Jumat, 31 Desember 2010

TKI Dicueki, TKI Dimobilisasi

Oleh: Ardi Winangun
Pemain ke-12 atau suporter dalam sepakbola ternyata terbukti mampu mendorong sebuah tim sepakbola memenangi sebuah pertandingan. Berangkat dari fakta tersebut, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia, dalam pertandingan putaran pertama final AFF Cup 2010, di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur, Malaysia, memobilisasi seluruh para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berada di Negeri Jiran itu untuk berduyun-duyun ke Stadion Bukit Jalil mendukung tim sepakbola nasional Indonesia melawan tim sepakbola nasional Malaysia.

Langkah untuk memobilisasi para TKI yang dilakukan KBRI adalah dengan menerjunkan petugas KBRI ke kantong-kantong para TKI dan mengajak mereka untuk mendukung tim nasional Indonesia dengan memberi potongan tiket bahkan memberi tiket secara gratis kepada para TKI.

Pentingnya dukungan para pemain ke-12 dalam tim nasional Indonesia yang posisinya ditempati para TKI itu sudah terbukti dalam semifinal AFF 2004. Ribuan TKI yang datang ke Stadion Bukit Jalil mampu mendongkrak semangat tim nasional Indonesia yang tertinggal 1-0, kemudian berubah menjadi unggul 1-4. Dukungan para TKI itulah yang mampu menyemangati Kurniawan D. Julianto, Charis Julianto, Ilham Jaya Kusuma, dan Boaz Salosa, mencetak gol ke gawang tim nasional Malaysia.

Jumlah yang dibutuhkan pemain ke-12 yang jumlahnya mencapai ribuan, bukan suatu hal yang susah untuk dimobilisasi oleh KBRI. Jatah dari FAM atau PSSI-nya Malaysia sebanyak 15.000 kursi, suatu kuota yang kecil. Bila FAM rela memberi jatah kursi kepada supporter Indonesia hingga 50%, dengan kapasitas Stadion Bukit Jalil yang mencapai 100.000 hingga 120.000, itu juga bukan hal yang sulit untuk dipenuhi, sebab jumlah TKI yang berada di Negeri Jiran itu mencapai kisaran 1.000.000 orang.

Namun apa yang dilakukan oleh KBRI terhadap para TKI ini seperti belah bambu, suatu
ketika diangkat atau dibutuhkan, satu saat yang lain dicuekin bahkan dibiarkan ketika mereka membutuhkan bantuan dan pertolongan. Banyak sudah cerita dan fakta perlakuan kasar, siksaan, bahkan sampai pembunuhan terhadap para TKI di Malaysia, namun KBRI bersikap pasif bahkan membiarkan apa yang terjadi.

Dari tidak adanya perlindungan dan bantuan hukum tersebut Pemerintah Malaysia selama
November 2010 pernah mengusir TKI sebanyak 1.132 orang. Dari data yang ada, pada tahun 2009 pengusiran TKI mencapai 32.000 orang, tahun 2008 sebanyak 35.143 orang dan tahun 2007 sebanyak 34.652 orang. Terhadap pengusiran ini mengapa KBRI tidak melakukan apa yang dilakukan ketika hendak memobilisasi mereka untuk mendukung tim nasional Indonesia, dengan memberi berbagai kemudahan dan fasilitas.

Bila pertandingan sepakbola mampu memberi perhatian kepada para TKI di Malaysia, tentu kita berharap tim nasional Indonesia suatu ketika juga mengadakan pertandingan di Arab Saudi, dan negara tujuan para TKI lainnya, sehingga KBRI di sana juga melakukan mobilisasi para TKI. Dengan adanya pertandingan sepakbola, nasib mereka bisa menjadi lebih diperhatikan.

Nasib TKI di Saudi Arabia mungkin sama bahkan lebih parah dengan nasib para TKI yang
berada di Malaysia. Berdasar data dari Migrant Care, jumlah TKI yang bermasalah pada
tahun 2008 sebanyak 45.626 orang. Tahun 2009 sekitar 44.569 orang dan selama Januari-Oktober 2010 mencapai 25.064 orang. Dari data itu, korban terbanyak bekerja di Arab Saudi, berkisar 48,29% hingga 54,10%. Para TKI itu mengalami berbagai nasib yang mengenaskan dari, seperti gaji tidak dibayar, kekerasan seksual, dianiaya sampai tewas, serta dianiaya hingga mengalami cacat fisik.

Bahkan berita yang terakhir diberitakan di media massa, ada sekitar 300 TKI yang
menggelandang hidupnya di kolong jembatan layang di kawasan Kandara, Jeddah. Berita
adanya TKI yang menggelandang di Arab Saudi ternyata tidak hanya di Jeddah, namun
juga di Makkah.

Mereka memilih menjadi gelandangan sebab mereka diperlakukan secara diskriminatif dan tidak adil oleh majikannya, seperti masalah gaji kurang, beban pekerjaan tak sesuai kontrak, korban kekerasan majikan, baik penyiksaan maupun kekerasan seksual. Dan yang lebih menyulitkan ketika mereka tak lagi memegang kartu identitas karena paspor ada di tangan majikan.

Semua hal di atas menunjukan adanya ketidakseriusan dan ketidakpedulian dari KBRI di
Arab Saudi. Berbagai kasus penyiksaan yang berujung pada kematian dan tidak dibayar
gajinya, seolah-olah sebuah cerita yang tak kunjung selesai. Selesai kasus yang satu
muncul kasus yang lainnya.

Pemerintah Indonesia mungkin hanya mengambil keuntungan dan aji mumpung dari keberadaan TKI. Desakan penghentian pengiriman TKI sepertinya tidak akan didengar oleh pemerintah Indonesia, sebab dengan dihentikannya pengiriman para TKI maka devisa negara akan menurun. Pada tahun 2006 para TKI yang bekerja di luar negeri selama setahun menyumbangkan devisa kepada negara sebesar Rp 60 triliun. Dengan devisa itu mampu memberi makan kepada sekitar 30 juta orang di Indonesia. Apa yang dihasilkan para tenaga kerja itu sebuah prestasi yang luar biasa sebab jumlahnya kedua terbesar setelah peringkat utama dari sektor minyak bumi dan gas (migas).

Dengan paparan di atas, terlihat bahwa pemerintah Indonesia hanya mengambil madu dari para TKI. Pemerintah hanya mengambil keuntungan devisa dari pahlawan devisa, sebutan untuk TKI, dan dimobilisasi ketika ada kepentingan nasional di negara tersebut. Namun ketika madu itu diraih, pemerintah tidak mengambil pusing atau cuek kepada para TKI ketika mereka diberi racun oleh para juragan di mana mereka mengadu nasib di luar negeri. Mengapa KBRI tidak melakukan mobilisasi kesejahteraan dan perlindungan kepada para TKI?

*) Ardi Winangun adalah pengurus Presidium Nasional Masika ICMI.
Sumber: http://www.detiknews.com/read/2010/12/29/075300/1534729/103/tki-dicueki-tki-dimobilisasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...