Oleh: Amin Mudzakkir
Hukum dan keadilan adalah dua hal yang tidak selalu seiring sejalan. Di negeri ini hukum dianggap sering kali mencederai keadilan. Tidak hanya orang baik yang berlindung di balik hukum, tetapi juga orang jahat.
Korupsi adalah perbuatan jahat, tetapi dalam hukum ia bisa menjadi legal. Sebaliknya, memberantas korupsi adalah perbuatan baik, tetapi dalam hukum ia bisa menjadi ilegal karena hukum bisa menjamin legalitas properti para koruptor.
Pada satu sisi kita mengakui adanya hukum sebagai legalitas, tetapi pada sisi yang lain kita juga mempertanyakan legalitas tersebut dalam hubungannya dengan hukum sebagai nilai.
Di sini kita melihat banyak paradoks. Berpijak pada argumen-argumen tentang keadilan yang disampaikan Andre Comte-Sponville dalam bukunya, A Small Treatise on the Great Virtue terbitan Henry Holt and Company, New York (2001), artikel ini akan melihat bagaimana paradoks antara hukum dan keadilan itu terjadi, sebuah isu yang telah menarik perhatian para filsuf sejak zaman Yunani kuno hingga zaman kita sekarang.
Keadilan yang disahkan
Sebelum masuk ke dalam diskusi lebih lanjut, ada baiknya kita jernihkan terlebih dulu batasan antara hukum dan keadilan. Kalau mengikuti argumen-argumen Andre Comte-Sponville, cukup jelas dikemukakan bahwa hukum adalah keadilan yang dilegalkan, artinya disahkan, oleh institusi politik yang berwenang untuk melakukan itu.
Pada titik ini kita akan berhubungan dengan negara, sebuah institusi modern yang mengadakan kontrak sosial dengan warganya untuk menjalankan hukum. Dalam diskursus keadilan, Sponville terlihat menekankan sisi institusi.
Istilah kontrak sosial sendiri bisa ditemukan dalam Spinoza, Locke, Rousseau, Kant, hingga Rawls. Dari sekian nama itu, menarik untuk melihat pendapat Kant. Menurut Kant, kontrak sosial adalah ”aturan dan bukan asal-usul konstitusi negara, bukan prinsip fondasinya, tetapi prinsip administrasinya”. Oleh karena itu, yang ditekankan oleh Kant dalam teori kontrak sosialnya adalah apa yang seharusnya dilakukan, sebuah panggilan etis, bukan pada pertanyaan-pertanyaan intelektual mengenai apa itu negara. Dengan ungkapan lain bisa dikatakan bahwa Kant menaungi teori kontrak sosialnya dengan pandangan filsafatnya mengenai rasio praktis, yaitu kemampuan akal budi manusia untuk mengetahui baik dan buruknya suatu tindakan.
Berbasis pada Kant, Rawls mengembangkan pandangannya tentang keadilan. Berbeda dengan hukum sebagai legalitas, Rawls berpendapat bahwa keadilan terletak pada kesadaran manusia dalam hal kejujuran. Untuk mencapai itu, manusia harus berangkat dari posisi aslinya di tengah masyarakat—Rawl menyebut posisi itu sebagai veil of ignorance—agar terhindar dari kepentingan diri sendiri, posisi kelas, atau status sosialnya. Pendapat Kant ini hampir sama dengan Pascal yang menyatakan bahwa diri itu selalu tidak adil, selalu menyimpan kepentingan.
Dari pendapat-pendapat tadi, bisa disimpulkan sementara mengenai batasan antara hukum dan keadilan, meski dalam praktiknya kedua hal tersebut sulit dipisahkan. Keadilan adalah sebuah ide kebajikan yang luhur, pembicaraan tentangnya lebih dekat dengan diskursus etis atau moral.
Sementara itu, pembicaraan tentang hukum lebih dekat dengan diskursus politis, tentang kekuasaan, yang di dalamnya terkandung unsur-unsur diri dan posisi diri dalam lingkungan sosial. Oleh karena itu, keadilan dalam hukum adalah sebuah permintaan sosial, diputuskan oleh suara terbanyak, bukan lagi sebagai sebuah kebajikan.
Positivisme yudisial
Oleh karena diputuskan oleh suara terbanyak, hukum bisa jadi tidak memenuhi rasa keadilan semua orang. Di sini kita akan berhadapan dengan diskursus positivisme yudisial. Pertanyaannya, bagaimana keadilan bisa terpenuhi jika hakim tidak mempunyai kewajiban untuk menempatkan hukum di atas pandangan politik dan moralnya?
Menanggapi pertanyaan seperti ini, Pascal secara sinis pernah melontarkan pendapat, ”keadilan adalah apa yang didirikan; dan semua hukum yang didirikan akan dianggap adil tanpa pengujian, sejak mereka didirikan”.
Dalam praktiknya, hukum sebagai legalitas lebih penting daripada hukum sebagai nilai. Ini terkait dengan kebutuhan kita terhadap institusi politik, katakanlah sebuah republik. Tanpa adanya hukum, sulit membayangkan sebuah republik bisa ditegakkan.
Dalam perkembangannya, sebuah republik akan menciptakan sistem yudisial yang menjadi otoritas dalam sistem hukum. Kata Hobbes, autocritas, non veritas, facit legem, otoritas, bukan kebenaran, membuat hukum. Ini adalah sebuah kenyataan demokrasi, hukum dibuat oleh orang-orang dengan suara terbanyak, bukan orang-orang adil atau orang-orang pandai. Dalam hal ini, demokrasi tidak bisa menjembatani problem dalam kenyataan itu.
Untuk mengatasi problem di atas, barangkali berguna menengok konsep Rousseau tentang keinginan umum meskipun itu meragukan. Tidak ada yang menjamin bahwa keinginan umum selalu adil. Jadi, validitasnya tak bisa tergantung pada menjadi adilnya, meskipun satu pendapat mengatakan bahwa keadilan adalah keinginan umum. Karena sirkularitas definisinya, konsep keinginan umum seperti tidak berguna atau bahkan tidak bermakna. Singkat kata, hukum adalah hukum, apakah ia adil atau tidak.
Lalu, jika hukum sebagai legalitas mempunyai banyak kelemahan, apakah keadilan tidak lepas dari hal yang sama? Pertanyaan ini penting dikemukakan karena, sebagai sebuah diskursus, keadilan juga mempunyai banyak sisi dan interpretasi. Oleh karena itu, Pascal mengatakan bahwa keadilan adalah subyek pertengkaran, bukan sesuatu yang disepakati taken for granted oleh semua orang. Lebih lanjut Pascal bahkan menolak memberikan kekuatan pada keadilan karena kekuatan dalam dirinya sendiri adil. Yang kita perlukan, kata Pascal, bukan membuat adil menjadi kuat, tetapi membuat apa yang kuat menjadi adil.
Pertanyaan lebih lanjut, siapa orang yang adil itu? Apakah individu yang patuh pada hukum adalah orang yang adil? Jawaban terhadap pertanyaan ini tidak mudah. Sejak hukum dikatakan tidak sama dengan keadilan, orang yang patuh pada hukum tidak bisa dikatakan orang yang adil. Akan tetapi, jika mengikuti Kant, jawabannya barangkali telah ditemukan: orang yang adil adalah orang yang patuh pada hukum moral.
Masalahnya, jika hukum moral itu benar-benar ada dan jika kita mengetahui itu apa, kita akan kurang membutuhkan orang adil karena setiap orang adil akan berbeda pendapat terhadap apa yang disebut sebagai keadilan. Kant, misalnya, setuju hukuman mati, sebuah posisi yang ditarik dari pengertiannya mengenai keadilan. Akan tetapi, kita juga tahu bahwa banyak orang yang tidak setuju dengan hukuman mati itu, dan mereka adalah orang yang adil.
Melihat perdebatan di atas, cukup terang bagi kita sekarang bahwa hukum dan keadilan bukan diskursus yang mudah dipecahkan, jika yang dimaksud dengan pemecahan di sini adalah jawaban-jawaban praktis untuk merekonsiliasi keduanya dalam suatu tindakan. Bagi Andre Comte-Sponville, keadilan tidak lahir dari kehampaan, tetapi bagian dari sejarah. Keadilan adalah soal kebudayaan, seperti juga hukum, sehingga baik keadilan maupun hukum adalah bagian dari masyarakat.
Sampai di sini persoalan belum selesai karena kita sebenarnya baru saja memasuki wilayah lain: politik. Dalam wilayah ini persoalan bisa jadi jauh lebih rumit, tetapi itulah tantangannya. Mengutip Pascal, ”Kita harus mengombinasikan keadilan dan kekuatan” dan itu adalah tujuan dari politik.
Tercederai
Kiranya berguna bagi kita mengambil inspirasi dari perdebatan di atas untuk merefleksikan apa yang sedang terjadi dengan kondisi hukum dan keadilan di Indonesia sekarang. Kasus Gayus, misalnya, beserta persoalan mafia pajak yang mengitarinya telah menyita perhatian kita semua.
Rasa keadilan rasanya tercederai, terutama setelah diketahui bahwa hukum dalam praktiknya tidak lebih dari permainan orang-orang yang mempunyai uang dan kekuatan. Akan tetapi, bagaimanapun juga kita tidak bisa menolak keberadaan hukum sebagai legalitas karena tanpa itu, kita akan meraba-raba dalam gelap mencari keadilan.
Yang perlu kita lakukan adalah menekan terus-menerus institusi politik agar bekerja serius menuntaskan kasus-kasus hukum tersebut. Mengikuti pernyataan Alain yang dikutip oleh Andre Comte-Sponville dalam bukunya, ”Keadilan akan terwujud jika bertindak dengan keadilan”
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/12/28/04254811/ketika.hukum.mencederai.ke
.
Amin Mudzakkir Peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR) LIPI
Hukum dan keadilan adalah dua hal yang tidak selalu seiring sejalan. Di negeri ini hukum dianggap sering kali mencederai keadilan. Tidak hanya orang baik yang berlindung di balik hukum, tetapi juga orang jahat.
Korupsi adalah perbuatan jahat, tetapi dalam hukum ia bisa menjadi legal. Sebaliknya, memberantas korupsi adalah perbuatan baik, tetapi dalam hukum ia bisa menjadi ilegal karena hukum bisa menjamin legalitas properti para koruptor.
Pada satu sisi kita mengakui adanya hukum sebagai legalitas, tetapi pada sisi yang lain kita juga mempertanyakan legalitas tersebut dalam hubungannya dengan hukum sebagai nilai.
Di sini kita melihat banyak paradoks. Berpijak pada argumen-argumen tentang keadilan yang disampaikan Andre Comte-Sponville dalam bukunya, A Small Treatise on the Great Virtue terbitan Henry Holt and Company, New York (2001), artikel ini akan melihat bagaimana paradoks antara hukum dan keadilan itu terjadi, sebuah isu yang telah menarik perhatian para filsuf sejak zaman Yunani kuno hingga zaman kita sekarang.
Keadilan yang disahkan
Sebelum masuk ke dalam diskusi lebih lanjut, ada baiknya kita jernihkan terlebih dulu batasan antara hukum dan keadilan. Kalau mengikuti argumen-argumen Andre Comte-Sponville, cukup jelas dikemukakan bahwa hukum adalah keadilan yang dilegalkan, artinya disahkan, oleh institusi politik yang berwenang untuk melakukan itu.
Pada titik ini kita akan berhubungan dengan negara, sebuah institusi modern yang mengadakan kontrak sosial dengan warganya untuk menjalankan hukum. Dalam diskursus keadilan, Sponville terlihat menekankan sisi institusi.
Istilah kontrak sosial sendiri bisa ditemukan dalam Spinoza, Locke, Rousseau, Kant, hingga Rawls. Dari sekian nama itu, menarik untuk melihat pendapat Kant. Menurut Kant, kontrak sosial adalah ”aturan dan bukan asal-usul konstitusi negara, bukan prinsip fondasinya, tetapi prinsip administrasinya”. Oleh karena itu, yang ditekankan oleh Kant dalam teori kontrak sosialnya adalah apa yang seharusnya dilakukan, sebuah panggilan etis, bukan pada pertanyaan-pertanyaan intelektual mengenai apa itu negara. Dengan ungkapan lain bisa dikatakan bahwa Kant menaungi teori kontrak sosialnya dengan pandangan filsafatnya mengenai rasio praktis, yaitu kemampuan akal budi manusia untuk mengetahui baik dan buruknya suatu tindakan.
Berbasis pada Kant, Rawls mengembangkan pandangannya tentang keadilan. Berbeda dengan hukum sebagai legalitas, Rawls berpendapat bahwa keadilan terletak pada kesadaran manusia dalam hal kejujuran. Untuk mencapai itu, manusia harus berangkat dari posisi aslinya di tengah masyarakat—Rawl menyebut posisi itu sebagai veil of ignorance—agar terhindar dari kepentingan diri sendiri, posisi kelas, atau status sosialnya. Pendapat Kant ini hampir sama dengan Pascal yang menyatakan bahwa diri itu selalu tidak adil, selalu menyimpan kepentingan.
Dari pendapat-pendapat tadi, bisa disimpulkan sementara mengenai batasan antara hukum dan keadilan, meski dalam praktiknya kedua hal tersebut sulit dipisahkan. Keadilan adalah sebuah ide kebajikan yang luhur, pembicaraan tentangnya lebih dekat dengan diskursus etis atau moral.
Sementara itu, pembicaraan tentang hukum lebih dekat dengan diskursus politis, tentang kekuasaan, yang di dalamnya terkandung unsur-unsur diri dan posisi diri dalam lingkungan sosial. Oleh karena itu, keadilan dalam hukum adalah sebuah permintaan sosial, diputuskan oleh suara terbanyak, bukan lagi sebagai sebuah kebajikan.
Positivisme yudisial
Oleh karena diputuskan oleh suara terbanyak, hukum bisa jadi tidak memenuhi rasa keadilan semua orang. Di sini kita akan berhadapan dengan diskursus positivisme yudisial. Pertanyaannya, bagaimana keadilan bisa terpenuhi jika hakim tidak mempunyai kewajiban untuk menempatkan hukum di atas pandangan politik dan moralnya?
Menanggapi pertanyaan seperti ini, Pascal secara sinis pernah melontarkan pendapat, ”keadilan adalah apa yang didirikan; dan semua hukum yang didirikan akan dianggap adil tanpa pengujian, sejak mereka didirikan”.
Dalam praktiknya, hukum sebagai legalitas lebih penting daripada hukum sebagai nilai. Ini terkait dengan kebutuhan kita terhadap institusi politik, katakanlah sebuah republik. Tanpa adanya hukum, sulit membayangkan sebuah republik bisa ditegakkan.
Dalam perkembangannya, sebuah republik akan menciptakan sistem yudisial yang menjadi otoritas dalam sistem hukum. Kata Hobbes, autocritas, non veritas, facit legem, otoritas, bukan kebenaran, membuat hukum. Ini adalah sebuah kenyataan demokrasi, hukum dibuat oleh orang-orang dengan suara terbanyak, bukan orang-orang adil atau orang-orang pandai. Dalam hal ini, demokrasi tidak bisa menjembatani problem dalam kenyataan itu.
Untuk mengatasi problem di atas, barangkali berguna menengok konsep Rousseau tentang keinginan umum meskipun itu meragukan. Tidak ada yang menjamin bahwa keinginan umum selalu adil. Jadi, validitasnya tak bisa tergantung pada menjadi adilnya, meskipun satu pendapat mengatakan bahwa keadilan adalah keinginan umum. Karena sirkularitas definisinya, konsep keinginan umum seperti tidak berguna atau bahkan tidak bermakna. Singkat kata, hukum adalah hukum, apakah ia adil atau tidak.
Lalu, jika hukum sebagai legalitas mempunyai banyak kelemahan, apakah keadilan tidak lepas dari hal yang sama? Pertanyaan ini penting dikemukakan karena, sebagai sebuah diskursus, keadilan juga mempunyai banyak sisi dan interpretasi. Oleh karena itu, Pascal mengatakan bahwa keadilan adalah subyek pertengkaran, bukan sesuatu yang disepakati taken for granted oleh semua orang. Lebih lanjut Pascal bahkan menolak memberikan kekuatan pada keadilan karena kekuatan dalam dirinya sendiri adil. Yang kita perlukan, kata Pascal, bukan membuat adil menjadi kuat, tetapi membuat apa yang kuat menjadi adil.
Pertanyaan lebih lanjut, siapa orang yang adil itu? Apakah individu yang patuh pada hukum adalah orang yang adil? Jawaban terhadap pertanyaan ini tidak mudah. Sejak hukum dikatakan tidak sama dengan keadilan, orang yang patuh pada hukum tidak bisa dikatakan orang yang adil. Akan tetapi, jika mengikuti Kant, jawabannya barangkali telah ditemukan: orang yang adil adalah orang yang patuh pada hukum moral.
Masalahnya, jika hukum moral itu benar-benar ada dan jika kita mengetahui itu apa, kita akan kurang membutuhkan orang adil karena setiap orang adil akan berbeda pendapat terhadap apa yang disebut sebagai keadilan. Kant, misalnya, setuju hukuman mati, sebuah posisi yang ditarik dari pengertiannya mengenai keadilan. Akan tetapi, kita juga tahu bahwa banyak orang yang tidak setuju dengan hukuman mati itu, dan mereka adalah orang yang adil.
Melihat perdebatan di atas, cukup terang bagi kita sekarang bahwa hukum dan keadilan bukan diskursus yang mudah dipecahkan, jika yang dimaksud dengan pemecahan di sini adalah jawaban-jawaban praktis untuk merekonsiliasi keduanya dalam suatu tindakan. Bagi Andre Comte-Sponville, keadilan tidak lahir dari kehampaan, tetapi bagian dari sejarah. Keadilan adalah soal kebudayaan, seperti juga hukum, sehingga baik keadilan maupun hukum adalah bagian dari masyarakat.
Sampai di sini persoalan belum selesai karena kita sebenarnya baru saja memasuki wilayah lain: politik. Dalam wilayah ini persoalan bisa jadi jauh lebih rumit, tetapi itulah tantangannya. Mengutip Pascal, ”Kita harus mengombinasikan keadilan dan kekuatan” dan itu adalah tujuan dari politik.
Tercederai
Kiranya berguna bagi kita mengambil inspirasi dari perdebatan di atas untuk merefleksikan apa yang sedang terjadi dengan kondisi hukum dan keadilan di Indonesia sekarang. Kasus Gayus, misalnya, beserta persoalan mafia pajak yang mengitarinya telah menyita perhatian kita semua.
Rasa keadilan rasanya tercederai, terutama setelah diketahui bahwa hukum dalam praktiknya tidak lebih dari permainan orang-orang yang mempunyai uang dan kekuatan. Akan tetapi, bagaimanapun juga kita tidak bisa menolak keberadaan hukum sebagai legalitas karena tanpa itu, kita akan meraba-raba dalam gelap mencari keadilan.
Yang perlu kita lakukan adalah menekan terus-menerus institusi politik agar bekerja serius menuntaskan kasus-kasus hukum tersebut. Mengikuti pernyataan Alain yang dikutip oleh Andre Comte-Sponville dalam bukunya, ”Keadilan akan terwujud jika bertindak dengan keadilan”
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/12/28/04254811/ketika.hukum.mencederai.ke
.
Amin Mudzakkir Peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR) LIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya