Minggu, 05 Desember 2010

Bukti dari Marjinalisasi Pertanian

Oleh: Hermas E Prabowo



Menjelang impor beras, pemerintah dihadapkan pada posisi dilematis. Di satu sisi mereka ingin nasib petani menjadi lebih baik, di sisi lain kenaikan harga beras yang terus melonjak memberatkan masyarakat. Apalagi lebih dari 13,2 juta penduduk adalah petani gurem dan lebih dari 39,1 juta orang adalah masyarakat miskin.

Petani gurem ini adalah petani konsumen, yang juga amat merasakan beratnya dampak kenaikan harga beras.

Keadaan yang berat yang dialami petani barangkali tidak akan separah ini bila sebelumnya mereka tidak tertimpa masalah besar, yaitu kemarau panjang. Perubahan iklim membuat masa tanam pertama mundur dan baru dimulai pertengahan Desember 2006. "Gabah simpanan kami enam kuintal habis akhir November 2006," kata Sartijo, petani warga Sukoharjo, Jawa Tengah, pada 18 Februari lalu.

Bisa ditebak, setelah kehabisan stok sudah pasti petani seperti Sartijo harus merasakan mahalnya membeli beras di pasaran.

"Kami harus merelakan uang yang tadinya akan kami pakai untuk modal tanam, kami pakai untuk makan sehari-hari," kata Siti, istri petani warga Parakan, Temanggung.

Bagaimana dengan modal untuk masa tanam nanti? "Ya, harus pinjam sana-sini, lah. Uang pinjaman itu dikumpulkan untuk dijadikan modal tanam," kata Siti.

Kalau petani saja dibuat pusing, bagaimana dengan buruh tani dan warga miskin di Indonesia yang mencapai 39,1 juta orang atau 17,75 persen dari total penduduk Indonesia.

Semua ini merupakan akibat dari lemahnya mekanisme distribusi. Peneliti dari Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, M Maksum, mengatakan, bila pengadaan stok beras Bulog 2006 dilakukan secara maksimal pada tahun 2006, niscaya stok beras Bulog sekarang berada pada posisi 1,35 juta ton.

Posisi kritis

Dari sudut pandang lain, minimnya stok beras nasional memunculkan situasi kritis bagi stabilitas politik. Pengalaman menunjukkan bahwa tidak ada penguasa di negeri ini yang bertahan ketika negara kekurangan beras dan harganya melonjak.

Perlu diingat bahwa stok beras di Perum Bulog sepekan lalu hanya 700.000. Diserap untuk OP 100.000, sisa stok tinggal 600.000 ton. Dengan masuknya beras impor tahap pertama pada tahun 2007 yang mencapai 500.000 ton, dan sekarang belum mencapai 50 persen, apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk menggertak spekulan.

Persoalan makin rumit ketika angka ramalan Badan Pusat Statistik menunjukkan produksi gabah kering giling tahun 2007 diperkirakan turun 1,29 juta ton atau sebesar 53,05 juta ton dibandingkan angka ramalan III tahun 2006 sebesar 54,66 juta ton. Produksi GKG Januari-April 2007 diperkirakan defisit 3,45 juta atau sekitar 1,7 juta ton beras dibandingkan produksi beras pada periode yang sama.

Dalam kondisi stok beras nasional yang menipis dan produksi berkurang, pemerintah mana yang mau bertaruh?

Gugatan memang tak berhenti sampai di situ, tetapi gugatan yang paling mendasar adalah mengapa selama ini pemerintah tidak pernah mampu menaikkan produksi beras. Padahal, pupuk ada, balai penelitian benih ada, petani sudah berpengalaman ratusan tahun, lahan luas, tetapi kenapa produksi terus menurun. Akibatnya, stok beras terus menipis. Semua persoalan kekurangan itu dijawab dengan satu kata impor.

Tidak sungguh-sungguh

Sejak mencapai swasembada beras tahun 1984, perhatian pemerintah terhadap ketersediaan pangan memang terus mengalami penurunan. Pada saat swasembada beras, impor beras Indonesia tahun 1985 mengalami penurunan drastis.

Akibatnya, volume impor terus meningkat. Tahun 1984 impor beras mencapai 2,15 juta ton. Tahun 1995 anjlok menjadi 0,348 juta ton. Namun, tahun 1986 impor beras kembali melonjak menjadi 2,895 juta ton dan terus meningkat. Puncaknya impor beras terjadi tahun 1987 sebanyak 4,748 juta ton.

Impor melonjak karena pemerintah pada waktu itu melakukan transisi dari negara agraris ke negara industri. Saat ini persoalan makin pelik.

Terlebih lagi pada era otonomi daerah, di mana semua pemerintah daerah hanya terfokus pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Perhatian utama yang seharusnya ditujukan pada peningkatan produksi beras nasional bahkan terus berkurang.

Puncaknya terjadi ketika penyuluh pertanian lapangan (PPL) yang selama ini menjadi ujung tombak bagi petani mendapatkan informasi teknologi untuk meningkatkan pangan demi peningkatan produksi juga dikebiri.

Terus menyusut

Lahan pertanian juga terus menyusut. Dalam periode 1981-1999, konversi lahan sawah terus terjadi. Di Pulau Jawa saja konversi lahan sawah periode itu mencapai 1,002 juta hektar.

Pencetakan lahan sawah baru hanya 0,518 juta hektar, terjadi defisit lahan 0,484 juta hektar. Laju konversi lahan yang lebih buruk terjadi pada masa pascareformasi, 1999-2002. Di mana selama empat tahun berjalan total defisit lahan di Indonesia mencapai 0,424 juta hektar.

Di sisi lain, potensi perluasan lahan sawah di Indonesia masih cukup besar dan belum dikembangkan secara optimal. Indonesia memiliki lahan 15 juta hektar yang cocok untuk sawah dan baru 11,5 hektar yang tergarap.

Apabila cara kerja para pengelola negara ini terus memarjinalkan sektor pertanian, empati pemerintah kepada petani tetap rendah, sampai kapan pun kondisi pangan di negara ini akan terus bergantung impor.

URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0702/20/ekonomi/3331645.htm

Hermas E Prabowo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...