Setiap kali melihat berita di media cetak dan elektronik tentang perlakuan tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, kasar, penyiksaan, sampai pembunuhan terhadap tenaga kerja Indonesia/tenaga kerja wanita (TKI/TKW) di luar negeri, pemerintah dan masyarakat baru bereaksi, seolah-olah kejadian seperti ini tidak dapat diprediksi sebelumnya.
Padahal TKI yang dikirim ke luar negeri, khususnya TKW, sangatlah rawan terhadap penyiksaan, perlakuan kasar, dan tidak manusiawi sampai kepada pemerkosaan, pembunuhan, atau penghilangan (disappearance). Sikap reaktif dan impromptu itu sungguh tidak bijaksana mengingat harkat dan martabat bangsa Indonesia dipertaruhkan di negara yang menampung mereka di perantauan karena alasan mencari dan memperoleh pekerjaan guna menyambung hidup mereka, yang di dalam negeri tidak dapat mereka peroleh dengan berbagai alasan ekonomi, sosiologis, dan antropologis.
Selayaknya TKW/TKI yang sudah sejak lama dianggap sebagai pahlawan devisa diperhatikan nasibnya oleh pemerintah dan elite negeri ini.Ketidakmampuan menyediakan lapangan kerja bagi sebagian penduduk Indonesia adalah tanggung jawab pemerintah dan elite karena berbagai hal itu disebabkan kekeliruan manajemen, ketimpangan distribusi kekayaan, dan kesenjangan sosial.
Pihak TKW/TKI yang dikirim ke mancanegara banyak yang tidak dibekali pengetahuan mengenai budaya,kebiasaan, persepsi majikan terhadap TKW/ TKI, hubungan kerja, penguasaan bahasa, perlakuan, dan pengharapan (ekspektasi) majikan di sana dan lain-lain. Karena itu, program pelatihan dan penyuluhan TKW/TKI perlu diadakan agar para TKW/TKI yang mau berangkat ke negara tujuan dibekali pengetahuan tentang budaya, kebiasaan, hubungan kerja, bahasa dan keterampilan yang dapat meminimalisasi risiko penganiayaan, penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, dan perendahan harkat dan martabat sebagai manusia,dan pembunuhan.
Tanpa pembekalan akan keterampilan (skill), bahasa setempat, dan penyuluhan tentang hal-hal yang disebutkan tadi, akan rawan terjadi ketidakpuasan sang majikan yang menggaji mereka,yang bukan tidak mungkin akan berujung pada tindakan-tindakan pelecehan seksual dan kekerasan kepada TKW/TKI. Perlakuan yang tidak manusiawi ini merupakan pelanggaran atas Pasal 5 Universal Declaration of Human Rights yang berbunyi: “No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment”.
Perlakuan tidak manusiawi terhadap TKI/TKW juga melanggar Pasal 7 International Covenant on Civil and Political Rights,yang berbunyi: “No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. In particular, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific experimentation”. Di sinilah pemerintah kita harus berperan sebagai penyuluh dan pembimbing proaktif para TKW/ TKI.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, peran pemerintah sangat vital untuk memberikan penyuluhan dan bekal sebelum para TKW/TKI dikirim ke negaranegara tujuan seperti di Timur Tengah (Saudi Arabia, Jordania, Uni Emirat Arab, dan lain-lain),Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan. Pemerintahharusproaktifmemberi perlindungan hukum seperti mengadakan perjanjian bilateral dengan negara penampung TKW/ TKI.
Kemudian menyusun draf kontrak kerja yang dapat melindungi para TKW/TKI, penyuluhan tentang bahasa, kebudayaan, kebiasaan, ekspektasi, hubungan kerja, hak cuti,prosedur pengaduan kalau ada perlakuan melanggar hukum dan kemanusiaan,serta hal-hal lain. Adapun peran dan tanggung jawab pemerintah terhadap TKW/ TKI telah diatur dalam UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Pasal 6 UU No 39/2004 menyebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri. Kemudian dalam Pasal 7, “dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut pemerintah berkewajiban sebagai berikut: (a) Menjamin terpenuhinya menjamin terpenuhinya hakhak calon TKW/TKI,baik yang bersangkutan berangkat melalui pelaksana penempatan TKI, maupun yang berangkat secara mandiri;
(b) Mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI; (c) Membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar negeri; (d) Melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan; dan (e) Memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.”
Lebih lanjut dalam Pasal 77 hingga Pasal 84 UU No 39/2004 bahkan telah diatur lebih lanjut mengenai kewajiban-kewajiban pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap TKW/TKI selama penempatannya di luar negeri, melalui perwakilannya di luar negeri dan perwakilan dari perusahaan swasta yang melaksanakan penempatan TKW/TKI di luar negeri. Selain itu, perlu juga diselidiki terlebih dahulu, apakah negara tujuan masih mempraktikkan perbudakan?
Siapa-siapa saja yang bersalah selama ini dan sejauh mana proses peradilan dan hukuman yang ditetapkan? Barangkali kita dapat belajar dari sesama negara ASEAN seperti Filipina dan Thailand yang juga mengirim tenaga kerja keluar negeri tetapi tidak mengalami nasib yang sama dengan TKI asal Indonesia. Semua ini perlu dilakukan terpadu, terprogram, holistik, bukan sewaktu-waktu dan reaktif saja,karena ini menyangkut kemanusiaan, harkat, dan martabat bangsa.
Pemerintah harus melindungi hak asasi manusia para TKW/TKI,khususnya hak hidup,hak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta hak atas perlakuan sama di hadapan hukum dan dianggap sebagai subyek hukum dan bukan objek hukum. Tanpa jaminan tersebut,sebaiknya pengiriman TKW/TKI ke negara-negara tertentu yang tidak dapat menjamin ada perlindungan hukum atas hak asasi manusia serta perlakuan yang wajar dan manusiawi bagi TKW/TKI dihentikan untuk sementara waktu, sampai keadaan kondusif dan pemerintah negara tujuan menjamin perlindungan hukum atas hak asasi manusia serta perlakuan yang wajar dan manusiawi terhadap para TKW/TKI kita.
IKADIN pernah mengirimkan Tim Kemanusiaan yang terdiri atas Sudjono, Frans Hendra Winarta, John Pieter Nazar, dan Arno Gautama Harjono, ke Malaysia pada 1991 untuk membela Salidin Bin Mohammad,TKI di Malaysia yang dituduh membunuh seorang warga negara Malaysia dalam suatu perkelahian antarkelompok di Ipoh, Kuala Lumpur,1989. Pembelaan terhadap Salidin Bin Mohammad dilakukan dengan bekerja sama dengan peguam bela Malaysia atas biaya Tim Kemanusiaan IKADIN dan majikan Salidin.
Akhirnya, Mahkamah Tinggi Malaysia pada sidang tanggal 1 September 1992 memutus bebas Salidin Bin Mohammad karena mempunyai alibi. Pengiriman TKW/TKI ke luar negeri memang suatu dilema. Di satu pihak,mereka dapat memperoleh penghidupan dan pekerjaan yang layak dengan bekerja di luar negeri, bahkan dapat membantu menafkahi keluarga mereka di Indonesia.
Tetapi di lain pihak,mereka terancam dengan penyiksaan, pembunuhan, perlakuan tidak manusiawi, pemerkosaan, pelanggaran hukum,dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Tetapi,ini bukan tidak ada solusinya selama pemerintah mempunyai political will untuk menanggulangi nasib para TKW/TKI di mancanegara. Karena itu, pemerintah diharapkan dapat segera bertindak untuk mengatasi permasalahanpermasalahan yang sering dialami TKW/TKI di mancanegara selama ini, kasus-kasus penganiayaan TKW/TKI tidak terulang kembali di masa mendatang.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/367504/
Dr Frans H Winarta
Ketua Umum Peradin,
Anggota Governing Board <
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya