Rabu, 01 Desember 2010

Pahlawan Devisa, Pahlawan Tersiksa

Oleh: Umbu T.W. Pariangu



Sampai saat ini “development as freedom” bagi rakyat, yakni pembangunan yang membebaskan rakyat dari keterbelakangan, ketidakadilan, dan kemiskinan, masih sebuah utopia. Sekitar 35 juta penduduk Indonesia masih miskin (15,2 persen populasi) (BPS, 1 Juli 2009). Jika garis kemiskinan menjadi US$ 2 per hari, orang miskin bisa mencapai 52 persen populasi. Sebanyak 4.516.100 dari 9.427.600 orang yang masuk kategori pengangguran terbuka merupakan lulusan SMA, SMK, diploma, dan universitas (Februari 2008); 11 juta anak buta huruf tidak pernah sekolah; 4.370.492 anak putus SD; dan 18.296.332 anak putus SMP menjadi sisi gelap pembangunan (pendidikan) kita.

Kegagalan manajemen sumber daya alam ataupun perilaku institusi negara terus mengikuti kita. Mulai dari Guinness Book of Records tahun 2007 yang menyebut Indonesia sebagai juara dunia penggundulan hutan (72 persen hutan musnah) akibat commercial logging dan illegal logging, dominasi asing dalam perbankan nasional, kekayaan tambang yang dikelola perusahaan asing hingga puluhan tahun, produksi minyak nasional kita yang dikelola korporat asing, kejahatan pajak perusahaan besar, sampai perairan nasional kita yang dikuasai asing. Menurut Siswono Yudohusodo (2007), 46,8 persen muatan laut dalam negeri dikuasai kapal berbendera asing dan angkutan ekspor RI. Kapal nasional cuma 5 persen. Bahkan pasir kita pun dicuri dan dikeruk negara tetangga.

Negara kita masih terkorup di Asia akibat rapuhnya bangunan institusi hukum. Kasus mafia atau makelar hukum (di kepolisian, pengadilan, kejaksaan), mafia pajak yang terlunta-lunta, membuat kekuasaan dari pusat-daerah berlumuran korupsi. Negara taat hukum (law-abiding country) hanya pencuci mulut. Seperti mandi dengan sabun wangi di kubangan kerbau, kita sibuk mencitra diri sebagai negara demokrasi, tetapi membiarkan korupsi menggerogoti tubuh bangsa.

TKI tersiksa

Nyaris tak ada lagi yang dibanggakan ketika tenaga kerja Indonesia (TKI) kita di luar negeri terus mengalami perlakuan tak manusiawi. Sosok Sumiati binti Salan Mustapa yang disetrika tubuhnya, Sumiyati yang bibirnya digunting, dan jenazah Kikim Komalasari yang ditemukan di tong sampah Kota Abha Asir hanya kelanjutan tragis dari nestapa serupa yang dialami Nirmala Bonat, Sumirah dan Mona, Rohana binti Jaja Markum, Munti binti Bani, serta Siti Hajar atau Ceriyati. Mereka ibarat final nails on the coffin (paku-paku penutup) dari “peti mati” pemerintah yang gagal melindungi dan memberikan penghidupan yang layak buat rakyat sesuai dengan bunyi konstitusi.

Mungkin lebih tepat jikga mereka disebut pahlawan tersiksa, bukan pahlawan devisa. Menurut Migrant Care, sepanjang 2010 ini 5.635 buruh migran Indonesia mengalami penyiksaan, pelecehan seksual, perolehan gaji yang tak layak, sampai kerja yang melebihi waktu. Sudah begitu, TKI kita menjadi korban lemahnya pemerintah. Misalnya, untuk penanganan persoalan ketenagakerjaan dalam sektor finansial harus diurus 18 instansi, seperti imigrasi, kepolisian, transmigrasi. Ini tentu menyulut ego sektoral dan lemahnya koordinasi antarinstansi dalam menangani persoalan TKI.

Kehebohan yang menyertai setiap kasus penyiksaan TKI selalu berupa sikap reaktif atau simptomatik pemerintah: menyampaikan keprihatinan, membuat nota protes diplomatik, disertai tuntutan penyelesaian hukum seadil-adilnya tanpa di lakukan “medical check-up” atas akar penyebab dan bagaimana solusi efektif menangani dan mencegah drama penyiksaan TKI, sehingga tidak menjadi sejarah yang terus berulang (l’ histoire se répête) di bangsa ini.

Profetik

Jika saja pemerintah bisa menyediakan lapangan pekerjaan di dalam negeri dan membekali rakyat dengan keahlian profesi, tentu TKI kita tak mengalami keadaan mengenaskan. Ironisnya, kapabilitas ini lama tak disadari atau direduksi pemerintah dengan prioritas pembangunan pada prasarana dan fisikal yang melahirkan produk turunan ketidakadilan aksesibilitas mulai dari pendidikan, kesehatan maupun ekonomi. Pemerintah tak melihat aspek manusia sebagai core utama pembangunan.

Bahkan, di era Orde Baru, pembangunan dibayar mahal dengan aneka penggusuran dan pengorbanan rakyat kecil demi mendukung rezim pembangunan yang berkestabilan. Maka output pembangunan bukan berupa peningkatan produktivitas ekonomi dan pemerataan kesejahteraan, sebaliknya menetaskan pengangguran dalam scope ketimpangan distribusi hasil pembangunan seperti yang dialami masyarakat di kawasan Timur, sehingga kawasan ini selalu menjadi mayoritas pemasok TKI ke berbagai negara tujuan, seperti: Malaysia, Singapura, Hong Kong dan Arab Saudi.

Alvin Toffler dalam The Future Shock-nya jauh-jauh hari mengingatkan bahwa kini sedang berlangsung era transformasi peradaban berupa masyarakat pasca-industri yang menuntut kemampuan negara memfasilitasi rakyatnya untuk menguasai pengetahuan yang dalam bahasa Peter Drucker disebut “masyarakat pengetahuan” (knowledge society). Suatu karakter manusia global yang melahirkan pekerja-pekerja berpengetahuan (knowledge worker) atau manusia profetik (profesional dan etikal).

Human capital mutlak harus menjadi prioritas pembangunan melalui kebijakan pendidikan mencetak manusia-manusia terampil nan unggul yang bersaing di pasaran kerja baik domestik maupun luar negeri. Malaysia sudah memulainya sejak tahun 1970-an dengan mengimpor dosen Indonesia. Negara-negara di ASEAN telah mematok 25 persen anggaran pendidikan dari total APBN-nya, sedangkan kita baru mentok di cita-cita 20 persen. Jika pemerintah tak mau serius membenahi termasuk menjamin akses pendidikan bagi rakyat (miskin), kita akan ketinggalan kereta dan menjadi ‘bulan-bulanan’ bangsa lain.

URL Source: http://korantempo.com/korantempo/koran/2010/11/26/Opini/krn.20101126.219166

Umbu T.W. Pariangu
mahasiswa Pascasarjana Fisipol UGM; Dosen Fisipol Undana, Kupang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...