Oleh: Makmur Keliat
Watak negara terletak pada kehadiran sekumpulan aturan hukum. Tak sekadar hadir, sekumpulan aturan hukum itu harus dapat pula ditegakkan.
Karena itu, ”negara tanpa hukum” adalah kalimat kontradiktif dengan argumen bahwa situasi anarki bertentangan dengan watak negara. Berangkat dari rentetan logika seperti ini, sering terungkap bahwa pelanggar hukum tak akan pernah ditemukan di wilayah tanpa hukum. Dalam wilayah tanpa hukum, segala hal tak dilarang dan, karena itu pula, segala perilaku dan tindakan dikonstruksikan sama sebangun dengan hukum itu sendiri.
Negara dan keadilan sosial
Negara bukan wilayah tak bertuan di mana setiap orang bebas melakukan apa saja. Negara juga bukan rimba belantara di mana hewan terkuat saja yang bertahan. Bila ini terjadi, manusia tak butuh negara. Dalam situasi hukum rimba, manusia akan kehilangan sisi kemanusiaannya sebab ia mengidentikkan diri sebagai hewan buas.
Sesungguhnya yang membedakan negara sebagai institusi dengan institusi nirnegara adalah bahwa sekumpulan aturan hukum yang ia keluarkan harus dapat diubah jadi kekuasaan paksa fisik guna melindungi setiap warga negara, terutama yang lemah. Ungkapan ”terutama yang lemah” sangat penting sebab dalam situasi tanpa negara, yang paling menderita adalah pihak yang lemah, seperti perempuan, anak-anak, kelompok jompo, dan kelompok yang secara sosial ataupun ekonomi berada di lapisan marginal-bawah.
Dalam situasi tanpa negara, saat semua orang melawan semua orang, kelompok yang kuat secara ekonomi masih dapat melindungi diri dengan membayar pihak lain menjalankan fungsi proteksi. Ini mustahil dapat dilakukan kelompok lemah. Mereka harus bertahan atas kemampuan diri sendiri dan sangat menderita.
Sangat keliru dan menjadi suatu skandal jika ada yang menyatakan negara harus bersikap netral. Yang benar: negara harus berpihak dan keberpihakan kepada pihak lemah ini dikenal dengan istilah keadilan sosial. Tak satu pun negara di dunia ini yang menyangkal bahwa mandat mewujudkan keadilan sosial tak melekat dalam dirinya. Dalam praktik, beban mewujudkan keadilan sosial ini tentu terletak di tangan pemerintah, yang kehadirannya meminjam wibawa dan watak negara itu.
Untuk menjalankan fungsi keadilan sosial, negara harus punya kapasitas keuangan. Salah satu sumber mendapat kapasitas keuangan itu adalah dengan memberi wewenang kepada negara memungut pajak. Mustahil membayangkan suatu negara dapat melaksanakan fungsi keadilan sosial jika tak mampu memungut pajak.
Pajak dalam konteks politik, karena itu, harus dipahami sebagai wujud tali untaian kasih yang menghubungkan negara dengan warganya, khususnya pihak yang lemah. Jika negara tak dapat efektif memungut pajak, maka tali untaian kasih yang menghubungkan negara dengan warga yang lemah juga akan terputus.
Organisasi kejahatan mafia tentu punya kekuasaan. Biasanya diberi label sebagai kejahatan yang terorganisasi, mafia sebagai institusi punya aturan hukum di dalamnya. Namun, mafia sebagai institusi niscaya berbeda dengan negara. Publik tak akan mempermasalahkan jika dalam rangka penegakan hukum dengan tujuan mewujudkan keadilan sosial, negara menggunakan ancaman kekuatan paksa fisik yang ia miliki.
Bukankah negara satu-satunya institusi yang punya legitimasi politik melakukan paksa fisik? Legitimasi politik seperti ini tak dimiliki organisasi kejahatan mafia. Jika organisasi kejahatan mafia mengancam akan menggunakan paksa fisik ketika melakukan berbagai pungutan ekonomi, ia dianggap melakukan kejahatan dan harus berhadapan dengan negara.
Konsekuensi serius
Dalam perspektif seperti ini, istilah mafia pajak, mafia peradilan, dan mafia hukum membawa beberapa konsekuensi sangat serius ketika dihadapkan dengan konsep negara, khususnya untuk menjelaskan berbagai kasus di Indonesia.
Pertama, terminologi itu menyampaikan pesan: publik tak dapat berharap banyak bahwa negara dapat efektif menjalankan fungsi keadilan sosialnya. Seandainya dugaan triliunan rupiah menguap dari pemalsuan laporan pajak benar adanya, berarti telah terjadi penggerusan terhadap kapasitas keuangan negara menjalankan fungsi keadilan sosialnya.
Seseorang tentu dapat membayangkan manfaat yang diperoleh jika uang korupsi triliunan rupiah hasil penggelapan pajak itu digunakan meluncurkan kebijakan penciptaan lapangan kerja bagi jutaan warga Indonesia yang hidup tanpa memiliki pekerjaan.
Kedua, publik juga tak dapat berharap banyak bahwa hukum akan tetap menjadi barang publik. Istilah mafia hukum dan mafia peradilan memberi kesan bahwa hukum telah jadi barang swasta. Itu berarti, hukum telah tunduk pada mekanisme pasar sehingga tak semua orang mampu menyandarkan diri pada proses hukum.
Hukum sebagai barang swasta pada dasarnya bergantung pada mekanisme jual beli. Warga yang mampu secara ekonomi akan memperoleh ”kepastian hukum”. Ringkasnya, hukum telah berpihak pada yang kuat dan merugikan pihak yang lemah secara ekonomi. Melalui mekanisme transaksional, aturan hukum dijungkirbalikkan hanya demi kepentingan pihak yang kuat.
Ketiga, istilah mafia pajak, mafia hukum, dan mafia peradilan juga menyampaikan pesan bahwa kejahatan telah terjadi di dalam sistem. Keseluruhan istilah ini dikenal dengan nama political-criminal nexus: terjadi baku kait antara penjahat dan orang-orang yang menduduki institusi negara yang justru sebenarnya diharapkan melawan kejahatan itu. Jika ini yang terjadi, sangat sukar mengatasinya.
Political-criminal nexus dapat diibaratkan dengan kejahatan di dalam sebuah rumah yang pelakunya adalah anggota keluarga yang bekerja sama dengan penjahat dari luar rumah. Sistem proteksi apa pun yang dirancang dan secanggih apa pun teknologi yang digunakan, dalam situasi seperti ini tindak kejahatan pasti akan terjadi di dalam rumah itu.
Dalam kasus Italia bagian selatan, misalnya, baku kait politik dengan kejahatan bersifat simbiosis. Politikus dan pejabat negara memberi perlindungan hukum terhadap penjahat mafia. Sebaliknya, penjahat mafia memberi bantuan dana mendukung kampanye politikus dalam pemilihan umum. Situasi seperti ini menciptakan kesulitan besar menegakkan hukum. Negara tetap hadir. Namun, sebagai institusi ia tak mampu melakukan tindakan tegas melawan kejahatan.
Dalam situasi sangat parah, political-criminal nexus menciptakan negara mafia. Konsep negara mafia ini dipakai untuk menjelaskan suatu situasi ketika para pembuat aturan hukum (anggota parlemen), pelaksana aturan hukum (lembaga eksekutif), serta perangkat negara terkait penegakan hukum (lembaga yudikatif), seperti polisi, hakim, jaksa, dan lembaga pemasyarakatan, telah menjadi pelaku kejahatan, pelanggar hukum itu sendiri, dan bagian integral dari proses kejahatan.
Maka, tindakan sangat serius harus segera dilakukan agar Indonesia tak bergerak ke dalam konsep negara mafia. Salah satu titik berangkatnya adalah jujur menjawab: untuk apa negara ini kita dirikan dan pertahankan? Jawabannya tentu sangat ideologis. Politik yang berjalan dalam pragmatisme pasar serta transaksional bukanlah jawabannya sebab, dalam hal ini, negara dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga pasif dan tanpa nilai.
Makmur Keliat Pengajar FISIP Universitas Indonesia
Watak negara terletak pada kehadiran sekumpulan aturan hukum. Tak sekadar hadir, sekumpulan aturan hukum itu harus dapat pula ditegakkan.
Karena itu, ”negara tanpa hukum” adalah kalimat kontradiktif dengan argumen bahwa situasi anarki bertentangan dengan watak negara. Berangkat dari rentetan logika seperti ini, sering terungkap bahwa pelanggar hukum tak akan pernah ditemukan di wilayah tanpa hukum. Dalam wilayah tanpa hukum, segala hal tak dilarang dan, karena itu pula, segala perilaku dan tindakan dikonstruksikan sama sebangun dengan hukum itu sendiri.
Negara dan keadilan sosial
Negara bukan wilayah tak bertuan di mana setiap orang bebas melakukan apa saja. Negara juga bukan rimba belantara di mana hewan terkuat saja yang bertahan. Bila ini terjadi, manusia tak butuh negara. Dalam situasi hukum rimba, manusia akan kehilangan sisi kemanusiaannya sebab ia mengidentikkan diri sebagai hewan buas.
Sesungguhnya yang membedakan negara sebagai institusi dengan institusi nirnegara adalah bahwa sekumpulan aturan hukum yang ia keluarkan harus dapat diubah jadi kekuasaan paksa fisik guna melindungi setiap warga negara, terutama yang lemah. Ungkapan ”terutama yang lemah” sangat penting sebab dalam situasi tanpa negara, yang paling menderita adalah pihak yang lemah, seperti perempuan, anak-anak, kelompok jompo, dan kelompok yang secara sosial ataupun ekonomi berada di lapisan marginal-bawah.
Dalam situasi tanpa negara, saat semua orang melawan semua orang, kelompok yang kuat secara ekonomi masih dapat melindungi diri dengan membayar pihak lain menjalankan fungsi proteksi. Ini mustahil dapat dilakukan kelompok lemah. Mereka harus bertahan atas kemampuan diri sendiri dan sangat menderita.
Sangat keliru dan menjadi suatu skandal jika ada yang menyatakan negara harus bersikap netral. Yang benar: negara harus berpihak dan keberpihakan kepada pihak lemah ini dikenal dengan istilah keadilan sosial. Tak satu pun negara di dunia ini yang menyangkal bahwa mandat mewujudkan keadilan sosial tak melekat dalam dirinya. Dalam praktik, beban mewujudkan keadilan sosial ini tentu terletak di tangan pemerintah, yang kehadirannya meminjam wibawa dan watak negara itu.
Untuk menjalankan fungsi keadilan sosial, negara harus punya kapasitas keuangan. Salah satu sumber mendapat kapasitas keuangan itu adalah dengan memberi wewenang kepada negara memungut pajak. Mustahil membayangkan suatu negara dapat melaksanakan fungsi keadilan sosial jika tak mampu memungut pajak.
Pajak dalam konteks politik, karena itu, harus dipahami sebagai wujud tali untaian kasih yang menghubungkan negara dengan warganya, khususnya pihak yang lemah. Jika negara tak dapat efektif memungut pajak, maka tali untaian kasih yang menghubungkan negara dengan warga yang lemah juga akan terputus.
Organisasi kejahatan mafia tentu punya kekuasaan. Biasanya diberi label sebagai kejahatan yang terorganisasi, mafia sebagai institusi punya aturan hukum di dalamnya. Namun, mafia sebagai institusi niscaya berbeda dengan negara. Publik tak akan mempermasalahkan jika dalam rangka penegakan hukum dengan tujuan mewujudkan keadilan sosial, negara menggunakan ancaman kekuatan paksa fisik yang ia miliki.
Bukankah negara satu-satunya institusi yang punya legitimasi politik melakukan paksa fisik? Legitimasi politik seperti ini tak dimiliki organisasi kejahatan mafia. Jika organisasi kejahatan mafia mengancam akan menggunakan paksa fisik ketika melakukan berbagai pungutan ekonomi, ia dianggap melakukan kejahatan dan harus berhadapan dengan negara.
Konsekuensi serius
Dalam perspektif seperti ini, istilah mafia pajak, mafia peradilan, dan mafia hukum membawa beberapa konsekuensi sangat serius ketika dihadapkan dengan konsep negara, khususnya untuk menjelaskan berbagai kasus di Indonesia.
Pertama, terminologi itu menyampaikan pesan: publik tak dapat berharap banyak bahwa negara dapat efektif menjalankan fungsi keadilan sosialnya. Seandainya dugaan triliunan rupiah menguap dari pemalsuan laporan pajak benar adanya, berarti telah terjadi penggerusan terhadap kapasitas keuangan negara menjalankan fungsi keadilan sosialnya.
Seseorang tentu dapat membayangkan manfaat yang diperoleh jika uang korupsi triliunan rupiah hasil penggelapan pajak itu digunakan meluncurkan kebijakan penciptaan lapangan kerja bagi jutaan warga Indonesia yang hidup tanpa memiliki pekerjaan.
Kedua, publik juga tak dapat berharap banyak bahwa hukum akan tetap menjadi barang publik. Istilah mafia hukum dan mafia peradilan memberi kesan bahwa hukum telah jadi barang swasta. Itu berarti, hukum telah tunduk pada mekanisme pasar sehingga tak semua orang mampu menyandarkan diri pada proses hukum.
Hukum sebagai barang swasta pada dasarnya bergantung pada mekanisme jual beli. Warga yang mampu secara ekonomi akan memperoleh ”kepastian hukum”. Ringkasnya, hukum telah berpihak pada yang kuat dan merugikan pihak yang lemah secara ekonomi. Melalui mekanisme transaksional, aturan hukum dijungkirbalikkan hanya demi kepentingan pihak yang kuat.
Ketiga, istilah mafia pajak, mafia hukum, dan mafia peradilan juga menyampaikan pesan bahwa kejahatan telah terjadi di dalam sistem. Keseluruhan istilah ini dikenal dengan nama political-criminal nexus: terjadi baku kait antara penjahat dan orang-orang yang menduduki institusi negara yang justru sebenarnya diharapkan melawan kejahatan itu. Jika ini yang terjadi, sangat sukar mengatasinya.
Political-criminal nexus dapat diibaratkan dengan kejahatan di dalam sebuah rumah yang pelakunya adalah anggota keluarga yang bekerja sama dengan penjahat dari luar rumah. Sistem proteksi apa pun yang dirancang dan secanggih apa pun teknologi yang digunakan, dalam situasi seperti ini tindak kejahatan pasti akan terjadi di dalam rumah itu.
Dalam kasus Italia bagian selatan, misalnya, baku kait politik dengan kejahatan bersifat simbiosis. Politikus dan pejabat negara memberi perlindungan hukum terhadap penjahat mafia. Sebaliknya, penjahat mafia memberi bantuan dana mendukung kampanye politikus dalam pemilihan umum. Situasi seperti ini menciptakan kesulitan besar menegakkan hukum. Negara tetap hadir. Namun, sebagai institusi ia tak mampu melakukan tindakan tegas melawan kejahatan.
Dalam situasi sangat parah, political-criminal nexus menciptakan negara mafia. Konsep negara mafia ini dipakai untuk menjelaskan suatu situasi ketika para pembuat aturan hukum (anggota parlemen), pelaksana aturan hukum (lembaga eksekutif), serta perangkat negara terkait penegakan hukum (lembaga yudikatif), seperti polisi, hakim, jaksa, dan lembaga pemasyarakatan, telah menjadi pelaku kejahatan, pelanggar hukum itu sendiri, dan bagian integral dari proses kejahatan.
Maka, tindakan sangat serius harus segera dilakukan agar Indonesia tak bergerak ke dalam konsep negara mafia. Salah satu titik berangkatnya adalah jujur menjawab: untuk apa negara ini kita dirikan dan pertahankan? Jawabannya tentu sangat ideologis. Politik yang berjalan dalam pragmatisme pasar serta transaksional bukanlah jawabannya sebab, dalam hal ini, negara dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga pasif dan tanpa nilai.
Makmur Keliat Pengajar FISIP Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya