia. Tidak dalam konstitusi kita, tetapi justru dalam bidang olahraga.

Itu tampak dari kentalnya persekutuan golongan yang telah memanaskan pemilihan ketua umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang baru. Hasil rapat Komisi Pemilihan Ketua Umum PSSI pun memutuskan dua calon penantang (George Toisutta dan Arifin Panigoro) tidak lolos verifikasi; sementara dua calon petahana (Nurdin Halid dan Nirwan D Bakrie) lolos tanpa catatan. Penjelasan dan kriteria yang dipakai untuk meloloskan dan menggagalkan calon hingga kini masih mengundang perdebatan.

Analisis atas argumentasi dua pihak dalam debat itu bukanlah tujuan tulisan ini, melainkan lebih pada jawaban dari mengapa suatu pola genealogi yang sangat khas dalam sejarah kekuasaan politik menjalar demikian mendalam pada dimensi olahraga kita. Mengapa hasrat mewujudkan monarki melalui turunan dan anak-pinak dari struktur lama masih juga dipelihara dan dipertahankan.

Sentimen Sisilia

Sampai kini, tidak satu penjelasan pun yang cukup memuaskan untuk menenangkan gejolak yang telanjur terjadi pada masyarakat. Keanehan demi keanehan memang bukan barang baru di tubuh federasi sepak bola nasional. Dalam kongres tahunan PSSI di Bali, beberapa waktu lalu, aklamasi diambil sebagai kata putus untuk memuluskan pertanggungjawaban sang ketua. Sementara rakyat tahu ada banyak pergunjingan dan kegagalan yang pantas jadi bahan pertimbangan performa kinerja sang ketua.

Inilah organisasi yang secara telanjang mempraktikkan nalar despotik ke jantung tubuhnya dan pemberhalaan membabi buta atas suatu struktur yang terus melindungi dirinya dari kritik apa pun. Langsung atau tidak, terjadilah adaptasi atas monarki yang hampir-hampir secara tipis dapat diterjemahkan sebagai monarki absolut. Terjadilah kepengapan dalam sirkulasi kepemimpinan, analog dengan logika kekaisaran yang sirkulasi kekuasaannya hanya dimungkinkan berdasarkan trah keturunan.

Dengan demikian, menjadi penting dihitung unsur yang menyerupai sentimen ”mereka” dan ”kami”, kroni-bukan kroni, guna membangun distingsi yang memetakan siapa saja yang diizinkan dan tidak untuk mengakses kekuasaan. Semua itu dapat dimiripkan dengan apa yang jadi tradisi dalam keluarga mafia Sisilia, Italia. Sentimen Sisilia mengedepankan nepotisme dan kolusi antarkelompok sedarah, digunakan untuk melindungi kekuasaan dari risiko pengambilalihan oleh kelompok lain.

Daya tarik olahraga sepak bola dilihat memiliki nilai jual politik yang tinggi, terutama dari segi popularitas, sehingga dimungkinkan siapa yang jadi ketua federasi akan dikenang jasanya; dengan catatan, tim sepak bola kita dapat berprestasi. Meski demikian, tidakkah pernah disadari bahwa rakyat hampir tak mungkin lagi dibodohi dengan klaim kesuksesan yang berkali-kali didengungkan oleh PSSI, sementara kita tahu PSSI dipenuhi kegagalan-kegagalan yang tak lagi bisa ditoleransi. Mengapakah kebebalan itu terus berlanjut tanpa pernah bisa dihentikan?

Semakin hari semakin terlihat bahwa upaya mereformasi federasi ternyata sama beratnya dengan mengorganisasikan reformasi politik. Terlalu banyak variabel yang jadi duri bagi itikad reformasi, mulai dari regulasi hingga resistensi kelompok berkuasa. Siapa yang pernah menyangka nalar despotik dan monarki dapat langgeng bertahun- tahun tanpa pernah ada yang mampu melakukan koreksi atasnya. Padahal, protes dan sumpah seranah tak pernah kendur dilantangkan untuk mendorong PSSI menjauh dari tubir jurang.

Kalau mau berhitung, sebetulnya tak sulit menangkap kemacetan yang menghalangi proses transformasi sepak bola Indonesia. Hanya, persoalannya: tidak pernah ada keinginan untuk mendeteksi penyakitnya dari dalam tubuh; sementara kecenderungan menyalahkan kondisi eksternal terus-menerus diambil sebagai pilihan untuk menghibur diri. Wajarlah kini manajemen sepak bola kita sempoyongan.

Intervensi

Pada saat sama, pemerintah, melalui Menteri Pemuda dan Olahraga, tiba-tiba mengeluarkan pernyataan yang menuntut koreksi atas Statuta PSSI serta mendesak transparansi pencalonan. Pertanyaan kembali berbalik: ada apa dengan pemerintah? Mengapa baru sekarang bereaksi atas ketidakberesan Statuta PSSI?

Wajar jika rakyat heran dan bertanya demikian. Sebab, maksud baik intervensi pemerintah —kendatipun oleh FIFA intervensi sangat dilarang—untuk membereskan silang sengkarut PSSI tak lebih dari pahlawan kesiangan. Memberikan obat tatkala kanker sudah merusak organ dalam seluruhnya agaknya tidak berarti apa-apa kecuali jika langkah itu dihinggapi kepentingan lain. Rakyat harus kritis menilai apakah ada motif politik yang juga diusung pemerintah.

Sejujurnya, penulis lebih percaya pada gerakan mandiri masyarakat sipil pencinta olahraga ketimbang gaya selayaknya pahlawan kesiangan yang diperankan pemerintah. Upaya-upaya yang dikerjakan dengan serius untuk membina olahraga sejak dini (misalnya liga remaja sebagaimana digagas oleh koran ini), jauh lebih efektif daripada terlibat terlalu jauh ke dalam sengkarut dan debat kusir kepengurusan.

Rasa frustrasi harus diartikulasikan dalam bentuk yang nyata dan konkret untuk menghemat energi. Sebab, monarki dapat dijatuhkan sesungguhnya bukan semata-mata dari protes dan demonstrasi, melainkan dari pembuktian bahwa rakyat memiliki pilihan kreatif yang jauh lebih baik daripada apa yang telah diperbuat oleh penikmat monarki.

Rendy P Wadipalapa Pengajar FISIP Universitas Airlanga

Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/02/23/03042324/monarki.sepak.bola

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...