Kamis, 10 Februari 2011

Matinya Keindonesiaan Kita

Oleh: KIKI SYAHNAKRI

Fenomena maraknya kembali tindak kekerasan mencuatkan pertanyaan, apa yang sedang terjadi dengan Republik tercinta ini? Kasus kekerasan di Cikeusik, Pandeglang, yang mengakibatkan tewasnya tiga warga Ahmadiyah dan sejumlah lainnya luka-luka, serta insiden di Pengadilan Negeri Temanggung yang dilatari kasus dugaan penistaan agama—yang berujung pada pembakaran dua gereja serta sejumlah sekolah—mencerminkan rapuhnya soliditas nasional dan rentannya negeri kita terhadap konflik.

Kedua insiden tersebut memancing reaksi berbagai kalangan, antara lain yang meminta agar kaum ulama lebih serius membina umat. Ada yang menuding lemahnya penegakan hukum dan lambannya aparat sebagai soal utama.

Bahkan, beredar pula dugaan yang lebih bersifat rumor dan agak tendensius. Misalnya, bahwa ini adalah metode pengalihan isu yang dilakukan pemerintahan SBY, atau cara yang dipakai TNI untuk menggoyang SBY, atau wujud balasan terhadap para tokoh agama yang menilai pemerintah berbohong.

Memang analisis yang cenderung ”liar” ini menjadi seolah logis, mengingat banyak kasus raksasa yang belum terselesaikan, bahkan dipolitisasi. Namun, tuduhan serta rumor tersebut sulit dibuktikan. TNI pun sudah cukup jauh dalam reformasi internalnya, konsisten sebagai bayangkari NKRI, dan tidak lagi akrab dengan intrik politik sehingga mustahil melakukan hal seperti itu.

Dengan demikian, kita perlu menggali lebih dalam untuk menemukan akar masalah sesungguhnya. Jika tidak, yang terjadi hanyalah solusi eksperimental, sekadar uji coba, dan tak kunjung tuntas. Kendati para tokoh agama telah melakukan pembinaan umat dengan serius, aparat telah bertindak cerdas, tegas, dan cepat, tetapi persoalan serupa akan muncul kembali selama akar utamanya tidak dicabut.

Masalah fundamental

Hemat penulis, akar pokok problematika keindonesiaan saat ini bercabang tiga. Pertama, telah dipaksakan suatu ”transplantasi (demokrasi) liberal” di negeri ini. Dengan demikian, kita telah membunuh ”gen” keindonesiaan yang mengalir dalam darah kebangsaan kita. ”Golongan darah” kita adalah Pancasila yang mengandung ”gen” kolektivisme (ala Indonesia) berisi nilai kekeluargaan, gotong royong, musyawarah-mufakat, dan toleransi.

Sementara kita transplantasikan ”demokrasi liberal” yang golongan darahnya individualisme, terlebih disertai dengan kebebasan yang nyaris tanpa batas sehingga melunturkan jati diri bangsa dan spirit nasionalisme, menggoyahkan persatuan dan kerukunan, serta mengebiri kedaulatan negara.

Karena transplantasi yang tidak sesuai dengan ”golongan darah” sendiri tersebut, tubuh bangsa kita pun bersikap reaktif dan menjadi lemah daya tahannya, menimbulkan berbagai patologi sosial, serta problematika bangsa yang kompleks.

Dari segi politik, sistem politik yang ”ultraliberal”, menggunakan voting, pemilihan langsung, seraya membuang sistem permusyawaratan perwakilan yang sesungguhnya menjadi basis kulturalis bangsa Indonesia.

Bung Hatta menegaskan bahwa ”Prinsip demokrasi adalah keterwakilan yang mengedepankan egalitarianisme”, sementara praktik demokrasi liberal yang mengusung ”keterpilihan” dewasa ini justru ”membunuh” prinsip egaliter dan keterwakilan itu.

Sebagai contoh empiris, seharusnya suku Amungme, Dani, Baduy, Anak Dalam, dan berbagai kelompok minoritas diwakili dengan cara ”ditunjuk”, bukan dipilih (karena tidak mungkin mereka terwakili dengan cara pemilihan free fight). Keterwakilan juga merupakan perekat bagi bangsa yang serba majemuk seperti Indonesia. Dengan tidak terwakilinya berbagai suku dan golongan di parlemen, ikatan kebangsaan pun menjadi longgar.

Seiring dengan watak liberalisme, kebebasan pun berkembang nyaris tanpa batas sehingga masyarakat bisa berbuat apa saja. Partai politik tumbuh bagaikan jamur, otonomi daerah dengan semangat pemekaran nyaris tidak terkontrol, feodalisme meningkat, dan nafsu berburu kekuasaan tumbuh subur pada semua lapisan masyarakat.

Akibatnya, rekrutmen kepemimpinan lewat pemilu atau pilkada justru hanya menghasilkan pemimpin yang umumnya karbitan, tidak berkarakter, tidak berkompetensi, serta korup. Sebaliknya, telah mewabah di kalangan para elite politik sikap machiavellian, kolusi, nepotisme, dan politik uang.

Dari optik ekonomi, implementasi pasar bebas membuat perekonomian nasional nyaris dikuasai asing, gelombang privatisasi terjadi tanpa kendali, kedaulatan ekonomi terampas oleh kaum kapitalis, industri nasional pun rontok karena kalah bersaing.

Pada ranah hukum kita menyaksikan tumpang tindihnya fungsi institusi penegak hukum, maraknya mafia dan perdagangan hukum, politisasi hukum, serta terbengkalainya beberapa kasus besar pelanggaran hukum.

Ujungnya bermuara pada aspek budaya yang mencuatkan perilaku individualisme; materialisme; hedonisme; konsumtivisme; korupsi, kolusi, nepotisme (KKN); fanatisme sempit; fundamentalisme; radikalisme serta anarkisme; bahkan terorisme.

Posisi TNI

Kedua, pemisahan diametral-absolut antara fungsi pertahanan dan keamanan. TNI diposisikan hanya mengamankan negara terhadap ancaman dari luar, sementara segala persoalan keamanan domestik diserahkan kepada Polri tanpa memperhitungkan kompleksitas persoalan keamanan nasional yang penanganannya tidak mungkin dipikul Polri sendirian, bahkan dengan dibantu TNI sekalipun, karena pada hakikatnya pembinaan dan penyelesaian masalah keamanan nasional membutuhkan penanganan terpadu.

Saat ini, kalaupun TNI dapat membantu Polri dalam konteks perbantuan, prosedurnya tidak mudah, rumit, dan memerlukan waktu. Sementara dinamika di lapangan yang eskalatif destruktif memerlukan tindakan cepat, segera, dan tuntas.

Terkait kerusuhan di Cikeusik, Presiden SBY lewat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto telah memerintahkan Polri mencari dan mengungkap tuntas kekerasan tersebut (Kompas, 7/2). Persoalannya, masalah ini bukan sekadar masalah hukum, melainkan juga telah mengakar pada masalah budaya.

Keran kebebasan yang dibuka oleh liberalisme telah membuat latar belakang tindak kekerasan tersebut menjadi sangat variatif sehingga Polri yang secara fungsional hanya bekerja pada ranah penegakan hukum tidak mungkin dapat menuntaskan sampai ke akarnya.

Yang dapat dilakukannya hanya mencari pelaku serta dalang kekerasan dan menyeretnya ke meja hijau. Untuk itu, masyarakat pun tidak bisa hanya menuduh bahwa Polri lamban dan tidak mampu melindungi rakyat. Bahkan, suatu saat Polri pun akan kelelahan karena rentetan permasalahan serupa di masa datang.

Kepemimpinan lemah

Ketiga, lemahnya kepemimpinan. Dengan kemajemukan yang amat lebar, Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang kuat, berkarakter, tegas, dan berani. Lemahnya kepemimpinan dapat membuat buram situasi bangsa, terlebih dalam hegemoni liberalis-kapitalis yang kian mencengkeram. Sementara pada sisi lain hadir pula paham ”talibanisme serta khilafahisme” yang juga ingin menggantikan peran Pancasila.

Salah satu ciri demokrasi liberal adalah mengurangi peran negara (pemerintah) dan, sebaliknya, mengedepankan peran masyarakat yang lebih bebas, suatu hal yang bukan soal di dunia Barat yang tingkat pendidikan serta kesejahteraannya memadai. Namun, bagi masyarakat kita yang masih jauh dari sejahtera dan kematangan, kebebasan tersebut menjadi sangat eksesif.

Maka, hilangnya otoritas dan daya kendali pemerintah pada satu sisi dan meningkatnya pelanggaran hukum pada sisi lain adalah suatu keniscayaan. Oleh karena itu, presiden beserta segenap jajaran pemerintahnya harus benar-benar bersih sehingga mampu memperlihatkan ketegasan dan sikap tanpa kompromi dalam penegakan hukum. Tidak perlu ada keraguan lagi, tak dibutuhkan pencitraan dan kecenderungan bela diri.

Situasi yang dapat mengarah pada disintegrasi di atas hanya dapat dicegah dengan cara mengambil jarak terhadap liberalisme, seraya bangsa Indonesia kembali kepada spirit Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Segala solusi lain hanya bersifat kosmetik dan analgetik, bukan terapi total untuk pemulihan keadaan dan kebangkitan bangsa.

KIKI SYAHNAKRI Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...