Oleh: Airlangga Pribadi
Salah satu kaidah utama dalam fiqh siyasah adalah tasharruful iman ’alarra’iyah manutun bil mashlahah, atau kebijaksanaan kepala pemerintahan harus mengikuti kesejahteraan rakyat. Demikian kuliah KH Abdurrahman Wahid tentang esensi politik lebih dari dua tahun sebelum Sang Kiai berpulang ke Rahmatullah.
Menurut Gus Dur, ada dua keberanian yang harus dimiliki pemimpin untuk mewujudkan prinsip ini. Pertama, seorang pemimpin harus mampu menjaga jarak dan tak terbelenggu motif-motif politik sempit dari elite politik maupun privat. Kedua, pemimpin harus berani memajukan kepentingan-kepentingan strategis bangsa apa pun risikonya. Dua hal ini penting agar pemimpin fokus pada kebijakan berorientasi kesejahteraan rakyat.
Dari evaluasi kepemimpinan politik di Indonesia selama tahun 2010, pada awal tahun 2010 segenap potensi politik yang terakumulasi memperlihatkan terbukanya kesempatan bagi hadirnya kepemimpinan yang kuat dan melayani publik. Kemenangan pasangan SBY-Boediono dalam pemilu presiden langsung satu putaran disertai kemenangan Partai Demokrat sebagai partai pengusung pada Pemilu Legislatif 2009 adalah bentuk kemenangan solid. Apalagi keberhasilan ini diikuti bergabungnya beberapa partai besar dalam koalisi pemerintahan. Dalam sistem presidensial yang bertujuan membangun kelembagaan eksekutif yang kuat dalam tatanan politik stabil tanpa determinasi transaksi politik yang bertele-tele, kepemimpinan SBY-Boediono punya potensi amat besar mencapai tujuan tersebut.
Selanjutnya yang hadir adalah antiklimaks politik. Setelah kasus Bank Century yang membuat koalisi pemerintah sempat terserak dan memunculkan tekanan opini publik yang masif kepada pemerintah, kita menyaksikan bergulirnya transaksi politik dan penyanderaan kepemimpinan nasional oleh kekuatan-kekuatan politik di internal koalisi. Skandal Century yang sempat membuat bumi politik Indonesia gonjang-ganjing berakhir dengan kompromi politik di internal koalisi pemerintahan dengan terbentuknya Sekretariat Gabungan (Setgab).
Fenomena Setgab yang terbentuk pascakasus Bank Century ini kontras dengan tujuan dari bekerjanya pemerintahan dalam sistem presidensial. Mengingat sistem presidensial yang mengidealkan terbangunnya pemerintahan kuat dan stabil bertujuan meminimalkan desakan kepentingan politik elite, susah meletakkan posisi Setgab dalam sistem presidensial.
Jika Setgab diletakkan pada wilayah eksekutif, akan muncul pertanyaan, siapa yang lebih berperan dalam mengendalikan roda pemerintahan: kabinet di bawah pimpinan presiden ataukah Setgab di bawah pimpinan ketua harian Aburizal Bakrie. Hal ini memunculkan pertanyaan turunan pula, masih kuatkah otoritas presiden dan hak prerogatif yang ia miliki ketika muncul lembaga Setgab yang tidak dipimpin oleh presiden. Padahal, dalam logika presidensial, bukankah wapres yang harusnya berwenang mengelola hal-hal signifikan dalam pemerintahan di samping presiden.
Sementara, jika Setgab diletakkan dalam ranah legislatif, bukankah fenomena Setgab menunjukkan tak efektifnya lobi-lobi di internal fraksi-fraksi koalisi pemerintahan hingga perlu dibangun Setgab. Selanjutnya, dengan terpilihnya Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie sebagai ketua harian—bukan Ketua DPP Partai Demokrat maupun ketua Fraksi Partai Demokrat—ini memperlihatkan Fraksi Partai Demokrat gagal mengonsolidasi dukungan fraksi-fraksi di internal koalisi di bawah kepemimpinannya.
Menilai fenomena politik ini, tidaklah berlebihan ketika muncul kesimpulan kepemimpinan nasional tengah terbelenggu oleh kepentingan elite-elite politik di internal koalisi pemerintahan.
Politik diplomasi bimbang
Harapan akan kepemimpinan yang kuat dan melayani rakyat juga kita harapkan muncul dalam politik diplomasi Indonesia dalam berhubungan dengan dunia internasional. Kita masih ingat rumusan indah Muhammad Hatta, ketika ia memunculkan tesis tentang politik bebas-aktif Indonesia sebagai mendayung di antara dua karang, atau gagasan Soekarno, yaitu internasionalisme tak dapat hidup subur kalau tak berakar di bumi nasionalisme.
Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Kedua prinsip ini warisan dari para pendiri Republik, pesan bagi politik diplomasi kita agar mampu memainkan peran yang elegan dan elok untuk memajukan kepentingan nasional dalam pergaulan di dunia internasional.
Namun, apa yang terjadi dalam interaksi kita dengan negeri jiran Malaysia dalam kasus perbatasan, kita terbelenggu logika diplomasi pemerintahan Malaysia yang menekankan isu perbatasan dan membuat kita lupa kepentingan nasional terkait nasib warga kita (aparat keamanan) yang mendapat perlakuan tidak terhormat di penjara Malaysia.
Selanjutnya terkait penistaan di luar batas perikemanusiaan yang dialami para buruh migran di Arab Saudi, pemerintah tidak kunjung melakukan tekanan diplomatik kepada Kerajaan Arab Saudi sebagai bentuk hadirnya kepemimpinan nasional untuk melindungi nasib warganya. Atas nama prinsip diplomasi ”thousand friends, zero enemies” kepemimpinan nasional kita terbelenggu dari tujuan luhur memerhatikan nasib warganya.
Belenggu kepentingan privat
Hadirnya kepemimpinan nasional yang berkomitmen pada kemaslahatan rakyat, di dalamnya hadir prasyarat kemampuan pemimpin untuk mengutamakan kebaikan bersama di atas kepentingan umum. Res-Publica (kehendak publik) harus lebih tinggi dari Res-Privata (kehendak privat). Menjelang akhir 2010, kita dikejutkan oleh langkah ekonomi-politik pemerintah menjual BUMN industri strategis PT Krakatau Steel. Apabila pemerintah menyadari kepemimpinan nasional bertanggung jawab mengawal kebaikan bersama di atas kepentingan privat, sudah seharusnya mereka berpikir seribu kali untuk menjual kepemilikan negara atas industri strategis ini kepada pihak swasta. Bukankah dengan menjual aset strategis dan menguntungkan ini, pilar industri nasional kita hancur dan keuntungan yang didistribusikan kepada rakyat berkurang drastis.
Berkaca pada beberapa peristiwa politik tahun ini, sungguh 2010 adalah tahun bencana politik bagi kita semua, ketika kepemimpinan Republik bertubi-tubi terbelenggu kepentingan elite politik maupun privat serta tak mampu mengidentifikasi dan bertindak mengawal kepentingan bersama warga Indonesia. Kepemimpinan nasional terbelenggu dalam konteks hubungan lembaga eksekutif dan legislatif, politik diplomasi internasional, dan arus gelombang pasang globalisasi.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/12/23/03071761/kepemimpinan..terbelenggu.
Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga
Salah satu kaidah utama dalam fiqh siyasah adalah tasharruful iman ’alarra’iyah manutun bil mashlahah, atau kebijaksanaan kepala pemerintahan harus mengikuti kesejahteraan rakyat. Demikian kuliah KH Abdurrahman Wahid tentang esensi politik lebih dari dua tahun sebelum Sang Kiai berpulang ke Rahmatullah.
Menurut Gus Dur, ada dua keberanian yang harus dimiliki pemimpin untuk mewujudkan prinsip ini. Pertama, seorang pemimpin harus mampu menjaga jarak dan tak terbelenggu motif-motif politik sempit dari elite politik maupun privat. Kedua, pemimpin harus berani memajukan kepentingan-kepentingan strategis bangsa apa pun risikonya. Dua hal ini penting agar pemimpin fokus pada kebijakan berorientasi kesejahteraan rakyat.
Dari evaluasi kepemimpinan politik di Indonesia selama tahun 2010, pada awal tahun 2010 segenap potensi politik yang terakumulasi memperlihatkan terbukanya kesempatan bagi hadirnya kepemimpinan yang kuat dan melayani publik. Kemenangan pasangan SBY-Boediono dalam pemilu presiden langsung satu putaran disertai kemenangan Partai Demokrat sebagai partai pengusung pada Pemilu Legislatif 2009 adalah bentuk kemenangan solid. Apalagi keberhasilan ini diikuti bergabungnya beberapa partai besar dalam koalisi pemerintahan. Dalam sistem presidensial yang bertujuan membangun kelembagaan eksekutif yang kuat dalam tatanan politik stabil tanpa determinasi transaksi politik yang bertele-tele, kepemimpinan SBY-Boediono punya potensi amat besar mencapai tujuan tersebut.
Selanjutnya yang hadir adalah antiklimaks politik. Setelah kasus Bank Century yang membuat koalisi pemerintah sempat terserak dan memunculkan tekanan opini publik yang masif kepada pemerintah, kita menyaksikan bergulirnya transaksi politik dan penyanderaan kepemimpinan nasional oleh kekuatan-kekuatan politik di internal koalisi. Skandal Century yang sempat membuat bumi politik Indonesia gonjang-ganjing berakhir dengan kompromi politik di internal koalisi pemerintahan dengan terbentuknya Sekretariat Gabungan (Setgab).
Fenomena Setgab yang terbentuk pascakasus Bank Century ini kontras dengan tujuan dari bekerjanya pemerintahan dalam sistem presidensial. Mengingat sistem presidensial yang mengidealkan terbangunnya pemerintahan kuat dan stabil bertujuan meminimalkan desakan kepentingan politik elite, susah meletakkan posisi Setgab dalam sistem presidensial.
Jika Setgab diletakkan pada wilayah eksekutif, akan muncul pertanyaan, siapa yang lebih berperan dalam mengendalikan roda pemerintahan: kabinet di bawah pimpinan presiden ataukah Setgab di bawah pimpinan ketua harian Aburizal Bakrie. Hal ini memunculkan pertanyaan turunan pula, masih kuatkah otoritas presiden dan hak prerogatif yang ia miliki ketika muncul lembaga Setgab yang tidak dipimpin oleh presiden. Padahal, dalam logika presidensial, bukankah wapres yang harusnya berwenang mengelola hal-hal signifikan dalam pemerintahan di samping presiden.
Sementara, jika Setgab diletakkan dalam ranah legislatif, bukankah fenomena Setgab menunjukkan tak efektifnya lobi-lobi di internal fraksi-fraksi koalisi pemerintahan hingga perlu dibangun Setgab. Selanjutnya, dengan terpilihnya Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie sebagai ketua harian—bukan Ketua DPP Partai Demokrat maupun ketua Fraksi Partai Demokrat—ini memperlihatkan Fraksi Partai Demokrat gagal mengonsolidasi dukungan fraksi-fraksi di internal koalisi di bawah kepemimpinannya.
Menilai fenomena politik ini, tidaklah berlebihan ketika muncul kesimpulan kepemimpinan nasional tengah terbelenggu oleh kepentingan elite-elite politik di internal koalisi pemerintahan.
Politik diplomasi bimbang
Harapan akan kepemimpinan yang kuat dan melayani rakyat juga kita harapkan muncul dalam politik diplomasi Indonesia dalam berhubungan dengan dunia internasional. Kita masih ingat rumusan indah Muhammad Hatta, ketika ia memunculkan tesis tentang politik bebas-aktif Indonesia sebagai mendayung di antara dua karang, atau gagasan Soekarno, yaitu internasionalisme tak dapat hidup subur kalau tak berakar di bumi nasionalisme.
Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Kedua prinsip ini warisan dari para pendiri Republik, pesan bagi politik diplomasi kita agar mampu memainkan peran yang elegan dan elok untuk memajukan kepentingan nasional dalam pergaulan di dunia internasional.
Namun, apa yang terjadi dalam interaksi kita dengan negeri jiran Malaysia dalam kasus perbatasan, kita terbelenggu logika diplomasi pemerintahan Malaysia yang menekankan isu perbatasan dan membuat kita lupa kepentingan nasional terkait nasib warga kita (aparat keamanan) yang mendapat perlakuan tidak terhormat di penjara Malaysia.
Selanjutnya terkait penistaan di luar batas perikemanusiaan yang dialami para buruh migran di Arab Saudi, pemerintah tidak kunjung melakukan tekanan diplomatik kepada Kerajaan Arab Saudi sebagai bentuk hadirnya kepemimpinan nasional untuk melindungi nasib warganya. Atas nama prinsip diplomasi ”thousand friends, zero enemies” kepemimpinan nasional kita terbelenggu dari tujuan luhur memerhatikan nasib warganya.
Belenggu kepentingan privat
Hadirnya kepemimpinan nasional yang berkomitmen pada kemaslahatan rakyat, di dalamnya hadir prasyarat kemampuan pemimpin untuk mengutamakan kebaikan bersama di atas kepentingan umum. Res-Publica (kehendak publik) harus lebih tinggi dari Res-Privata (kehendak privat). Menjelang akhir 2010, kita dikejutkan oleh langkah ekonomi-politik pemerintah menjual BUMN industri strategis PT Krakatau Steel. Apabila pemerintah menyadari kepemimpinan nasional bertanggung jawab mengawal kebaikan bersama di atas kepentingan privat, sudah seharusnya mereka berpikir seribu kali untuk menjual kepemilikan negara atas industri strategis ini kepada pihak swasta. Bukankah dengan menjual aset strategis dan menguntungkan ini, pilar industri nasional kita hancur dan keuntungan yang didistribusikan kepada rakyat berkurang drastis.
Berkaca pada beberapa peristiwa politik tahun ini, sungguh 2010 adalah tahun bencana politik bagi kita semua, ketika kepemimpinan Republik bertubi-tubi terbelenggu kepentingan elite politik maupun privat serta tak mampu mengidentifikasi dan bertindak mengawal kepentingan bersama warga Indonesia. Kepemimpinan nasional terbelenggu dalam konteks hubungan lembaga eksekutif dan legislatif, politik diplomasi internasional, dan arus gelombang pasang globalisasi.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/12/23/03071761/kepemimpinan..terbelenggu.
Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya