Oleh: Idham Samudra Bey
Beberapa waktu lalu, harian ini memuat dua pernyataan yang berkait dengan masalah pembaruan agraria. Pertama, pernyataan Wakil Presiden (Wapres) Hamzah Haz, "Penghentian alih fungsi lahan pertanian tidak cukup hanya dengan keputusan presiden (keppres), tetapi harus melalui ketetapan hukum yang lebih kuat, melalui undang-undang (UU). Karena itu, harus ada perubahan terhadap UU Pokok Agraria (UUPA)."
Kedua, pernyataan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo, "Saat ini lebih dari 200.000 hektar lahan BUMN kehutanan dan perkebunan yang dijarah penduduk". Sehubungan dengan masalah itu, HKTI mengusulkan beberapa solusi, di antaranya, "pelaksanaan Ketetapan (Tap) MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam kaitan itu perlu dilakukan sinkronisasi undang-undang yang ada". (Kompas, 27/9/2002)
Dari pernyataan Hamzah Haz, meski tidak lengkap disebutkan, tetapi kita tahu, UUPA yang dimaksud adalah UU RI Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau yang populer disebut UUPA 1960. Di sini, secara implisit, pernyataan Wapres telah memvonis UUPA 1960 sebagai penyebab utama terjadinya alih fungsi lahan pertanian selama lebih tiga dasawarsa. Kita tidak tahu apakah kesimpulan wapres itu telah melalui suatu proses pengkajian yang komprehensif? Meski demikian, berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), penyusutan lahan pertanian diperkirakan mencapai 102.780 hektar setiap tahun. Penyusutan ini sebagian besar terjadi karena alih fungsi lahan pertanian ke sektor nonpertanian, terutama ekspansi sektor industri ke lahan-lahan subur di sektor pertanian. Tetapi, benarkah penyebab utamanya UUPA 1960?
Sementara itu, pernyataan Siswono Yudo Husodo yang mendiskreditkan rakyat sebagai "penjarah" lahan BUMN kehutanan dan perkebunan telah membuktikan, HKTI kembali pada takdir sejarahnya, yaitu terlahir sebagai salah satu lembaga eksploitatif Orde Baru. Kata "penjarah" telah memberi stigma hitam terhadap upaya rakyat dalam memperjuangkan hak-haknya yang dirampas Orde Baru, dan hingga kini belum terselesaikan. Karena belum tentu semua yang dilakukan rakyat selama ini dapat dikategorikan sebagai kasus kriminal murni "penjarahan". Sehubungan dengan itu, yang paling "mencurigakan", adalah usulan HKTI untuk melaksanakan Tap MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam rangka menyinkronisasikan undang-undang yang ada.
Padahal, seperti diketahui, isi Tap MPR No IX/MPR/2001 itu sendiri banyak ditolak serikat tani, lembaga swadaya masyarakat, maupun para akademisi. Adapun penolakan banyak kalangan ini, di antaranya, karena ketidakjelasan ke mana arah dan tujuan politik agrarianya, adanya dikotomi antara masalah pembaruan agraria dengan pengelolaan sumber daya alam, tak disebutkannya "kepentingan rakyat tani", tak jelasnya landasan land reform yang diinginkan, tidak disinggungnya sama sekali posisi hukum UUPA 1960 sebagai peraturan dasar pokok-pokok agraria, dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan mendasar lain yang dapat diajukan terhadap ketetapan MPR itu. Lantas kita bertanya, apakah Tap MPR No IX/ MPR/2001 dapat dijadikan landasan untuk menyinkronisasikan undang-undang yang ada?
***
BERBICARA mengenai masalah pembaruan agraria di tengah gencarnya arus neoliberalisme ini, kini semangatnya terasa berbeda bila dibandingkan pada masa Orde Baru. Pada masa itu, semangat perbincangan lebih terfokus pada masalah penyimpangan kebijakan agraria rezim Orde Baru dari UUPA 1960. Kini, oleh sejumlah kalangan, dikembangkan semangat untuk menyudutkan, bahkan menuduh UUPA 1960 sebagai pangkal penyebab buruknya situasi dan kondisi agraria nasional selama ini. Padahal, problematika agraria yang kita alami bukanlah semata-mata sekadar masalah "salah tafsir" atau "multitafsir" atas UUPA 1960, tetapi menyangkut masalah ideologi pembangunan yang dianut rezim Orde Baru. Seperti diketahui, paradigma pertumbuhan Orde Baru itu berakar kuat pada mazhab pembangunan neoklasik/neoliberalisme. Karena itu, tidaklah terlalu mengherankan bila sistem agraria Orde Baru itu mengkhianati jiwa dan semangat UUPA 1960 yang berlandaskan Pasal 33 UUD 1945.
Jiwa dan semangat UUPA 1960 amat jelas tercermin dalam konsiderannya yang menyadari realitas kehidupan sosio-politik dan sosio-ekonomi rakyatnya. Karena itu, ingin mempersembahkan segenap kekayaan nasional kepada rakyat untuk membangun suatu masyarakat adil dan makmur. Hukum agraria kolonialisme telah terbukti menebar ketidakadilan, penindasan, kemiskinan, dan keterbelakangan bagi seluruh rakyat. Karena itu, hukum agraria kolonialisme harus dienyahkan dari muka bumi Nusantara.
Untuk itulah, tujuan pokok UUPA 1960 adalah: (1) meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur; (2) meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; dan (3) meletakkan dasar-dasar untuk memberi kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Jiwa dan semangat Pasal 33 UUD 1945 amat terang membayang dalam UUPA 1960. Penjelasan UUD 1945 (naskah asli) menegaskan, dalam Pasal 33 tercantum "dasar demokrasi ekonomi" di mana produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat dan kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Ini menunjukkan, dasar demokrasi ekonomi Indonesia, sejatinya, amat menentang sistem perekonomian yang bersendikan filsafat individualisme. Dalam konteks demokrasi ekonomi inilah maka bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagai kekayaan nasional, dipersembahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ini suatu jiwa dan semangat konstitusi yang merupakan hasil kristalisasi pemikiran the Founding Fathers atas realitas sejarah bangsa yang selama berabad-abad hidup dalam cengkeraman kolonialisme/imperialisme. Diketahui bersama, kolonialisme/imperialisme lahir dari rahim ideologi liberalisme klasik yang bersendikan filsafat individualisme, yang muncul pada abad pertengahan di Eropa Barat. Dan, neoliberalisme yang kini mengepung bangsa, juga berakar kuat pada filsafat individualisme itu, dan merupakan bentuk lanjutan termutakhir dari liberalisme klasik. Jadi, paradigma pembangunan Orde Baru itu, secara ideologis bertentangan dengan jiwa dan semangat UUPA 1960 dan Pasal 33.
***
APA yang disimpulkan Hamzah Haz di atas menunjukkan, beliau kurang memahami UUPA 1960. Dalam penjelasan UUPA 1960 disebutkan, pasal 11 ayat (1) dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria, hal mana bertentangan dengan asas keadilan sosial yang berperikemanusiaan.
Dalam penjelasan Pasal 13 Ayat (2) disebutkan, pemerintah wajib mencegah organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli swasta. Khusus tentang hal ini, apakah produk perundang-undangan agraria Orde Baru sesuai jiwa dan semangat UUPA 1960?
Memang, kini di masyarakat ada dua kubu yang berbeda dalam menyikapi lahirnya Tap MPR No IX/MPR/2001. Yaitu, kubu yang menerima dan kubu yang menolak isi ketetapan MPR itu. Dalam kubu yang menerima ada dua kelompok.
Kelompok pertama adalah yang amat gandrung membicarakan prinsip-prinsip baru pengelolaan sumber daya alam.
Kelompok kedua adalah pro-neoliberalisme, di antaranya Badan Pertanahan Nasional dan HKTI. Sedangkan kubu yang menolak isi Tap MPR No IX/MPR/2001 adalah mereka (Serikat Tani/LSM/Akademisi) yang sadar bahwa jiwa dan semangat UUPA 1960 merupakan pengejawantahan dari jiwa dan semangat Pasal 33 UUD 1945. Jiwa dan semangat UUPA 1960 ini diyakini amat relevan di tengah-tengah arus globalisasi neoliberalisme yang kini sedang menerpa bangsa.
Kita ketahui, hingga kini, rakyat masih hidup dalam ketidakadilan struktural yang mencekam dalam suatu piramida sosial terbalik. Kita tidak bisa berharap pada Tap MPR No IX/MPR/2001 dapat membalikkan posisi piramida sosial warisan kolonialisme itu. Sebaliknya, bila kita mau jujur, kelahiran Tap MPR itu malah membuka kotak pandora dan membuat pendukung neoliberalisme tersenyum menyeringai sembari menunjukkan gigi taringnya yang kotor! Ini menjadi makin relevan bila dikaitkan dengan isu suap di DPR sebagaimana disinyalir Kwik Kian Gie baru-baru ini.
Dalam konteks inilah kita semua wajib menyelamatkan jiwa dan semangat UUPA 1960. Untuk itu, Tap MPR No IX/ MPR/2001 harus dicabut dan itu dijamin UUD 1945, Aturan Tambahan, Pasal 1, menyebutkan: "Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003".
Idham Samudra Bey, Ketua Centre for National-Democracy Studies (CNDS
URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0210/30/opini/meny04.htm
Beberapa waktu lalu, harian ini memuat dua pernyataan yang berkait dengan masalah pembaruan agraria. Pertama, pernyataan Wakil Presiden (Wapres) Hamzah Haz, "Penghentian alih fungsi lahan pertanian tidak cukup hanya dengan keputusan presiden (keppres), tetapi harus melalui ketetapan hukum yang lebih kuat, melalui undang-undang (UU). Karena itu, harus ada perubahan terhadap UU Pokok Agraria (UUPA)."
Kedua, pernyataan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo, "Saat ini lebih dari 200.000 hektar lahan BUMN kehutanan dan perkebunan yang dijarah penduduk". Sehubungan dengan masalah itu, HKTI mengusulkan beberapa solusi, di antaranya, "pelaksanaan Ketetapan (Tap) MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam kaitan itu perlu dilakukan sinkronisasi undang-undang yang ada". (Kompas, 27/9/2002)
Dari pernyataan Hamzah Haz, meski tidak lengkap disebutkan, tetapi kita tahu, UUPA yang dimaksud adalah UU RI Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau yang populer disebut UUPA 1960. Di sini, secara implisit, pernyataan Wapres telah memvonis UUPA 1960 sebagai penyebab utama terjadinya alih fungsi lahan pertanian selama lebih tiga dasawarsa. Kita tidak tahu apakah kesimpulan wapres itu telah melalui suatu proses pengkajian yang komprehensif? Meski demikian, berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), penyusutan lahan pertanian diperkirakan mencapai 102.780 hektar setiap tahun. Penyusutan ini sebagian besar terjadi karena alih fungsi lahan pertanian ke sektor nonpertanian, terutama ekspansi sektor industri ke lahan-lahan subur di sektor pertanian. Tetapi, benarkah penyebab utamanya UUPA 1960?
Sementara itu, pernyataan Siswono Yudo Husodo yang mendiskreditkan rakyat sebagai "penjarah" lahan BUMN kehutanan dan perkebunan telah membuktikan, HKTI kembali pada takdir sejarahnya, yaitu terlahir sebagai salah satu lembaga eksploitatif Orde Baru. Kata "penjarah" telah memberi stigma hitam terhadap upaya rakyat dalam memperjuangkan hak-haknya yang dirampas Orde Baru, dan hingga kini belum terselesaikan. Karena belum tentu semua yang dilakukan rakyat selama ini dapat dikategorikan sebagai kasus kriminal murni "penjarahan". Sehubungan dengan itu, yang paling "mencurigakan", adalah usulan HKTI untuk melaksanakan Tap MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam rangka menyinkronisasikan undang-undang yang ada.
Padahal, seperti diketahui, isi Tap MPR No IX/MPR/2001 itu sendiri banyak ditolak serikat tani, lembaga swadaya masyarakat, maupun para akademisi. Adapun penolakan banyak kalangan ini, di antaranya, karena ketidakjelasan ke mana arah dan tujuan politik agrarianya, adanya dikotomi antara masalah pembaruan agraria dengan pengelolaan sumber daya alam, tak disebutkannya "kepentingan rakyat tani", tak jelasnya landasan land reform yang diinginkan, tidak disinggungnya sama sekali posisi hukum UUPA 1960 sebagai peraturan dasar pokok-pokok agraria, dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan mendasar lain yang dapat diajukan terhadap ketetapan MPR itu. Lantas kita bertanya, apakah Tap MPR No IX/ MPR/2001 dapat dijadikan landasan untuk menyinkronisasikan undang-undang yang ada?
***
BERBICARA mengenai masalah pembaruan agraria di tengah gencarnya arus neoliberalisme ini, kini semangatnya terasa berbeda bila dibandingkan pada masa Orde Baru. Pada masa itu, semangat perbincangan lebih terfokus pada masalah penyimpangan kebijakan agraria rezim Orde Baru dari UUPA 1960. Kini, oleh sejumlah kalangan, dikembangkan semangat untuk menyudutkan, bahkan menuduh UUPA 1960 sebagai pangkal penyebab buruknya situasi dan kondisi agraria nasional selama ini. Padahal, problematika agraria yang kita alami bukanlah semata-mata sekadar masalah "salah tafsir" atau "multitafsir" atas UUPA 1960, tetapi menyangkut masalah ideologi pembangunan yang dianut rezim Orde Baru. Seperti diketahui, paradigma pertumbuhan Orde Baru itu berakar kuat pada mazhab pembangunan neoklasik/neoliberalisme. Karena itu, tidaklah terlalu mengherankan bila sistem agraria Orde Baru itu mengkhianati jiwa dan semangat UUPA 1960 yang berlandaskan Pasal 33 UUD 1945.
Jiwa dan semangat UUPA 1960 amat jelas tercermin dalam konsiderannya yang menyadari realitas kehidupan sosio-politik dan sosio-ekonomi rakyatnya. Karena itu, ingin mempersembahkan segenap kekayaan nasional kepada rakyat untuk membangun suatu masyarakat adil dan makmur. Hukum agraria kolonialisme telah terbukti menebar ketidakadilan, penindasan, kemiskinan, dan keterbelakangan bagi seluruh rakyat. Karena itu, hukum agraria kolonialisme harus dienyahkan dari muka bumi Nusantara.
Untuk itulah, tujuan pokok UUPA 1960 adalah: (1) meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur; (2) meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; dan (3) meletakkan dasar-dasar untuk memberi kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Jiwa dan semangat Pasal 33 UUD 1945 amat terang membayang dalam UUPA 1960. Penjelasan UUD 1945 (naskah asli) menegaskan, dalam Pasal 33 tercantum "dasar demokrasi ekonomi" di mana produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat dan kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Ini menunjukkan, dasar demokrasi ekonomi Indonesia, sejatinya, amat menentang sistem perekonomian yang bersendikan filsafat individualisme. Dalam konteks demokrasi ekonomi inilah maka bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagai kekayaan nasional, dipersembahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ini suatu jiwa dan semangat konstitusi yang merupakan hasil kristalisasi pemikiran the Founding Fathers atas realitas sejarah bangsa yang selama berabad-abad hidup dalam cengkeraman kolonialisme/imperialisme. Diketahui bersama, kolonialisme/imperialisme lahir dari rahim ideologi liberalisme klasik yang bersendikan filsafat individualisme, yang muncul pada abad pertengahan di Eropa Barat. Dan, neoliberalisme yang kini mengepung bangsa, juga berakar kuat pada filsafat individualisme itu, dan merupakan bentuk lanjutan termutakhir dari liberalisme klasik. Jadi, paradigma pembangunan Orde Baru itu, secara ideologis bertentangan dengan jiwa dan semangat UUPA 1960 dan Pasal 33.
***
APA yang disimpulkan Hamzah Haz di atas menunjukkan, beliau kurang memahami UUPA 1960. Dalam penjelasan UUPA 1960 disebutkan, pasal 11 ayat (1) dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria, hal mana bertentangan dengan asas keadilan sosial yang berperikemanusiaan.
Dalam penjelasan Pasal 13 Ayat (2) disebutkan, pemerintah wajib mencegah organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli swasta. Khusus tentang hal ini, apakah produk perundang-undangan agraria Orde Baru sesuai jiwa dan semangat UUPA 1960?
Memang, kini di masyarakat ada dua kubu yang berbeda dalam menyikapi lahirnya Tap MPR No IX/MPR/2001. Yaitu, kubu yang menerima dan kubu yang menolak isi ketetapan MPR itu. Dalam kubu yang menerima ada dua kelompok.
Kelompok pertama adalah yang amat gandrung membicarakan prinsip-prinsip baru pengelolaan sumber daya alam.
Kelompok kedua adalah pro-neoliberalisme, di antaranya Badan Pertanahan Nasional dan HKTI. Sedangkan kubu yang menolak isi Tap MPR No IX/MPR/2001 adalah mereka (Serikat Tani/LSM/Akademisi) yang sadar bahwa jiwa dan semangat UUPA 1960 merupakan pengejawantahan dari jiwa dan semangat Pasal 33 UUD 1945. Jiwa dan semangat UUPA 1960 ini diyakini amat relevan di tengah-tengah arus globalisasi neoliberalisme yang kini sedang menerpa bangsa.
Kita ketahui, hingga kini, rakyat masih hidup dalam ketidakadilan struktural yang mencekam dalam suatu piramida sosial terbalik. Kita tidak bisa berharap pada Tap MPR No IX/MPR/2001 dapat membalikkan posisi piramida sosial warisan kolonialisme itu. Sebaliknya, bila kita mau jujur, kelahiran Tap MPR itu malah membuka kotak pandora dan membuat pendukung neoliberalisme tersenyum menyeringai sembari menunjukkan gigi taringnya yang kotor! Ini menjadi makin relevan bila dikaitkan dengan isu suap di DPR sebagaimana disinyalir Kwik Kian Gie baru-baru ini.
Dalam konteks inilah kita semua wajib menyelamatkan jiwa dan semangat UUPA 1960. Untuk itu, Tap MPR No IX/ MPR/2001 harus dicabut dan itu dijamin UUD 1945, Aturan Tambahan, Pasal 1, menyebutkan: "Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003".
Idham Samudra Bey, Ketua Centre for National-Democracy Studies (CNDS
URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0210/30/opini/meny04.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya