Oleh: Christofel Nalenan
“Berpolitik dengan Keyakinan” adalah kata-kata yang dikatakan oleh sosiolog Robertus Robert saat peluncuran buku mengenai Sri Mulyani pada November lalu. Kata-kata itu merasuk ke pemikiran saya dan membuat saya gelisah. Berpolitik dengan keyakinan itulah yang hilang pada demokrasi Indonesia saat ini. Demokrasi Indonesia menjadi hambar karena tidak ada keyakinan di dalamnya, demokrasi direduksi hanya sebagai persoalan transaksi politik, di mana pragmatisme menggantikan ideologi.
Memudarnya faktor keyakinan atau ideologi dari politik Indonesia bagi saya sangat mengkhawatirkan, karena Indonesia dibangun oleh orang-orang yang memiliki ideologi kuat, dari yang paling kiri sampai yang paling kanan. Ideologi yang membuat para pendiri bangsa ini setia kepada cita-cita Indonesia merdeka, walau nyawa menjadi taruhannya. Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 1945, saya yakin, tidak akan pernah terjadi jika para pemimpin Indonesia pada saat itu tidak mendasarkan diri pada keyakinan.
Pada 1945 tingkat melek huruf di Indonesia baru mencapai 5 persen, dan kepulauan Indonesia masih terbagi-bagi di bawah beberapa kerajaan. Jika saat itu dilakukan survei di seluruh Indonesia, bisa dipastikan masyarakat yang mendukung kemerdekaan Indonesia adalah minoritas. Tetapi para pemimpin Indonesia berpolitik berdasar keyakinan. Sehingga, walau terjadi sedikit perpecahan antara Bung Karno-Bung Hatta dengan kelompok pemuda yang dipimpin oleh Wikana dan Chaerul Saleh mengenai kapan proklamasi akan dibacakan, proklamasi kemerdekaan tetap terjadi. Para pemimpin Indonesia percaya dan yakin bahwa, walau memiliki banyak keterbatasan, Indonesia yang bersatu dan merdeka akan memiliki masa depan yang lebih baik dibanding jika masih dalam penjajahan.
Demokrasi saat ini, dengan memudarnya ideologi, menurut saya benar-benar berada di persimpangan. Demokrasi kehilangan roh penggeraknya karena orang-orang berpolitik hanya demi pragmatisme, yaitu apa yang akan didapat dalam jangka pendek untuk pribadi atau kelompok. Jika politik di Indonesia terus berjalan seperti ini, demokrasi sebagai sistem politik tidak akan berjalan, dan Indonesia bisa kembali melangkah ke sistem politik yang otoritarian seperti yang terjadi selama 32 tahun di bawah rezim militer Orde Baru.
Fenomena relawan SMI
Walau makin gelisah dengan jalannya demokrasi di Indonesia, karena semakin kuatnya politik transaksional di Indonesia, harapan bahwa demokrasi bisa menjadi lebih baik saya rasakan tetap ada. Dari pengamatan saya, saya menyaksikan pergerakan kelompok relawan untuk Sri Mulyani Indrawati, mantan Menteri Keuangan RI yang harus menyingkir karena praktek politik transaksional. Kelompok relawan ini berpolitik dengan keyakinan, awalnya dari rasa gelisah melihat Sri Mulyani diserang dari segala penjuru saat kasus Bank Century merebak. Serangan tidak hanya berasal dari para politikus, tapi juga dari media arus utama.
Kegelisahan mereka tuangkan dalam diskusi di sosial media, seperti Facebook dan Twitter. Dari diskusi tersebut mereka menjadi yakin bahwa Sri Mulyani tidak bersalah, dan mereka mulai berkumpul, membuat organisasi, dan bergerak mendukung Sri Mulyani. Dukungan sendiri tidak hanya ditujukan pada Sri Mulyani secara pribadi, tetapi juga pada akal sehat publik yang sudah dijungkirbalikkan oleh propaganda media arus utama.
Setelah Sri Mulyani tersingkir, gerakan mereka justru semakin kuat, mereka menjadi relawan bagi Sri Mulyani menuju kursi Presiden Indonesia pada 2014. Banyak orang berkata sinis terhadap gerakan para relawan ini, dengan mengatakan Sri Mulyani tidak dikenal publik dan itu dibuktikan dengan tidak masuknya nama Sri Mulyani dalam survei-survei politik yang menguji popularitas tokoh-tokoh masyarakat. Tetapi gerakan relawan untuk Sri Mulyani tetap berjalan dan melakukan aktivitas, mereka setiap saat mengadakan diskusi, menerbitkan buku, mencetak atribut, dan lain sebagainya. Semua itu mereka lakukan tanpa pamrih, bahkan sering kali para relawan harus berkorban merogoh kocek sendiri untuk melakukan kegiatan.
Bagaimana kerelaan itu dapat mereka lakukan? Hal itu terjadi karena mereka berpolitik dengan keyakinan, bukan karena pragmatisme, apalagi survei politik yang acap kali memecah warga negara menjadi mayoritas dan minoritas. Para relawan hanya mendasarkan diri pada keyakinan bahwa Sri Mulyani adalah sosok yang tegas, memiliki integritas, dan anti terhadap praktek-praktek curang saat menjadi pejabat negara.
Sosok seperti Sri Mulyani-lah yang menurut mereka layak menjadi Presiden Indonesia untuk 2014. Jangan tanya mereka soal apakah Sri Mulyani bersedia menjadi presiden atau apa partai politik yang akan mendukung Sri Mulyani pada 2014. Bagi para relawan, pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah faktor yang kesekian, faktor utama bagi mereka adalah bagaimana dukungan mereka terhadap Sri Mulyani bisa menyalakan akal sehat publik yang semakin redup oleh praktek politik transaksional.
Harapan saya, ke depannya, gerakan relawan Sri Mulyani yang berpolitik demi keyakinan akan semakin kuat, dan juga akan diikuti relawan-relawan dari tokoh-tokoh lain yang juga berpolitik dengan keyakinan, karena demokrasi butuh mereka sebagai roh penggerak. Tanpa orang-orang yang berpolitik dengan keyakinan, saya yakin demokrasi di era reformasi ini akan segera menjadi sejarah, seperti yang terjadi dengan praktek demokrasi Indonesia pada tahun 1950-1957 di era parlementer.
URL Source: http://korantempo.com/korantempo/koran/2010/12/24/Opini/krn.20101224.221975
Christofel Nalenan
PENELITI DI KAMAR RISET PUBLIK
“Berpolitik dengan Keyakinan” adalah kata-kata yang dikatakan oleh sosiolog Robertus Robert saat peluncuran buku mengenai Sri Mulyani pada November lalu. Kata-kata itu merasuk ke pemikiran saya dan membuat saya gelisah. Berpolitik dengan keyakinan itulah yang hilang pada demokrasi Indonesia saat ini. Demokrasi Indonesia menjadi hambar karena tidak ada keyakinan di dalamnya, demokrasi direduksi hanya sebagai persoalan transaksi politik, di mana pragmatisme menggantikan ideologi.
Memudarnya faktor keyakinan atau ideologi dari politik Indonesia bagi saya sangat mengkhawatirkan, karena Indonesia dibangun oleh orang-orang yang memiliki ideologi kuat, dari yang paling kiri sampai yang paling kanan. Ideologi yang membuat para pendiri bangsa ini setia kepada cita-cita Indonesia merdeka, walau nyawa menjadi taruhannya. Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 1945, saya yakin, tidak akan pernah terjadi jika para pemimpin Indonesia pada saat itu tidak mendasarkan diri pada keyakinan.
Pada 1945 tingkat melek huruf di Indonesia baru mencapai 5 persen, dan kepulauan Indonesia masih terbagi-bagi di bawah beberapa kerajaan. Jika saat itu dilakukan survei di seluruh Indonesia, bisa dipastikan masyarakat yang mendukung kemerdekaan Indonesia adalah minoritas. Tetapi para pemimpin Indonesia berpolitik berdasar keyakinan. Sehingga, walau terjadi sedikit perpecahan antara Bung Karno-Bung Hatta dengan kelompok pemuda yang dipimpin oleh Wikana dan Chaerul Saleh mengenai kapan proklamasi akan dibacakan, proklamasi kemerdekaan tetap terjadi. Para pemimpin Indonesia percaya dan yakin bahwa, walau memiliki banyak keterbatasan, Indonesia yang bersatu dan merdeka akan memiliki masa depan yang lebih baik dibanding jika masih dalam penjajahan.
Demokrasi saat ini, dengan memudarnya ideologi, menurut saya benar-benar berada di persimpangan. Demokrasi kehilangan roh penggeraknya karena orang-orang berpolitik hanya demi pragmatisme, yaitu apa yang akan didapat dalam jangka pendek untuk pribadi atau kelompok. Jika politik di Indonesia terus berjalan seperti ini, demokrasi sebagai sistem politik tidak akan berjalan, dan Indonesia bisa kembali melangkah ke sistem politik yang otoritarian seperti yang terjadi selama 32 tahun di bawah rezim militer Orde Baru.
Fenomena relawan SMI
Walau makin gelisah dengan jalannya demokrasi di Indonesia, karena semakin kuatnya politik transaksional di Indonesia, harapan bahwa demokrasi bisa menjadi lebih baik saya rasakan tetap ada. Dari pengamatan saya, saya menyaksikan pergerakan kelompok relawan untuk Sri Mulyani Indrawati, mantan Menteri Keuangan RI yang harus menyingkir karena praktek politik transaksional. Kelompok relawan ini berpolitik dengan keyakinan, awalnya dari rasa gelisah melihat Sri Mulyani diserang dari segala penjuru saat kasus Bank Century merebak. Serangan tidak hanya berasal dari para politikus, tapi juga dari media arus utama.
Kegelisahan mereka tuangkan dalam diskusi di sosial media, seperti Facebook dan Twitter. Dari diskusi tersebut mereka menjadi yakin bahwa Sri Mulyani tidak bersalah, dan mereka mulai berkumpul, membuat organisasi, dan bergerak mendukung Sri Mulyani. Dukungan sendiri tidak hanya ditujukan pada Sri Mulyani secara pribadi, tetapi juga pada akal sehat publik yang sudah dijungkirbalikkan oleh propaganda media arus utama.
Setelah Sri Mulyani tersingkir, gerakan mereka justru semakin kuat, mereka menjadi relawan bagi Sri Mulyani menuju kursi Presiden Indonesia pada 2014. Banyak orang berkata sinis terhadap gerakan para relawan ini, dengan mengatakan Sri Mulyani tidak dikenal publik dan itu dibuktikan dengan tidak masuknya nama Sri Mulyani dalam survei-survei politik yang menguji popularitas tokoh-tokoh masyarakat. Tetapi gerakan relawan untuk Sri Mulyani tetap berjalan dan melakukan aktivitas, mereka setiap saat mengadakan diskusi, menerbitkan buku, mencetak atribut, dan lain sebagainya. Semua itu mereka lakukan tanpa pamrih, bahkan sering kali para relawan harus berkorban merogoh kocek sendiri untuk melakukan kegiatan.
Bagaimana kerelaan itu dapat mereka lakukan? Hal itu terjadi karena mereka berpolitik dengan keyakinan, bukan karena pragmatisme, apalagi survei politik yang acap kali memecah warga negara menjadi mayoritas dan minoritas. Para relawan hanya mendasarkan diri pada keyakinan bahwa Sri Mulyani adalah sosok yang tegas, memiliki integritas, dan anti terhadap praktek-praktek curang saat menjadi pejabat negara.
Sosok seperti Sri Mulyani-lah yang menurut mereka layak menjadi Presiden Indonesia untuk 2014. Jangan tanya mereka soal apakah Sri Mulyani bersedia menjadi presiden atau apa partai politik yang akan mendukung Sri Mulyani pada 2014. Bagi para relawan, pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah faktor yang kesekian, faktor utama bagi mereka adalah bagaimana dukungan mereka terhadap Sri Mulyani bisa menyalakan akal sehat publik yang semakin redup oleh praktek politik transaksional.
Harapan saya, ke depannya, gerakan relawan Sri Mulyani yang berpolitik demi keyakinan akan semakin kuat, dan juga akan diikuti relawan-relawan dari tokoh-tokoh lain yang juga berpolitik dengan keyakinan, karena demokrasi butuh mereka sebagai roh penggerak. Tanpa orang-orang yang berpolitik dengan keyakinan, saya yakin demokrasi di era reformasi ini akan segera menjadi sejarah, seperti yang terjadi dengan praktek demokrasi Indonesia pada tahun 1950-1957 di era parlementer.
URL Source: http://korantempo.com/korantempo/koran/2010/12/24/Opini/krn.20101224.221975
Christofel Nalenan
PENELITI DI KAMAR RISET PUBLIK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya