Oleh: Radhar Panca Dahana
Kemiskinan adalah kewajiban kapitalisme. Dalam sistem ekonomi yang mengedepankan kapital sebagai daya gerak utama, di mana pasar bebas seolah kenyataan yang tak terhindarkan, kemiskinan pun jadi satu hal yang inheren di dalamnya.
Kenyataan teoritik dan praktik ini menjelaskan bagaimana bukan hanya petani gurem dan nelayan, melainkan juga penarik ojek, sopir angkot, pedagang kecil hingga kuli bangunan tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, haknya untuk hidup sebagai manusia.
Rakyat kecil, mereka yang berakar di padang rumput negeri kita, adalah bagian paling tragis dari drama modernisme ekonomi yang kini terjadi, sebagai buah perubahan dan ”peradaban” baru sejak lahirnya Orde Baru hingga Reformasi. Mereka tidak lain hanya batang besar yang segera mengering karena benalu-benalu gemuk yang mengisap dengan kuat menggunakan ilmu, teknologi, dan sistem yang memang berpihak padanya.
Realitas artifisial
Sebuah perhitungan baru memang secara imperatif harus dilakukan. Dengan sadar, dengan sabar, dan dengan kerendahan hati, kelapangan jiwa, serta kebersihan pikiran kita.
Perhitungan itu bisa dimulai dengan memeriksa premis atau logika dasar yang sederhana dari kapitalisme itu sendiri. Pertama, kapitalisme memiliki diktum yang diterima semua pihak bahwa ”semua manusia memiliki peluang atau kesempatan yang sama”. Untuk aktualisasi diri, berkembang, memiliki kuasa atau—tentu—menjadi kaya. Namun, kita mengerti benar, realitas sosial-politik-ekonomi-kultural kita—juga di mana saja—membantah dengan keras premis itu. Karena peluang atau kesempatan itu ternyata harus berhadapan dengan prasyarat keras berupa relasi, kecerdasan, jaringan, teknologi, pengaruh, dan tentu saja modal hingga regulasi yang berpihak.
Akses atau kepemilikan prasyarat di atas menentukan kuat- lemah atau besar-kecilnya peluang seseorang. Maka, tak terelakkan, seseorang harus menyadari dirinya ada pada tingkatan atau kelas tertentu. Kelas yang menyebabkan ia tak memiliki peluang atau kesempatan yang sama dengan penghuni kelas yang lain. Tentu saja, pengusaha kecil bermodal Rp 1 juta tidak mungkin berkompetisi atau memiliki peluang yang sama dengan pengusaha bermodal Rp 1 miliar, terlebih dengan Rp 1 triliun.
Kedua, sistem semacam ini juga dilandasi tujuan dasar untuk meraih profit, keuntungan yang imperatif juga harus tumbuh, berlipat ganda dalam satu satuan waktu tertentu. Keuntungan pengusaha ”1 T” tentu akan berlipat dari modal dasar pengusaha ”1 M”, begitu pun pengusaha ”1 M” akan berusaha mendapatkan keuntungan lebih dari modal dasar pengusaha ”1 Jt”, dan seterusnya. Maka, dari struktur modal saja, peluang itu pun semakin memperlebar jurang perbedaannya, jarak antarkelasnya.
Tidak mengherankan bila kapitalisasi ekonomi sebuah negara pada akhirnya akan menumpuk pada pengusaha dengan modal- modal raksasa. Lebih menggiriskan ketika target pertumbuhan profit membuat raksasa modal itu harus melakukan invasi, mengisap potensi-potensi profit dari para pengusaha liliput.
Pemiskinan pun tidak terhindarkan, bahkan jadi konsekuensi logis dari sistem dan logika seperti ini. Kerakusan dan imperialisasi modal mendapatkan legitimasi, juga legislasi dalam regulasi di semua level. Rumput rakyat pun jadi bagian rumah bangsa yang seolah bernasib harus diinjak atau diratakan oleh buldoser modal, sebelum ia dapat tumbuh dengan baik.
Dengan mencermati dua saja dari logika dasar di atas—dari beberapa hal lain yang bisa disebutkan—kita sudah dapat memahami bagaimana ekonomi yang berkembang di negeri ini, dengan data-data statistik yang seksi, hanya menghadirkan realitas artifisial, jika bukan sebuah kebohongan intelektual atas kenyataan yang ada. Namun, kita bersama—termasuk mereka yang menciptakan dan memutuskan kebijakan—”telanjur” menempatkan semua sukses yang seksi itu sebagai ukuran utama, dasar pemahaman kita pada hidup, pada cara kita bereksistensi.
Sementara, sesungguhnya, dasar-dasar itu menyimpan paradoks, di mana realitas yang hidup ternyata bertentangan dengan premis-premis dasar sistem kapitalistis di atas. Bertentangan dengan perdebatan historisnya dengan Marxisme yang melihat masyarakat berada dalam kelas-kelas yang berada dalam konflik kepentingan (merebut akses atau kuasa pada berbagai sumber daya), tanpa jargon atau pengakuan secara teoritik kapitalisme pun sebenarnya mengakui bahkan menciptakan kelas-kelas itu secara sengaja.
Dengan menyatakan ”semua manusia berpeluang sama” untuk kaya dan berkuasa, sesungguhnya kapitalisme berada dalam utopia. Tentu saja kita paham, keduanya gagal total. Namun, satu hal yang dapat kita terima, sadar atau tidak sadar, keduanya—termasuk dalam turunannya: kapitalisme regulatif atau protektif, dan sosialisme—mengakui kenyataan manusia yang ada dalam kelasnya masing-masing.
Keadilan sosial
Hidup masa kini dan masa depan adalah hasil usaha dan pengabdian dari potensi terbaik kita sebagai manusia. Pertumbuhan dan perkembangan tentu terjadi tanpa harus dengan kerakusan akan dunia (harta). Karena usaha atau kerja bagi kita, masyarakat Nusantara, bukan sekadar cara memenuhi kebutuhan hidup, melainkan bagian dari ibadah kepada-Nya, Yang Mahakuasa, apa pun yang dipercaya oleh masing-masing kita.
Sebuah commune yang dibayangkan Marxisme atau ”peluang yang sama untuk berkuasa dan berharta” dalam kapitalisme sesungguhnya menjadi candu yang memabukkan kesadaran kita akan kenyataan. Tidak haram untuk berlebih harta atau kuasa, tetapi tidak berlebih pun, hidup dengan kepantasan dan kesederhanaan, tentu juga bukan sebuah dosa, bahkan mungkin mulia.
Maka, tidak perlu si pandir jadi pejabat, penipu jadi bangsawan, atau pencuri jadi hartawan; tak perlu Petruk menjadi raja, apalagi dengan cara-cara yang keji, yang mengkhianati kemanusiaannya sendiri. Setiap orang memiliki tugas hidupnya sendiri-sendiri, kewajiban historis, keilahian, dan tuntutan kulturalnya sendiri-sendiri.
Prestasi adalah hasil sebuah disiplin dan perjuangan. Mereka yang tidak cukup kuat berjuang dan disiplin tidak harus merebut prestasi orang lain, atau meraihnya dengan cara-cara yang tidak beradab.
Maka, bila yang berkuasa dan berharta pun menyadari ini, ia akan melihat imperasi kapitalisme, misalnya, yang meminta kita untuk terus meningkatkan laba dan penghasilan, sebagai sebuah imperialisme terhadap kedaulatan dirinya, kemanusiaannya. Bila para petinggi atau raksasa itu mau ”berhenti berprofit”, mencukupkan apa yang sudah dimilikinya, secara tidak langsung ia telah memberikan peluang profit itu kepada orang lain, kepada rakyat hingga di akar rumputnya.
Mungkin di sini keadilan sosial dapat tercipta, di mana kita yang mengupayakannya, pemerintah yang menjaganya.
Radhar Panca Dahana Budayawan
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/02/28/04300133/.kelas.dalam.diri.kita.