Oleh: Irfan Ridwan Maksum
Presiden SBY terkesan mempersoalkan nilai monarki dalam konstruksi pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Itulah yang mengundang reaksi keras berbagai kalangan atas pernyataan Presiden SBY dalam rapat kabinet terbatas pada Jumat (26/11) terkait dengan penyusunan RUU tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Otonomi asimetris
Sebetulnya tak terlalu tepat menempatkan monarki dan demokrasi sebagai nilai-nilai yang saling beroposisi. Sebuah sistem monarki dapat hidup secara demokratis dengan efektif dan sukses seperti yang terjadi di Inggris, Jepang, Belanda, dan Monako. Sistem monarki di tingkat lokal pun dapat terjadi di negara demokratis dengan menempatkan struktur itu secara istimewa dan memiliki kekhasan tersendiri sehingga otonomi bersifat asimetris. Ini dicontohkan antara lain oleh India dan Malaysia.
Asimetris adalah lawan dari simetris yang berarti tak sama dan tak sebangun. Jadi, otonomi asimetris adalah otonomi yang diterapkan untuk semua daerah otonom di sebuah negara dengan prinsip tak sama dan tak sebangun, sedangkan otonomi simetris diterapkan untuk semua daerah otonom dengan prinsip sama dan sebangun.
Asimetris dalam pemahaman ini adalah asimetris struktur kelembagaan antardaerah otonom dan bukan daerah otonom terhadap pemerintah pusat, atau bukan pula asimetris dalam hal penyerahan urusan belaka. Asimetris jenis ini secara otomatis terjadi jika dikerangkai oleh sistem federal. Indonesia adalah negara kesatuan. Bagaimana caranya menampung nilai monarki kalau secara logika antardaerah otonom harus simetris otonominya?
Sistem kesatuan yang menampung monarki dengan asimetris kelembagaan hanya bisa dilakukan dengan menempatkan struktur monarki secara informal. Jadi, menempatkan struktur tersebut di luar struktur formal negara dan di luar sistem pemerintahan daerah, seperti desa dalam konsep Yamin yang menganggapnya sebagai otonomi kaki dari sebuah negara.
Atau, seperti zaman Soeharto dan zaman sekarang ini: penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menyebut istilah istimewa secara formalistik. Namun, jika ditanya istimewanya apa, kita semua tak tahu jawabannya secara tepat.
Kondisi sekarang ini terancam oleh masa jabatan gubernur yang dibatasi oleh dua kali masa jabatan. Mata telanjang awam akan mudah mengatakan bahwa terdapat pelanggaran nyata UU jika Sri Sultan terus jadi gubernur dalam aturan UU yang berlaku sekarang. Tentu ini membuat gerah semua pihak jika tak diantisipasi cepat. Jadi, RUU tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang sudah lama digodok harus segera dipikirkan keputusan akhirnya.
Modernitas-informalisme
Nilai modernitas ditandai oleh nilai-nilai rasional, terukur, positif, obyektif, dan terstandarkan. Jika nilai monarki dipelihara dalam kaitan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, ada alasan sejarah yang sangat rasional. Sejarah menempatkan Yogyakarta sebagai pintu masuk kemerdekaan RI yang amat penting.
Jika Sri Sultan ingin bersikap mendorong modernitas, kelembagaan kesultanan Yogyakarta harus siap jika ditempatkan dalam posisi sebagai lambang keagungan pemerintahan Yogyakarta dan bukan menyentuh pada praktik kenegaraan formal. Kesultanan Yogyakarta masuk dalam area informalisme yang terhormat. Ini justru menjadi solusi menang-menang untuk konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia.
Pilihan lain amat berat: kita mewacanakan federalisme Indonesia. Pengorbanan politik yang biayanya amat mahal. Namun, jika Yogyakarta dipaksakan dengan otonomi asimetris tanpa payung federalisme, maka bangsa Indonesia sedang bertindak diskriminatif terhadap daerah lain. Bahkan, bisa jadi sedang membuat bom yang siap meledak dalam kancah hubungan pusat-daerah di Indonesia.
Sebetulnya ongkos negara kesatuan juga besar dalam artian, jika kita amati selama 65 tahun merdeka, kesenjangan antardaerah tetap besar dan kesenjangan berbagai aspek lainnya. Akibatnya, dalam bidang tertentu saja, instrumen pusat tidak efektif melakukan standardisasi.
Padahal, tugas instrumen pusat adalah standardisasi agar kualitas hidup masyarakat merata di berbagai bidang. Amat riskan bagi negara sebesar Indonesia-- yang terbengkalai selama 65 tahun dalam soal standardisasi— jika dikejar lagi dengan sistem kesatuan melalui birokrasi yang lamban ini.
Ihwal monarki dapat ditampung secara lebih baik dalam negara dengan struktur formal federal ketimbang negara dengan struktur formal kesatuan. Hanya memang tidak mudah! Otonomi itu menciptakan keberagaman, sentralisasi menciptakan keseragaman. Keduanya dibutuhkan dalam sebuah negara bangsa, baik berbentuk kesatuan maupun berbentuk federal.
Namun, saat ini yang terpenting justru arah draf UU tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mesti segera diselesaikan. Otonomi Yogyakarta jangan stagnan di tengah bencana besar.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/12/03/03114563/otonomi.yogyakarta
Irfan Ridwan Maksum
Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara FISIP UI
Presiden SBY terkesan mempersoalkan nilai monarki dalam konstruksi pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Itulah yang mengundang reaksi keras berbagai kalangan atas pernyataan Presiden SBY dalam rapat kabinet terbatas pada Jumat (26/11) terkait dengan penyusunan RUU tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Otonomi asimetris
Sebetulnya tak terlalu tepat menempatkan monarki dan demokrasi sebagai nilai-nilai yang saling beroposisi. Sebuah sistem monarki dapat hidup secara demokratis dengan efektif dan sukses seperti yang terjadi di Inggris, Jepang, Belanda, dan Monako. Sistem monarki di tingkat lokal pun dapat terjadi di negara demokratis dengan menempatkan struktur itu secara istimewa dan memiliki kekhasan tersendiri sehingga otonomi bersifat asimetris. Ini dicontohkan antara lain oleh India dan Malaysia.
Asimetris adalah lawan dari simetris yang berarti tak sama dan tak sebangun. Jadi, otonomi asimetris adalah otonomi yang diterapkan untuk semua daerah otonom di sebuah negara dengan prinsip tak sama dan tak sebangun, sedangkan otonomi simetris diterapkan untuk semua daerah otonom dengan prinsip sama dan sebangun.
Asimetris dalam pemahaman ini adalah asimetris struktur kelembagaan antardaerah otonom dan bukan daerah otonom terhadap pemerintah pusat, atau bukan pula asimetris dalam hal penyerahan urusan belaka. Asimetris jenis ini secara otomatis terjadi jika dikerangkai oleh sistem federal. Indonesia adalah negara kesatuan. Bagaimana caranya menampung nilai monarki kalau secara logika antardaerah otonom harus simetris otonominya?
Sistem kesatuan yang menampung monarki dengan asimetris kelembagaan hanya bisa dilakukan dengan menempatkan struktur monarki secara informal. Jadi, menempatkan struktur tersebut di luar struktur formal negara dan di luar sistem pemerintahan daerah, seperti desa dalam konsep Yamin yang menganggapnya sebagai otonomi kaki dari sebuah negara.
Atau, seperti zaman Soeharto dan zaman sekarang ini: penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menyebut istilah istimewa secara formalistik. Namun, jika ditanya istimewanya apa, kita semua tak tahu jawabannya secara tepat.
Kondisi sekarang ini terancam oleh masa jabatan gubernur yang dibatasi oleh dua kali masa jabatan. Mata telanjang awam akan mudah mengatakan bahwa terdapat pelanggaran nyata UU jika Sri Sultan terus jadi gubernur dalam aturan UU yang berlaku sekarang. Tentu ini membuat gerah semua pihak jika tak diantisipasi cepat. Jadi, RUU tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang sudah lama digodok harus segera dipikirkan keputusan akhirnya.
Modernitas-informalisme
Nilai modernitas ditandai oleh nilai-nilai rasional, terukur, positif, obyektif, dan terstandarkan. Jika nilai monarki dipelihara dalam kaitan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, ada alasan sejarah yang sangat rasional. Sejarah menempatkan Yogyakarta sebagai pintu masuk kemerdekaan RI yang amat penting.
Jika Sri Sultan ingin bersikap mendorong modernitas, kelembagaan kesultanan Yogyakarta harus siap jika ditempatkan dalam posisi sebagai lambang keagungan pemerintahan Yogyakarta dan bukan menyentuh pada praktik kenegaraan formal. Kesultanan Yogyakarta masuk dalam area informalisme yang terhormat. Ini justru menjadi solusi menang-menang untuk konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia.
Pilihan lain amat berat: kita mewacanakan federalisme Indonesia. Pengorbanan politik yang biayanya amat mahal. Namun, jika Yogyakarta dipaksakan dengan otonomi asimetris tanpa payung federalisme, maka bangsa Indonesia sedang bertindak diskriminatif terhadap daerah lain. Bahkan, bisa jadi sedang membuat bom yang siap meledak dalam kancah hubungan pusat-daerah di Indonesia.
Sebetulnya ongkos negara kesatuan juga besar dalam artian, jika kita amati selama 65 tahun merdeka, kesenjangan antardaerah tetap besar dan kesenjangan berbagai aspek lainnya. Akibatnya, dalam bidang tertentu saja, instrumen pusat tidak efektif melakukan standardisasi.
Padahal, tugas instrumen pusat adalah standardisasi agar kualitas hidup masyarakat merata di berbagai bidang. Amat riskan bagi negara sebesar Indonesia-- yang terbengkalai selama 65 tahun dalam soal standardisasi— jika dikejar lagi dengan sistem kesatuan melalui birokrasi yang lamban ini.
Ihwal monarki dapat ditampung secara lebih baik dalam negara dengan struktur formal federal ketimbang negara dengan struktur formal kesatuan. Hanya memang tidak mudah! Otonomi itu menciptakan keberagaman, sentralisasi menciptakan keseragaman. Keduanya dibutuhkan dalam sebuah negara bangsa, baik berbentuk kesatuan maupun berbentuk federal.
Namun, saat ini yang terpenting justru arah draf UU tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mesti segera diselesaikan. Otonomi Yogyakarta jangan stagnan di tengah bencana besar.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/12/03/03114563/otonomi.yogyakarta
Irfan Ridwan Maksum
Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara FISIP UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya