Kamis, 02 Desember 2010

Kita Mengalami Krisis Hukum Ketenagakerjaan

Oleh: Winarta

Winarta UNTUK kesekian kalinya kalangan buruh dan masyarakat pembela buruh menolak rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan (RUU PPK) menjadi undang-undang (UU), awal September 2002 nanti. Dua tahun silam, kalangan buruh juga menolak RUU PPK dengan alasan yang sama.
Aksi penolakan telah mendorong Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) No 1/1998 tentang Perubahan Berlakunya UU No 25/1997 tentang Ketenagakerjaan. Perpu tersebut menetapkan berlakunya UU No 25/ 1997 mulai 1 Oktober 2002.

Perjalanan UU No 25/1997 memang cukup unik. Semenjak masih dalam wujud RUU, ia sudah diprotes habis-habisan. Sempat pula DPR menunda pembahasannya dengan alasan yang tidak jelas. Lalu, tiba-tiba dibahas kembali dengan memunculkan "skandal" karena terungkap bahwa ternyata untuk mempercepat pembahasan RUU tersebut telah menggunakan dana Jamsostek yang berjumlah milyaran rupiah.

Badai kritik pun berembus besar sekali dari buruh maupun masyarakat. Meskipun demikian, Presiden Soeharto menetapkan RUU ini menjadi UU pada tanggal 3 Oktober 1997. Untuk meredam gejolak buruh dan masyarakat, dalam Pasal 199 ditentukan bahwa berlakunya UU itu baru setahun kemudian, yakni 1 Oktober 1998.

Barangkali kesimpulan yang diambil pemerintah mengenai penolakan buruh terhadap UU No 25/1997 adalah karena buruh belum siap. Padahal, substansi persoalannya adalah materi undang-undang tersebut belum menyentuh upaya perlindungan hak-hak buruh secara memadai, bahkan merugikan. Dengan demikian, menjelang akan berlakunya undang-undang ini di masa Presiden BJ Habibie, buruh dan masyarakat kembali melancarkan penolakan berlakunya.

Kebijakan yang dipilih Presiden Habibie adalah mengeluarkan UU No 11/1998, yang menunda berlakunya UU No 25/1997 menjadi mulai tanggal 1 Oktober 2000.

Dengan demikian, UU No 25/1997 sekalipun belum berlaku, sesungguhnya tidak mempunyai legitimasi di kalangan buruh, yang berarti eksistensinya tidak dapat dipertahankan. Hal ini tampaknya juga sudah disadari pemerintahan Presiden BJ Habibie, terbukti pada masa tersebut mulai disusun RUU PPK untuk menyempurnakan UU No 25/ 1997, yang berlanjut sampai era Presiden Megawati.

Masa penundaan selama ini sebenarnya merupakan kesempatan untuk menyusun undang-undang pengganti, tetapi hal ini tidak dimanfaatkan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah maupun DPR. Meskipun pemerintah dan DPR telah menyusun dan membahas RUU PPK, prosesnya tidak melibatkan partisipasi buruh secara intensif dan representatif. Sehingga materi yang diatur jauh sekali dari harapan sebagian besar buruh.

Menghadapi penolakan buruh yang kuat terhadap RUU PPK, pemerintah dan DPR kiranya harus merespons secara tepat. Ada beberapa pilihan yang dapat dilakukan pemerintah dan DPR dalam menyikapi aspirasi buruh dan masyarakat.

Pertama, tetap mengesahkan dan menetapkan RUU PPK menjadi undang-undang. Risiko kebijakan ini sangatlah besar. Masyarakat dan buruh pasti akan melakukan perlawanan secara besar-besaran.

Kedua, mengeluarkan undang-undang atau Perpu untuk menunda berlakunya UU No 25/1997 menjadi setahun atau dua tahun lagi. Selanjutnya pemerintah dan DPR dengan melibatkan berbagai pihak membahas RUU PPK. Kebijakan ini lebih aman.

Ketiga, mencabut keberadaan UU No 25/1997. Sama dengan tindak lanjut pilihan kedua, pemerintah dan DPR bersama semua pihak yang berkepentingan segera membahas RUU PPK. Kebijakan terakhir ini kiranya lebih menampakkan keseriusan pemerintah dalam menyusun undang-undang ketenagakerjaan. Dalam pembahasannya juga tidak harus tergesa-gesa mengejar deadline, karena undang-undang tahun 1997 sudah dicabut.

***
SAMPAI sekarang, sesungguhnya kita mengalami krisis di bidang hukum ketenagakerjaan.

Pertama, dapat dilihat dari banyaknya protes dari kalangan buruh dan masyarakat terhadap suatu produk hukum ketenagakerjaan yang akan maupun telah ditetapkan pemerintah, misalnya UU tentang Serikat Buruh. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai produk hukum ketenagakerjaan mengalami krisis kepercayaan.

Kedua, terjadinya overlapping dan ketidakseragaman ketentuan antarberbagai produk perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Misal, pengertian pekerja saja terdapat banyak versi.

Ketiga, hukum ketenagakerjaan belum menjangkau keseluruhan realitas pekerja yang ada. Misalnya, kelompok pekerja rumah tangga (PRT) sama sekali tidak diatur/dilindungi.

Keempat, penegakan hukum ketenagakerjaan sangat lemah. Mekanisme P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah) maupun P4P (Pusat) ternyata belum bisa menjadi lembaga yang ampuh bagi buruh untuk memperjuangkan hak-haknya.

Banyaknya buruh yang menjadi korban tindak kesewenangan-wenangan dari pemberi kerja adalah akibat nyata dari krisis hukum tersebut. Kalau sekarang ini pemerintah dipusingkan kembali oleh pemulangan TKI ilegal di Malaysia, itu juga merupakan bagian dari akibat krisis hukum ketenagakerjaan. Kita belum mempunyai peraturan perundang-undangan yang secara komprehensif mengatur TKI. Situasi inilah yang dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mempermainkan dan mengeksploitasi TKI.

Sejauh ini, RUU PPK yang tengah dibahas oleh pemerintah dan DPR tidak jelas apakah akan menjadi semacam payung sehingga bersifat umum, yang dapat dipakai sebagai acuan bagi UU Ketenagakerjaan lainnya yang mengatur materi khusus. Ataukah undang-undang yang lengkap untuk mengatur seluruh persoalan ketenagakerjaan secara mendetail.

Idealnya, RUU PPK memang terjadi UU Ketenagakerjaan yang bersifat umum (semacam undang-undang pokok). Pengaturan lebih rinci diatur oleh undang-undang yang secara khusus dibuat. Dengan demikian, RUU PPK hanya memuat tentang konsep ketenagakerjaan, paradigma perlindungan bagi buruh, hak-hak dasar buruh, ruang lingkup ketenagakerjaan, dan istilah-istilah penting. Dengan demikian, akan berfungsi untuk mengoordinasikan berbagi peraturan ketenagakerjaan yang dibuat.

Hendaknya tidak ada lagi, nanti, suasana seperti sekarang di mana pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan mengalami tumpang tindih, kontradiksi dan terkesan tidak ada koordinasi. Ibarat pohon, mestinya batang pokoknya dahulu yang diselesaikan, baru membuat ranting-rantingnya.

Tampaknya pemerintah dan DPR masih gampang dalam menyikapi aspirasi buruh dan masyarakat di satu sisi, dan kepentingan pengusaha di sisi lain. Sehingga banyak kebijakan yang diambil hanya bersifat reaktif, bukan proaktif. Konsep perlindungan terhadap buruh juga tidak tampak penjabarannya dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan.

Winarta, Deputy Director Independent Legal Aid Institute (ILAI), Yogyakarta

Sumber: http://unisosdem.org/article_detail.php?aid=491&coid=2&caid=20&gid=3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...