Oleh: Kacung Marijan
Lontaran para tokoh lintas agama bahwa pemerintah telah melakukan kebohongan publik menjadi salah satu bola panas minggu-minggu ini. Tampak jelas bahwa pemerintah tidak bisa menerima tuduhan semacam itu. Bahkan, di antara pejabat pemerintah ada yang menuduh balik: posisi para tokoh lintas agama itu sudah di luar batas dan justru merekalah yang telah melakukan kebohongan publik.
Kalau kita telusuri lagi, sebenarnya kasus-kasus yang bisa digolongkan sebagai kebohongan publik cukup banyak. Di antaranya adalah perdebatan Gayus dan anggota Satgas seusai vonis tujuh tahun terhadap mantan pegawai pajak yang menghebohkan itu. Setiap pihak menuduh pihak lain sebagai orang yang memutarbalikkan fakta alias melakukan kebohongan publik.
Dalam perbincangan singkat, seorang kawan bertanya, ”Siapa sih yang benar?”
Agar kawan itu tambah penasaran, saya jawab sekenanya saja, ”Nanti sampean akan tahu sendiri di akhirat!”
Akan tetapi, kawan itu lalu berargumentasi bahwa saat ini sulit menemukan lontaran publik yang betul-betul keluar dari lubuk hati yang tulus dan jujur tanpa kepentingan-kepentingan. Kawan itu mengutip teori dramaturginya Erving Goffman tentang ”panggung depan” dan ”panggung belakang”.
Orang, kata Goffman, cenderung bermain sandiwara. Apa yang menjadi lontaran di ruang publik (panggung depan) bisa berbeda dengan apa yang sesungguhnya terjadi di panggung belakang. Kalau ditempatkan di dalam konteks perdebatan tersebut, setiap pihak memiliki agenda sendiri, ingin kelihatan bagus di ruang publik meskipun di belakang bisa saja sama-sama tidak bagus.
Saya memang tidak sampai pada kesimpulan sebagaimana dikemukakan oleh kawan itu bahwa para pejabat dan tokoh publik itu lebih banyak bermain sandiwara. Akan tetapi, yang berpendirian seperti itu bisa jadi tidak hanya kawan itu. Kalau ini yang terjadi, itu berarti terdapat keraguan tidak hanya terhadap perilaku para pejabat, tetapi juga kepada para tokoh publik itu. Kalau sudah demikian, kita lalu percaya kepada siapa lagi?
Posisi
Munculnya perbedaan tentang permasalahan-permasalahan publik yang berujung pada kesimpulan tentang ada atau tidaknya kebohongan publik tidak lepas dari titik tolak yang berbeda. Contohnya saja dalam memahami jumlah orang miskin. Ukuran yang dipakai pemerintah dengan yang dipakai para pengkritiknya berbeda.
Ketika ditempatkan di dalam ruang akademik, perbedaan semacam itu wajar-wajar saja terjadi. Namun, manakala ditempatkan di dalam ruang politik (public sphere), permasalahannya menjadi lain. Hal ini tidak saja berakibat pada besaran jumlah orang miskin yang sangat berbeda, tetapi juga bisa berpengaruh pada kesan publik terhadap isu itu. Dalam posisi semacam inilah terdapat perbedaan pemahaman yang mencolok antara pemerintah dan para tokoh agama yang menyampaikan kritik tersebut.
Ketika perdebatannya hanya melibatkan para pejabat publik dan para tokoh lintas agama, sebenarnya tidak memiliki konsekuensi yang berarti. Namun, begitu perdebatan itu melibat para ”penonton”, yaitu rakyat yang menyaksikan dan mendengar melalui berbagai media, konsekuensinya jadi luas. Kondisi makin berbelit karena para pejabat publik dan tokoh lintas agama itu tidak hanya kukuh bahwa apa yang dilakukan untuk kepentingan publik, tetapi juga sama-sama membawa ”penonton”.
Di dalam situasi semacam itu, yang terlibat perdebatan tidak bisa lagi hanya menyuguhkan pandangan-pandangannya. Agar publik bisa membuat penilaian, setiap pihak harus menyuguhkan argumentasi mengapa sampai pada pandangan semacam itu secara jujur dan terbuka. Argumentasi juga akan memungkinkan adanya dialog yang produktif di antara pihak-pihak yang terlibat perdebatan.
Energi perbaikan
Lebih dari setengah abad lalu, David Easton berpendapat bahwa agar suatu sistem politik bisa bekerja secara baik membutuhkan energi, baik berupa dukungan maupun tuntutan. Maka, kritik yang dilakukan para tokoh lintas agama itu bisa berfungsi sebagai energi bagi bekerjanya pemerintahan Yudhoyono-Boediono.
Hanya saja, permasalahannya menjadi lain ketika kritik itu justru dipandang sebagai ancaman. Hal ini tidak lepas dari pemberian makna ”kebohongan publik” sebagai bagian dari propaganda untuk menjatuhkan wibawa pemerintahan. Ketika pemahaman demikian yang berkembang, kritik yang dimaksudkan sebagai energi untuk melakukan perbaikan malah ditekan karena dimaknai sebagai sandungan bagi jatuhnya suatu pemerintahan.
Permasalahan semacam itu bisa diatasi manakala setiap pihak bisa membangun komunikasi. Dialog antara pemerintah dan tokoh lintas agama yang dilakukan pada 17 Januari merupakan langkah yang bisa bermakna positif untuk menjembatani perbedaan cara pandang seperti itu. Hanya saja, forum simbolis itu perlu ditindaklanjuti oleh forum-forum lain yang lebih intensif.
Kalau berkaca pada argumentasi pokok ”panggung depan” bahwa semua pihak itu bermaksud memperjuangkan kepentingan publik, seharusnya tidak sulit mencari titik temu. Akan tetapi, manakala yang mengendalikan adalah kepentingan sebagaimana tersimpan di ”panggung belakang”, upaya itu akan lebih sulit dilakukan.
Sebagian tokoh lintas agama itu memang masih kecewa terhadap dialog yang sudah berlangsung. Namun, jangan sampai kekecewaan demikian memutus dialog yang mulai mencair.
Selain itu, kekecewaan juga bukan berarti bahwa apa yang mereka lakukan semata-mata sebagai cerminan permainan panggung sandiwara politik saja. Bagaimanapun, baik di pihak pemerintah maupun tokoh lintas agama terdapat keinginan untuk membawa negeri ini ke arah yang lebih baik.
Adanya upaya serius untuk mewujudkan keinginan baik itu akan menghilangkan pandangan bahwa para pejabat dan tokoh publik yang berseberangan itu tidak sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan rakyat. Mereka hanya bermain-main di ”panggung depan” untuk menutupi kepentingan sesungguhnya di ”panggung belakang”.
Ketertutupan hanya akan membuka ruang dialog dengan logika ”Tuhan”, bahwa hanya diri dan kelompoknyalah yang paling benar dan yang lain salah. Dialog itu harus dilakukan melalui logika ”manusia” bahwa kebenaran pada dasarnya adalah produk dari dialog terbuka antara satu dengan yang lain. Semoga.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/31/03095899/kita.percaya.kepada.siapa.
Kacung Marijan Guru Besar dan Pengamat Sosial Polit
Lontaran para tokoh lintas agama bahwa pemerintah telah melakukan kebohongan publik menjadi salah satu bola panas minggu-minggu ini. Tampak jelas bahwa pemerintah tidak bisa menerima tuduhan semacam itu. Bahkan, di antara pejabat pemerintah ada yang menuduh balik: posisi para tokoh lintas agama itu sudah di luar batas dan justru merekalah yang telah melakukan kebohongan publik.
Kalau kita telusuri lagi, sebenarnya kasus-kasus yang bisa digolongkan sebagai kebohongan publik cukup banyak. Di antaranya adalah perdebatan Gayus dan anggota Satgas seusai vonis tujuh tahun terhadap mantan pegawai pajak yang menghebohkan itu. Setiap pihak menuduh pihak lain sebagai orang yang memutarbalikkan fakta alias melakukan kebohongan publik.
Dalam perbincangan singkat, seorang kawan bertanya, ”Siapa sih yang benar?”
Agar kawan itu tambah penasaran, saya jawab sekenanya saja, ”Nanti sampean akan tahu sendiri di akhirat!”
Akan tetapi, kawan itu lalu berargumentasi bahwa saat ini sulit menemukan lontaran publik yang betul-betul keluar dari lubuk hati yang tulus dan jujur tanpa kepentingan-kepentingan. Kawan itu mengutip teori dramaturginya Erving Goffman tentang ”panggung depan” dan ”panggung belakang”.
Orang, kata Goffman, cenderung bermain sandiwara. Apa yang menjadi lontaran di ruang publik (panggung depan) bisa berbeda dengan apa yang sesungguhnya terjadi di panggung belakang. Kalau ditempatkan di dalam konteks perdebatan tersebut, setiap pihak memiliki agenda sendiri, ingin kelihatan bagus di ruang publik meskipun di belakang bisa saja sama-sama tidak bagus.
Saya memang tidak sampai pada kesimpulan sebagaimana dikemukakan oleh kawan itu bahwa para pejabat dan tokoh publik itu lebih banyak bermain sandiwara. Akan tetapi, yang berpendirian seperti itu bisa jadi tidak hanya kawan itu. Kalau ini yang terjadi, itu berarti terdapat keraguan tidak hanya terhadap perilaku para pejabat, tetapi juga kepada para tokoh publik itu. Kalau sudah demikian, kita lalu percaya kepada siapa lagi?
Posisi
Munculnya perbedaan tentang permasalahan-permasalahan publik yang berujung pada kesimpulan tentang ada atau tidaknya kebohongan publik tidak lepas dari titik tolak yang berbeda. Contohnya saja dalam memahami jumlah orang miskin. Ukuran yang dipakai pemerintah dengan yang dipakai para pengkritiknya berbeda.
Ketika ditempatkan di dalam ruang akademik, perbedaan semacam itu wajar-wajar saja terjadi. Namun, manakala ditempatkan di dalam ruang politik (public sphere), permasalahannya menjadi lain. Hal ini tidak saja berakibat pada besaran jumlah orang miskin yang sangat berbeda, tetapi juga bisa berpengaruh pada kesan publik terhadap isu itu. Dalam posisi semacam inilah terdapat perbedaan pemahaman yang mencolok antara pemerintah dan para tokoh agama yang menyampaikan kritik tersebut.
Ketika perdebatannya hanya melibatkan para pejabat publik dan para tokoh lintas agama, sebenarnya tidak memiliki konsekuensi yang berarti. Namun, begitu perdebatan itu melibat para ”penonton”, yaitu rakyat yang menyaksikan dan mendengar melalui berbagai media, konsekuensinya jadi luas. Kondisi makin berbelit karena para pejabat publik dan tokoh lintas agama itu tidak hanya kukuh bahwa apa yang dilakukan untuk kepentingan publik, tetapi juga sama-sama membawa ”penonton”.
Di dalam situasi semacam itu, yang terlibat perdebatan tidak bisa lagi hanya menyuguhkan pandangan-pandangannya. Agar publik bisa membuat penilaian, setiap pihak harus menyuguhkan argumentasi mengapa sampai pada pandangan semacam itu secara jujur dan terbuka. Argumentasi juga akan memungkinkan adanya dialog yang produktif di antara pihak-pihak yang terlibat perdebatan.
Energi perbaikan
Lebih dari setengah abad lalu, David Easton berpendapat bahwa agar suatu sistem politik bisa bekerja secara baik membutuhkan energi, baik berupa dukungan maupun tuntutan. Maka, kritik yang dilakukan para tokoh lintas agama itu bisa berfungsi sebagai energi bagi bekerjanya pemerintahan Yudhoyono-Boediono.
Hanya saja, permasalahannya menjadi lain ketika kritik itu justru dipandang sebagai ancaman. Hal ini tidak lepas dari pemberian makna ”kebohongan publik” sebagai bagian dari propaganda untuk menjatuhkan wibawa pemerintahan. Ketika pemahaman demikian yang berkembang, kritik yang dimaksudkan sebagai energi untuk melakukan perbaikan malah ditekan karena dimaknai sebagai sandungan bagi jatuhnya suatu pemerintahan.
Permasalahan semacam itu bisa diatasi manakala setiap pihak bisa membangun komunikasi. Dialog antara pemerintah dan tokoh lintas agama yang dilakukan pada 17 Januari merupakan langkah yang bisa bermakna positif untuk menjembatani perbedaan cara pandang seperti itu. Hanya saja, forum simbolis itu perlu ditindaklanjuti oleh forum-forum lain yang lebih intensif.
Kalau berkaca pada argumentasi pokok ”panggung depan” bahwa semua pihak itu bermaksud memperjuangkan kepentingan publik, seharusnya tidak sulit mencari titik temu. Akan tetapi, manakala yang mengendalikan adalah kepentingan sebagaimana tersimpan di ”panggung belakang”, upaya itu akan lebih sulit dilakukan.
Sebagian tokoh lintas agama itu memang masih kecewa terhadap dialog yang sudah berlangsung. Namun, jangan sampai kekecewaan demikian memutus dialog yang mulai mencair.
Selain itu, kekecewaan juga bukan berarti bahwa apa yang mereka lakukan semata-mata sebagai cerminan permainan panggung sandiwara politik saja. Bagaimanapun, baik di pihak pemerintah maupun tokoh lintas agama terdapat keinginan untuk membawa negeri ini ke arah yang lebih baik.
Adanya upaya serius untuk mewujudkan keinginan baik itu akan menghilangkan pandangan bahwa para pejabat dan tokoh publik yang berseberangan itu tidak sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan rakyat. Mereka hanya bermain-main di ”panggung depan” untuk menutupi kepentingan sesungguhnya di ”panggung belakang”.
Ketertutupan hanya akan membuka ruang dialog dengan logika ”Tuhan”, bahwa hanya diri dan kelompoknyalah yang paling benar dan yang lain salah. Dialog itu harus dilakukan melalui logika ”manusia” bahwa kebenaran pada dasarnya adalah produk dari dialog terbuka antara satu dengan yang lain. Semoga.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/31/03095899/kita.percaya.kepada.siapa.
Kacung Marijan Guru Besar dan Pengamat Sosial Polit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya